Aku membuka pintu kamar hotel dengan pelan. Aroma pewangi ruangan langsung menusuk hidungku ketika pintu itu terbuka dan aku mulai masuk ke dalam. Setelah menghidupkan saklar lampu, aku segera menjatuhkan tubuhku di kasur itu dengan helaan nafas dalam. Mataku terasa panas sekarang, hasil dari menangis sepanjang jalan karena sakit hati dan dalam mode kebingungan mencari tempat bermalam.
Awalnya aku bingung menentukan tujuanku malam ini. Ke rumah orangtuaku? Tidak mungkin! Hal yang sangat konyol apabila papa dan mama ikut marah dan membuat keadaan menjadi runyam. Lagipula aku tidak punya jawaban ketika mereka memberondongku dengan banyak pertanyaan tentang alasanku pulang dengan mata sembab. Ke rumah Reza, aku juga tidak yakin kalau suamiku tidak akan datang ke sana. Aku yakin jika malam ini ia tengah kebingungan karena ponselku juga aku matikan. Sengaja. Aku malas berhubungan dengan siapapun. Satu-satunya orang yang bisa memelukku dengan hangat adalah Eli, tapi wanita itu berada di luar negeri. Dan beberapa hari lalu mengabarkan bahwa ia bertemu dengan seorang pria berkebangsaan Inggris, dan sedang dalam proses pendekatan. Setidaknya, aku turut lega dengan apapun keputusan Eli. Yang jelas aku ingin dia bahagia, dengan siapapun lelaki pilihannya.
Panggilan terakhir di ponselku adalah pada Reza, yang mewanti-wanti pria itu untuk tidak panik jika Reinard tiba-tiba menelponnya atau datang ke rumahnya dan mencariku. Aku sudah menceritakan garis besar masalahku pada pria itu, meskipun tetap saja aku sempat diberi sedikit umpatan karena terlalu kekanak-kanakan.
Terserah Reza mengolokku dengan sifat apa. Yang jelas, aku benar-benar kecewa sekarang. Aku merasa dibohongi. Apa salahnya menceritakan masa lalu pada pasangan, sekelam apapun atau seburuk apapun. Karena aku yakin jika pasangan tetap akan menerima apa adanya jika sudah cinta. Akupun juga begitu. Meskipun Reinard bukanlah darah daging keluarga Saputra, aku juga tidak akan ambil pusing. Aku mencintai apa adanya Reinard tanpa syarat, tulus dari dalam hatiku, namun sepertinya berbeda dnegan pria itu. Ia malah seperti ingin terlihat sempurna di mataku, jadi apakah dia memang benar-benar mencintaiku?
Suara ketukan pintu membuatku beranjak dari posisiku. Aku tahu siapa sosok di balik pintu tersebut. Yaitu Reza, sebelum benar-benar mematikan ponsel tadi aku sudah mengatakan padanya kemana tujuanku malam ini. Aku pikir ia akan datang besok, ternyata ia gercep juga menghiburku ketika dalam masalah dengan datang cepat.
"Lo tuh kayak anak kecil wak!" begitulah kalimatnya yang kelur ketika pintu kamar baru saja aku buka. Tanpa permisi ia meringsek masuk dan berjalan melewatiku.
Aku menghela nafas sembari menutup pintu. Kuikuti pria itu yang kini menghempaskan tubuhnya di sofa.
"Bisa enggak sih enggak kabur-kaburan dari rumah." Pria itu menoleh padaku. "Lo tau enggak kalau Reinard terus nelponin gue sampai kuping gue kayak mau budeg!"
Aku belum menyahut. Merasa sedih juga mendengar kabar dari Reza bahwa suamiku kini sedang kalang-kabut mencariku. Ia pasti cemas, tapi aku tetap tidak akan pulang malam ini.
"Lo tinggal jadi'in ponsel lo dalam mode diam." Gumamku kemudian kembali duduk di pinggiran kasur. Tempat yang sama dengan tadi.
Reza melipat tangannya di depan dada.
"Gue tahu kalau dibohongi itu sakit Jul. tapi lo harus tahu dong alasan dia enggak ngasih tau masa lalunya sama lo?!"
Aku tidak menyahut. Kepalaku serasa dihantam balok setiap mengingat apa yang terjadi.
"Mungkin dia belum siap Julia."
"Gue belum bisa menerima itu semua Rez." Sahutku. "Dia suami gue. Seharusnya dia mengatakan apapun sama gue, termasuk masa lalunya. Apalagi ini tentang sesuatu yang gue pikir sangat penting. Dia bukan anak kandung papa Saputra. Kenapa enggak cerita? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?"
"Kan tadi gue bilang Jul. suami lo pasti ada alasan." Sahut Reza cepat. "Dan sekarang lo bayangin gimana keadaan dia. Pasti dia kebingungan nyari'in lo kesana-kemari." Reza mencebik kesal. "Ih, tega lo Jul."
"Biarin!" sisi egoisku muncul.
Reza tak menjawab, dan hanya berdecak pelan sebagai tanda kesal. Ia hanya menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Lo udah makan?" tanyanya kemudian.
Aku menggeleng pelan,
"Makan dong Jul. lo mau sakit?"
"Enggak nafsu Rez."
"Makan deh. Gue pesenin makanan sekarang." Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Tuh bener kan, suami lo telepon gue lagi!" ia memperlihatkan ponselnya ke arahku.
Aku melirik ponsel Reza dan dua puluh enam panggilan tidak terjawab terlihat di display layar ponsel dengan daya baterai tinggal dua puluh lima persen itu.
"Gue bener-bener enggak bisa pulang sekarang." Decakku lalu naik ke atas kasur dan menarik selimut.
"Terserah lo wak. Gue paksa sampe suara gue habis lo juga enggak bakalan nurut sama gue." Jawab Reza enteng tanpa menatap ke arahku. Ia sibuk menaik turunkan layar ponselnya. Sepertinya sedang memesan makanan untukku.
"Udah gue pesenin. Nanti ambil di lobi ya...." Reza beranjak dari tempat duduknya.
"Loh, lo mau kemana?" mataku mengekor gerakan Reza dengan bingung.
"Ya pulang dong wak!" sahutnya. "Yakali gue mau nginep disini. Apa kata dunia kalau mereka tahu gue nginep di satu kamar sama istri orang."
"Lo kan bukan cowok."
"Tapi casing gue cowok Jul! enggak ah!"
Aku tersenyum. Punya sahabat model seperti Reza ada untungnya juga.
"Yaudah gue pergi ya wak. Jangan lupa, makanannya dimakan ntar. Mehong!" pesan Reza sebelum akhirnya beranjak pergi dari kamarku.
Selepas Reza pergi, suasana menjadi kembali sepi. Ternyata tanpa sadar, selama ini aku sudah membangun kebiasaan bersama Reinard. Dulu sebelum menikah, tidur di kamar hotel sendirian tanpa siapapun rasanya begitu nyaman. Privasiku terjaga, dan aku bebas melakukan apapun. Tapi sekarang, aku merasa begitu hampa tanpa ada Reinard di sampingku. Sebagian jiwaku terasa kosong. Ingin aku menekan egoku dan pulang, aku yakin Reinard juga bakalan bahagia. Namun di sisi hatiku yang lain, aku ingin menetralkan hatiku yang panas karena kebohongannya.
****
Paginya, aku bangun dengan perasaan yang masih sama.
Hampa.
Ku raba ponselku di atas nakas untuk menghidupkan dayanya. Baru saja layar ponsel itu menyala, berbagai notifikasi muncul bersahutan. Dan yang paling banyak ada pesan dari suamiku. Bertubi-tubi pesannya masuk, bertumpang tindih di kotak pesanku. Mengharapkan aku pulang, berputus asa mencariku dan banyak lagi kalimat-kalimat yang membuatku kembali menangis pagi ini.
Alih-alih membaca pesan dari Reinard, aku justru mencari nama Rini di kontak teleponku. Hari ini aku ingin mengambil cuti lagi. Mood-ku yang sedang tidak baik membuatku tidak ingin ke kantor hari ini. Karena aku yakin, aku juga tidak akan bisa menyelesaikan satupun pekerjaan dan malah akan menambah masalah.
"Halo mbak....." sapa Rini ketika aku baru saja mendengar nada 'tut' pertama di seberang sana.
"Rin aku—"
"Mbak, mas Reinard ada di kantor sekarang!" belum selesai aku mengatakan maksudku pada Rini, wanita itu sudah lebih dulu menyelaku.
"Ha! Di kantor?!"
"Kayaknya nginep sini deh mbak!"
Aku tak menjawab. Apa benar Reinard segitunya?
"Memang mbak Julia di mana sih? Lagi ada masalah apa sama ma Reinard?"
Aku belum menjawab. Berfikir bagaimana caranya agar semua hal tidak semakin memburuk. Aku rasa Reinard terlalu nekat dengan tidur di kantor—jika benar.
"Bilang sama dia Rin. Hari ini aku enggak ke kantor." Kataku sebelum akhirnya menutup telepon.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
ChickLitaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.