Bagian 10

1.2K 57 0
                                    

Setelah 'kejujuran' yang dikatakan Reinard malam itu, aku berusaha untuk membatasi ruang temu diantara kami. Kami tinggal serumah, tidur dalam kasur yang sama namun aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya sebaik mungkin. Ketika Reinard berada di depan TV, aku menyibukkan diriku di meja kerja dan baru akan masuk kamar ketika dia sudah terlelap. Begitu pagi tiba, kami akan bertemu sebentar di meja makan sebelum kembali ke rutinitas pekerjaan kami.

Aku tidak tahu, apakah yang kulakukan pada Reinard adalah sesuatu yang salah atau benar. Aku sudah memberikan sepenuhnya hidupku untuknya bahkan juga hatiku dan berfikir bahwa dia tetap akan menginginkanku meskipun pernikahan kami adalah hasil dari sebuah perjodohan orangtua. Aku hanya berfikir, untuk apa mendekati seseorang yang tak menginginkanku? Aku istrinya, dia berhak atas diriku bahkan tubuhku dan tentu aja aku juga berhak atas dirinya. Namun, mendengar bahwa ia belum siap melakukan hal itu membuatku berfikir jika aku benar-benar sudah ia tolak. Jikapun ada kesempatan, aku tidak tahu itu kapan.

Seperti biasa, aku memarkir mobilku di depan kantor. Tempat yang terjangkau jika sewaktu-waktu aku ingin pergi keluar. Masih cukup pagi, dan belum banyak karyawan yang datang. Aku memang terbiasa datang paling awal dan pulang paling akhir. Beberapa karyawan baru pasti tidak bisa mengikuti gaya pekerjaanku. Untuk beberapa hari mereka pasti akan datang mendahului aku dan pulang lebih telat daripada aku. Jika hal itu sudah terjadi, aku psti akan mencari RIni untuk menjelaskan kepada mereka tentang caraku bekerja.

Aku mengunci pintu mobil lantas berjalan santai masuk ke dalam kantor. Namun belum juga membuka pintu, seseorang tiba-tiba memanggilku.

Aku menoleh, mendapati seorang pria berusia setengah abad dengan pakaian lusuh menengadahkan tangannya kepadaku. Aku belum pernah melihatnya, mungkin ia baru di sini.

"Minta seikhlasnya mbak...." Kata pria itu dengan suara lirih bergetar.

Sejujurnya aku tidak begitu mempercayai pengemis. Di berita-berita, banyak sekali orang-orang yang bekerja dengan pura-pura menjadi pengemis dan kenyataannya mereka bisa mendapatkan banyak uang dari pekerjaannya itu. Bisa membeli rumah bahkan mobil. Tapi, terkutuklah aku menjadi seseorang yang mudah iba dan percaya dengan penampilan seseorang, sehingga tanpa berfikir panjang aku mengeluarkan uang limapuluh ribu dari dalam tasku dan memberikannya.

Pria itu tersenyum lalu mengucapkan terimakasih.

"Saya doakan anda bahagia selamanya bersama suami anda." Katanya sebelum pergi.

Aku mengedikkan bahu. Tau aja si bapak kalau aku sudah menikah.

*****

Rini menungguku dengan setia di seberang meja tanpa berkata apapun. Dia tahu jika sudah berurusan dengan pekerjaan, aku akan berubah menjadi orang paling serius. Apalagi mengenai urusan pelik tentang perceraian dengan tambahan pembagian harta gono-gini yang adil seperti ini.

"Nanti kalau masih ada dokumen yang lain segera kasih ya Rin." Aku mengulurkan stopmap yang isinya baru selesai aku tandatangani.

"Siap mbak!" Rini mengacungkan jempol dan bergegas pergi.

Aku hendak membalik dokumen yang lain ketika ponselku menjerit. Nama 'suamiku' tertera di layar.

"Halo....."

"Jul, lagi sibuk?" tanyanya tanpa basa-basi.

Sangat sibuk.

"Tidak begitu...." Mulutku benar-benar tidak bisa sinkron dengan pikiranku.

"Syukurlah...."

"Ada apa?" Aku memutar kursiku menghadap jendela.

"Bisa tolong pulang sebentar, ambilkan buku yang ada di atas meja kamar. Hari ini ada presentasi dan aku lupa membawanya."

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang