57

749 41 3
                                    

"Tumben lo non, nyari'in gue, kenapa?" Reza melipat kedua tangannya di depanku. "Gue pikir lo udah transmigrasi ke planet mars karena sama sekali enggak inget sama gue."

"Lebay lo!" cebikku lalu memasukkan sesendok ice cream coklat ke dalam mulut. Hari ini mulutku terasa pahit dan tidak nyaman, jadi ice cream adalah satu-satunya obat penawar yang sangat ampun. Terbukti benar, aku sudah menghabiskan hampir separuh makanan berkalori tinggi tersebut.

"Lo sebentar lagi dapet ponakan baru." Kataku kemudian.

"maksud lo?" Reza menatapku tidak paham.

"Telat mikir ah!" sungutku kesal. Aku tidak menginginkan respon seperti itu dari wajah Reza. Aku ingin pria itu terkejut, histeris dan memelukku dengan hangat sambil mengucapkan selamat.

"Sorry....gue udah banyak pikiran."

"Maksud gue, sebentar lagi lo bakal jadi om Reza. Karena gue hamil. Paham?" ulangku sekali lagi, dengan penuh penekanan.

Mata Reza langsung membulat kaget.

"Akkkh!!! Beneran Jul?!" ia meraih tanganku dan meremasnya dengan kuat.

Naaaah....ini respon yang aku tunggu-tunggu sejak tadi.

"Ngapa sih gue bo'ong sama lo?"

"Selamat deh Julia! Selamat! By the way udah berapa bulan? Lo.....lo mau minta hadiah apa nih dari gue sekarang? Mau makan sepuluh porsi ice cream juga enggak masalah. Atau.....lo mau nasi goreng terkenal di pojok jalan itu? Ayoook! Atau pengen—"

"Stooop deh!" potongku cepat. "Gue lagi enggak pengen apa-apa dari lo. Hari ini gue cukup ngidam ice cream coklat ini, lo yang bayarin ya?"

"Dijamin beres! Enggak nambah lagi Jul?"

"Ya enggak lah! Gue bisa kena diabetes kalau kebanyakan ice cream!" jawabku asal. "Besok-besok mungkin enggak apa-apa sih gue makan nasi goreng yang lo bilang tadi."

"Itu mah lo modus minta dibayarin kan?"

Aku tertawa ngakak. Ternyata pergi dengan sahabat sebegitu menyenangkan. Aku cukup rileks dan melupakan beban pikiranku akhir-akhir ini.

"Gimana respon Reinard waktu denger lo hamil Jul?" Reza mengalihkan pembicaraan. Namun ia tampak begitu antusias denganku sekarang. Buktinya ia tidak peduli dengan segelas espresso di depannya, dan minuman itu sama sekali belum ia sentuh.

"Dia bahagia dong pastinya." Sahutku.

"Lo juga kan? Itu berarti kalian memang ditakdirkan buat sama-sama Jul. pasangan yang tak terpisahkan. Gue yakin kalau Reinard benar-benar menyayangi lo."

Aku tidak menyahut. Ngomong-ngomong soal benar-benar menyayangi, apa benar kasih sayang itu tulus diberikan Reinard hanya untukku? Apakah kasih sayangnya terhadap Rena berbeda dengan kasih sayangnya kepadaku?

Aku menggigit bibir, ingin rasanya menceritakan apa yang sudah terjadi padaku akhir-akhir ini. Tentang bagaimana aku akhirnya tahu bahwa Reinard mempunyai seorang sahabat dari kecil yang sakit-sakitan, dan kini bergantung hidup dengan Reinard. Aku juga ingin menceritakan pada Reza betapa cemburu dan tersiksanya aku melihat Reinard memperlakukan Rena dengan begitu baik melebihi pada istrinya sendiri.

"Lho kok diem Jul? Tuh ice cream lo di gelas udah meleleh."

Aku tersentak dan menunduk. Melihat ice cream-ku sudah berubah menjadi air.

"Iya nih....udah enggak begitu enak dong kalau kayak gini." Aku pura-pura kecewa, padahal sebenarnya sudah tidak ada niatan untuk menghabiskan ice cream tersebut.

"Gue pesenin lagi mau?" tawar Reza kemudian, kepalanya sudah clingukan mencari-cari waiters untuk memesan ice cream baru tapi aku dengan cepat menggeleng.

"Enggak usah kalik. Gue udah kenyang. Udah penuh perutnya. Nanti malah muntah."

"Masa?"

"Ho'oh. Ya gini nih dilema orang hamil." Kekahku. "Pas pengen, peeengeeen...banget. Pas udah makan, jadi enggak selera."

"Selamat jadi calon ibu ya Non. Jujur, gue juga bahagia." Reza menatapku dengan senyuman berarti.

Saat kami sedang asyik terlibat obrolan, tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan yang membuatku tahu siapa pemilik nomor tersebut.

'Mbak Julia, ini Rena. Bisakah kita ketemu sore ini?'

Aku menimang-nimang ponselku sesaat.

"Pesan dari siapa Jul? Kok wajah lo berubah gitu?" Tanya Reza penasaran.

"Oh.....dari klien di Bogor." Aku membereskan tasku. "Tiba-tiba gue harus ke Bogor nih." Kataku kemudian.

"Sekarang? Nyetir sendirian? OMG jul, lo lagi hamil!"

"Huuust! Lebay deh. Gue hamil pak, dan gue sehat. Jadi gue fine aja meskipun harus nyetir sampai Kalimantan!"

Reza terkekah. "Iya....terserah lo dah Jul. dari dulu emang kalau punya keinginan, enggak ada yang bisa ngerubah!"

"Ya itulah yang dinamakan prinsip pak!"

*****

Aku tahu, bahwa ada yang ingin Rena katakan padaku, sampai ia mengirimiku pesan seperti itu. Dia pasti tidak ingin Reinard tahu, jadi aku memang memutuskan untuk datang ke Bogor tanpa memberitahu suamiku. Awalnya aku memang ragu untuk berangkat, apalagi dokter sudah berpesan kepadaku agar menjaga kandunganku dengan baik sebab kandunganku sedikit lemah. Namun, aku tidak bisa mengabaikan pesan itu begitu saja apalagi meminta Rena untuk datang ke Jakarta.

Kali ini aku tidak menemui Rena di kamarnya. Perempuan bertubuh kurus itu sedang duduk di sebuah bangku panjang di taman rumah sakit di depan kolam ikan. Saat aku datang, ia sedang asyik memberi makan ikan-ikan tersebut.

"Rena...." Panggilku pelan dan ia menoleh.

"Mbak Julia..... sini...." Ia menepuk bangku kosong di sampingnya agar aku duduk disitu.

Aku menurut dan kini kami berdua duduk bersisian. Saling bungkam untuk beberapa waktu lamanya.

"Mbak tau enggak, dulu di panti ada sebuah kolan ikan kecil." Rena memulai ceritanya.

Aku menggeleng. "Beberapa kali kesana, tapi aku tak menemukan kolam itu." Sahutku.

"Mas Reinard sangat menyukai kolam tersebut lalu kami membelikannya tiga ekor ikan mas. Setiap sore mas Reinard selalu mengajakku untuk memberi makan ikan-ikan itu, katanya agar cepat besar dan menjadi temanku saat sendirian di panti ketika mas Reinard sekolah. Tanpa kami sadari, kolam dan ikan-ikan itu menjadi tempat favorit kami. Saat kami bercerita tentang sibuknya seharian sekolah, atau tentang susahnya membantu ibu panti memasak atau mencuci piring, atau tentang kesehatanku yang lemah yang mengharuskanku untuk sering bolak-balik ke dokter buat check-up."

Rena menjeda ceritanya, sementara aku masih tetap diam.

"Hingga suatu hari, karena panti asuhan perlu untuk menambah kamar, kolam ikan itu terpaksa ditutup dan ikan-ikan mas itu kami lepas di sungai. Tahu enggak mbak, bahwa aku dan mas Reinard terus menangis ketika kehilangan ikan-ikan tersebut. Apalagi aku. Karena selama di rumah tanpa mas Reinard, ikan-ikan itu menjadi satu-satunya temanku."

"Lalu?"

"Mungkin karena melihatku begitu bersedih, mas Reinard berjanji akan selalu ada untukku. Bahkan akan menemani aku sampai kapanpun mbak."

Lidahku kelu. Perasaanku tidak nyaman. Kembali batinku terasa ngilu.

"Jadi maksud kamu apa?"

"Apa mbak Julia benar-benar mencintai mas Reinard?" Rena menatapku dengan serius.

Aku mengangguk. "Tentu, mana mungkin aku tidak mencintai suamiku."

Rena ikut mengangguk. "Ya....aku pikir juga begitu. Bahkan mas Reinard juga sudah memberikan mbak Julia keturunan bukan?"

Aku tersenyum kaku. "begitulah." Jawabku pelan.

"Mbak.....aku tahu permintaanku ini terdengar aneh dan akan membuat mbak Julia sedikit terkejut."

"Permintaan apa?"

Rena menarik nafas pelan.

"Mbak....bisakan mbak berbagi mas Reinard denganku?"

"APA?!"

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang