48

628 29 0
                                    


Aku menatap suamiku dengan hampa. sekarang ini, aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Wanita itu bernama Rena, salah satu penghuni panti asuhan yang dulu sempat tinggal bersama Reinard. Rena memiliki gangguan pada jantungnya semenjak ia kecil, yang mengharuskan ia terus menerus tinggal di rumah sakit dalam waktu yang lama. Aku tahu, bahwa perasaan mereka sebagai sahabat, apalagi sejak mereka kecil begitu kuat ikatannya. Namun apakah sampai harus berbohong kepadaku, sampai harus mengesampingkan aku sebagai istrinya?

"Entahlah, kamu tidak bisa membuatku berfikir realistis." Aku menumpukan kedua siku di atas meja, lalu dengan gerakan spotan menyisir rambutku ke belakang dengan kedua tanganku. "Apa salahnya jujur kepadaku selama ini Rei?" kepalaku berdenyut hebat. Aku cemburu, marah dan juga kecewa. Semua hal itu bercampur menjadi satu di hatiku, dan sensasinya sungguh luar biasa.

"Maafkan aku Jul. Aku pikir kamu tidak akan pernah setuju dengan sikapku ini."

Aku meliriknya, tentu saja aku tidak setuju. Bukankah lelaki beristri seharusnya bisa menjaga sikapnya dengan wanita lain, meskipun itu sahabatnya sejak kecil dan berpenyakit.

"Aku bertanggung jawab pada Rena, dengan merawatnya." Reinard meremas tanganku. "Astaga, dingin sekali Jul, mari kita pergi dulu. Kita beli baju buat kamu ganti. Bajumu basah, kamu nanti masuk angin."

Aku menarik tanganku perlahan, dan menurunkannya dari meja. Saat ini aku sedang tidak ingin Reinard menyentuhku. "Tidak usah, aku tidak apa-apa." Sahutku dingin. Tiba-tiba saja suamiku menjadi begitu asing.

Rupanya Reinard mengerti dengan perubahan sikapku, "Jul, aku minta maaf. Maaf berkali-kali menyakiti hatimu."

Aku tidak punya kata-kata apapun untuk membalas kalimat Reinard. Sebenarnya aku ingin mengamuk di depannya, mencaci makinya dan mengeluarkan semua hal yang aku rasakan sekarang. Namun lagi-lagi, ego mengalahkanku. Aku tidak mengerti kenapa, mungkin karena perasaanku pada Reinard yang terlanjur besar sehingga mengalahkan logika yang seharusnya aku lakukan.

Sebenarnya, apa hal yang membuatnya selalu menutupi masa lalunya padaku. Sepertinya, jika ia jujur sejak dulu tentang Rena, mungkin aku tak akan sekesal ini. Ada yang pernah mengatakan kepadaku, bahwa persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu bulsyit. Pasti ada salah satu yang menyimpan perasaan diam-diam. Dan melihat bagaimana Reinard menatap Rena seperti tadi, aku bisa menyimpulkan itu meskipun pria di depanku ini terus-menerus mengatakan maaf.

"Aku harus pulang." Aku beranjak dari dudukku.

"Pulang?" Reinard juga bangkit dari duduknya. "Apa kamu tidak ingin bertemu Rena? Dia selalu menanyakanmu Jul."

Aku menggeleng. "Tidak, aku tidak perlu bertemu dengannya." Jawabku ketus. "Apa kamu tidak ingin pulang bersamaku?"

Reinard tak menjawab. Ia terlihat bimbang.

"Baiklah, aku pulang sendiri." Diamnya Reinard membuatku tahu apa yang ingin dikatakannya.

"Jul....!" Reinard mencekal tanganku.

"Aku mau pulang." Aku mengibaskan tangannya. "Jangan ngomong apapun, karena aku lagi enggak pengen ngomong sama kamu Rei." Aku melangkah cepat meninggalkan cafe, menerobos hujan.

Di dalam hati kecilku yang paling dalam, aku berharap Reinard menyusulku, memelukku dari belakang dan membisikkan permintaan maafnya yang tulus kepadaku lalu mengajakku untuk pulang bersama. Namun nyatanya, sampai aku menghidupkan mesin mobil dan melajukan mobilku, Reinard tak terlihat batang hidungnya sama sekali.

*****

Aku membuka mataku dengan sangat berat. Kepalaku berdenyut dengan kencang, seakan ribuan palu menghantamnya bertubi-tubi. Matahari sudah tinggi, dan sinarnya menelisik lewat gordyn kamar yang tidak tertutup sempurna.

Semalam aku tidak pulang ke Jakarta. Aku tahu jika menyetir ke Jakarta dengan kondisi pikiran yang amburadul tetap tidak baik dengan keselamatanku. Hingga akhirnya aku memilih untuk menginap di salah satu hotel di daerah Bogor. Semalam juga, aku sudah menelpon Rini untuk mengambil cuti beberapa hari, dan meminta semua pekerjaan dia yang menangani. Kondisiku memang tidak baik, bahkan aku mengalami penurunan berat badan yang signifikan karena masalah ini.

Tanganku terulur, mengambil ponsel di atas nakas. Lalu cukup terkejut melihat lebih dari seratus kali panggilan tidak terjawab dari Reinard, juga beberapa pesan masuk yang menanyakan dimana aku sekarang karena tidak berada di rumah dan kekhawatirannya. Aku sengaja mengatur ponselku dengan mode silent agar tidak terganggu dengan apapun.

Aku berniat menegakkan tubuhku ketika kembali luruh ke kasur. Aku benar-benar tidak kuat, setiap menggeser kepalaku, rasanya kembali bertubi-tubi palu berdentam di kepalaku. Aku menggigit bibir dengan cemas, apalagi dengan suhu badanku yang panas seperti ini.

Belum selesai dengan segala pertimbangan di kepalaku tentang apa yang harus aku lakukan, atau haruskah aku ke rumah sakit, tiba-tiba ponsel yang ku pegang mengerjap-ngerjap. Nama Rangga muncul di sana. Entah kebetulan atau tidak, ketika pria itu menelponku sekarang.

"Jul, lo dimana?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Kenapa?"

"Reza nanyain keberadaan lo sama gue." Sahutnya.

Aku mengerti, pasti Reinard sudah menghubungi Reza dan menanyakan keberadaanku sekarang.

"Lo dimana Jul?" suara Rangga terdengar lembut. Ia bahkan tidak menanyakan kenapa dan bagaimana atau hal lainnya, padahal aku yakin jika ia tahu bahwa aku sedang bermasalah dengan suamiku.

"Di Bogor." Tak ada jawaban dari Rangga. "Gue sakit. Di hotel."

"Hotel mana?"

Aku menghela nafas pelan. "Emang lo mau kesini jemput gue?"

"Boleh."

"Hah?"

"Gue juga di Bogor masalahnya."

"Beneran?" aku mengeryitkan kening. Sungguh sebuah kebetulan yang aneh. "Lo enggak bohong sama gue kan?"

"Ngapain juga gue bohong sama lo?" sahur Rangga. "Lo dimana, gue jemput, sekalian anter ke rumah sakit."

Aku termangu beberapa saat. Apakah dibenarkan aku meminta seorang pria selain suamiku untuk menjemputku di hotel, membawaku ke rumah sakit lalu mengurusku? Tapi aku benar-benar tidak bisa melakukan apapun sekarang. Aku yakin jika bisa pingsan kalau memaksakan diriku untuk ke rumah sakit sendirian.

Akh, bodo amat! Lagian, Reinard juga bertemu dengan wanita lain di belakangnya dan bahkan merawatnya di rumah sakit. Anggap saja ini balas dendam. Ya.....begitu saja!

"Oke. Jemput aku sekarang Ngga....." sahutku mengakhiri telepon.

*****

Rangga menatapku dengan prihatin lalu menghela nafas dengan pelan. Ia duduk di sebelahku. Kini aku sedang berada di IGD. Mendapatkan cairan infus dan suntikan penurun panas, lalu diobservasi sampai cairan infusku habis. Jika aku lebih baik, aku bisa pulang.

"Kenapa lo ngelihatin gue begitu?" Sungutku kesal.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Julia yang biasanya kelihatan cetar membahana badai, kini kelihatan pucet, awut-awutan, gak bersemangat kayak orang lagi kalah judi."

Aku berdecak. Andai aku tidak lemas, mungkin sudah ku timpuk kepalanya. Namun, di lain sisi aku sangat beruntung karena Rangga menjemputku tadi.

"Reza cerita apa sama lo?" tanyaku pada akhirnya.

"Ada lah...." sahut Rangga. Ekspresi mukanya tenang. "Tapi itu bukan urusan gue."

Aku menunduk, menatap selang infus yang terhubung ke punggung tanganku.

"Sebagai orang luar yang enggak tau apa-apa gue Cuma mau bilang. Apapun itu, semua keputusan tergantung lo. Lo tau mana yang terbaik buat diri lo, atau yang nggak baik."

Aku tidak menjawab. Pikiranku buntu. Aku memang berhak atas hidupku sendiri dengan mengambil keputusan terbaik untukku hidupku. Namun, aku tidak yakin akan semua keputusan yang hendak aku ambil.

"Jul!" sebuah suara memaggilku, bersamaan dengan tirai gordyn yang terbuka.

Aku mengerjapkan mata. Reinard berdiri di depanku dengan wajah cemasnya.

Kenapa pria ini berada di sini sekarang?

***** 

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang