(43) Tangisan Antagonis & Permintaan Maaf

27.5K 4.7K 860
                                    

Sebelum Yena berniat melempar kertas cetak bergambar yang Yena pegang hasil merebut dari Denis, mengenai wajahku. Dengan gesit aku lebih dulu menghentikan. Relung telinga mendengar geraman dan umpatan Freya berdiri di samping.

Anehnya kalung melingkar dileherku terasa panas hingga seolah itu berdampak pada emosional. Aku ikut serta merasakan kemarahan Freya.

"Tapi aku nggak sendirian!" Lanjutan ucapan Yena mampu membuat kilatan mataku bertambah panas.

Dada naik turun aku mengikis jarak, balas menatap Yena bengis. Kedua tangan lalu mencengkeram kuat bahu Yena.

"Maksud lo apa?"

"Sebenarnya ini di luar dugaan, yang jelas bukan salah kami. Aku dan dia awalnya berencana cuma taburin obat peracik sakit perut tapi Ganes malah salah ambil ... ups, akhirnya sianida."

Deg

Rooftop itu dipenuhi tawa Yena, Yena menepis kasar tanganku. Jujur, aku tidak tau harus merespon bagaimana, semuanya campur aduk.

Kuamati khawatir Freya yang sudah berjongkok mengamati kertas bergambar yang berjatuhan di lantai.

"Lo kira gue percaya? Gan--"

"Perkataan Yena tadi benar, Reya. Gue bersyukur lo baik-baik aja dan maaf..." Suara berat tersebut menyela ucapanku.

Badan gemetar hebat aku berjalan mundur. Aku tidak ingin percaya! Kenapa harus Ganes? Kenapa karakter Rayena berubah? Alurnya memang telah aku hancurkan, seorang Freya Lovely Astagina tidak mempengaruhi jalan cerita tapi kenapa dampaknya terlalu besar.

Bahkan sebelum aku datang. Ganes memang benci seorang Freya walaupun benci, Ganes tak akan melakukan tindakan sejahat itu.

"Reya, gu--"

"DIAM!" Napas memburu aku menatap nyalang Ganes yang hendak mendekat. Sorot mataku beralih menatap Freya yang memeluk lututnya, menangis di sana ... tepat di dekat kaki Ganes.

Tangisan Freya sangat menyakitkan bagiku.

Lebih baik aku diberikan pandangan sinis daripada harus mendapati pipi Freya banjir oleh air mata.

"Gue benci banget sama lo, Yena! Tapi sayangnya gue udah janji untuk tidak mengotori tangan!" seruku.

Yena berdiri di sebelah Ganes sembari bersedekap. Binaran mata Yena yang ceria detik ini menghilang justru aku lihat berupa seseorang pandai menjatuhkan.

Paling utama aku tidak harus meneladan orang-orang tak berotak itu.

Freya tampak menyedihkan, wujudnya dalam kabut samar seolah telah mendapat siksaan. Rintihan Freya terus memanggil nama Ganes.

"Aku mohon ralat ucapan kamu, Nanas. Ini Yaya! Cuma Yena aja kan yang buat aku kaya gini." Tangan Freya menyentuh kaki Ganes yang berakhir kegagalan.

Kepala mendongak, menahan diri agar air mataku tidak tumpah. Jangan lemah di depan musuh, harus kuat! Ayah pernah memberi nasehat seperti itu.

"Freya, ayo kita pulang ke rumah!" Persetan dicap gila. Aku berjongkok dengan tangan terulur Freya berjarak dua meter setidaknya Freya berdiri sudah membuat aku lega.

Freya berjalan melintas begitu saja, kepalanya tertunduk dalam seakan Freya hafal seluk-beluk sekolah ini. Menutup mata pun, aku tebak Freya mengenal arah jalannya.

"Gue beneran nggak suka lo, Ganes. Urat malu lo udah putus ya?! Jangan pernah muncul di depan gue! Dasar pembunuh! Kalian itu pasangan paling cocok dan gue doakan semoga langgeng!" bentakku meradang.

Buang muka, aku memilih menatap lurus Denis yang sedari tadi diam, aku menghampiri Denis tepat di depan Denis aku merebut laptop yang Denis peluk.

"Gue bawa, masih ada yang beberapa yang ingin gue tanyakan. Sampai ketemu lagi tanpa dua orang gak punya otak!"

****

"Freya, kamu jangan percaya ucapan Yena apalagi Ganes. Kumohon!" Memelas aku berjalan berdampingan di koridor, beruntung satu jam lalu bel pulang berbunyi hanya segelintir murid yang masih ada.

Bahu Freya semakin bergetar walaupun wajahnya tertutup rambut panjangnya aku yakin Freya tengah menangis.

"Pasti ini jebakan. Oke, aku percaya kalau Yena yang kasih racun itu ke minuman kamu tapi soal Ganes mustahil, Ganes tidak menyukai kamu bukan berarti Ganes bertindak jahat," lanjutku serius.

Langkah Freya memelan dalam wujudnya kami berdiri berhadapan, di detik ketiga aku tercengat keadaan Freya tidak baik-baik saja. Binaran matanya meredup, kabut samar itu mulai menghilang seiring detik berlalu.

"Ganes ... selalu ... jujur!" jawabnya serak. "Kenapa harus Ganes? Kata si sampah, Ganes salah ambil. Itu berarti Ganes nggak salah kan, Kak Reya?" Freya tersenyum pahit.

Lidah kelu aku balas tersenyum, mengangguk cepat. "Ya, Ganes salah ambil. Bukan salah Ganes."

"Jangan benci Ganes, seperti yang lo bilang sebelumnya jangan mengotori tangan.

Ingin sekali aku menghapus sisa air mata di pipi Freya, tapi apa aku bisa? Ditambah Freya bisa jadi tidak menyukainya, jangan benci Ganes? Kebencian itu telah tumbuh. Ganes Redha Maherta, cowok tak waras dan hatinya sekelam malam bertemu pun aku muak.

"Ini permintaan. Gue sama sekali nggak memerlukan kata maaf dan terima kasih, jangan hadir perasaan Kak Reya secuil benci ke Gan--"

"GANES UDAH BUNUH KAMU!" Pada akhirnya penolakan itu aku abaikan. "Ini salah Ganes dan Yena. Untuk melihat mereka saja aku sudah sangat jijik, kamu terlalu bodoh hanya untuk perasaan kamu yang secara sepihak. Kebencian Ganes berakhir malapetaka!"

Napasku makin sesak dengan dada seolah terhimpit, air mataku tumpah. Menangisi semuanya. Perlu kah Bunda membuat tokoh seperti Freya jatuh cinta hingga titik terdalam, bangkit dari jurang gelap itu saja walau satu langkah Freya kesulitan.

"Ganes udah minta maaf. Permintaan maaf Ganes, aku terima."

"Berhenti berbicara berbelit kamu bilang Ganes orang yang jujur! Sekarang kamu membelanya, apa lagi nanti?! Dari awal kamu udah bilang, Freya. Pelaku itu harus ma---"

"Apa Kak Reya bersedia mengotori tangan? Mengingkari janji yang Kak Reya buat pada diri sendiri, Yena hancur bahkan ... Ganes..."

Pengakuan Ganes pasti menyakiti Freya dan Freya justru bertingkah seperti orang tidak punya dendam, dendamnya seolah tersapu angin dan tidak akan muncul lagi hanya karena satu nama. Binaran iris cokelat itu yang kusimpulkan ketulusan. Secepat itu dan aku tak bisa menduganya.

"Jangan benci Ganes. Biar Ganes yang benci aku, Kak Reya nggak harus membalasnya." Gaya bicara Freya terdengar lembut di telinga, aku menatap lekat telapak tangan Freya berada di punggung tanganku."Cukup itu imbalan yang aku mau sama Kak Reya. Ganes nggak salah aku memaafkan Ganes."

"Freya!"

Panggilan itu. Aku berdiri, menoleh dengan senyuman paksa. Pemuda yang kami bicarakan kini sudah berdiri menjulang di depanku, meremas kuat tangan aku mengangkat sedikit kepala, meneliti lekat manik biru Ganes.

"Reya, dengar dulu penjelasan gue." Ganes menggengam jemari kananku. Ekspresi wajahnya yang selalu dingin detik ini tampak panik. "Maaf, yang penting sekarang lo baik-baik aja. Yaya punya Ganes masih hidup."

Badan kaku, Ganes melingkarkan kedua tangannya dipinggangku, mempendek jarak. Ganes menempelkan dagu di bahu kananku, terus meracau maaf hingga aku bahkan tak bisa menghitungnya.





****



Awalnya pengen gak up dulu beberapa hari, tapi gak jadi setelah baca komen😂 moodbooster banget ternyata😍 makasih untuk kalian.

Gimana perasannya setelah membaca part ini?

Untuk yang menebak dan tebakannya benar! Selamat kamu beruntung☺😍 khusus hari ini double up.

Part selanjutnya Ziyan muncul. Ada yang kangen Ziyan?

Kalo komennya bisa 500 dan votenya 300. Aku langsung update part selanjutnya!!!

Tinggalkan vote atau komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya🌟

Terima kasih❤

Bukan Antagonis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang