"Bagaimana?" suara papa menggema dari balik telepon. Pertanyaan yang sama sekali tidak asing menusuk telingaku.
Aku belum menjawab. Pandanganku tertuju pada sosok yang kini sedang menyruput latte dengan santai di depanku.
"Not bad." Jawabku kemudian yang tentu saja mendapatkan hadiah lirikan darinya.
Aku memang berkata jujur. Pria di depanku ini memang nyaris sempurna. Hidung mancung, mata tajam, dan alis tebalnya terangkum sempurna dengan wajah tegas yang menggoda serta kulitnya yang putih bersih. Pria ini tinggi, mungkin sekitar seratus delapan puluh centimeter lebih. Aku yakin jika kami berdiri berhadapan, tinggiku yang hanya seratus enampuluh ini pasti akan tenggelam di balik tubuhnya ini.
"Kali ini papa harap kamu akan berkata iya." Kalimat terakhir dari papa mengaburkan monolog di kepalaku.
Aku hanya menghela nafas, lalu meletakkan ponselku di atas meja setelah menjawab papa hanya dengan deheman kecil. Aku tidak tahu lagi harus menjawab kalimat papa yang seperti de-javu itu. Aku sudah sering mengatakan 'tidak pa' atau 'NO!' atau 'bukan seleraku' namun selalu saja berakhir dengan deretan pria lain yang sudah mengantri di belakang papa untuk dibuatkan jadwal bertemu denganku.
"Jadi, apa yang membawamu kemari?" tanyaku basa-basi, padahal aku tahu kenapa kami berakhir di sini.
Pria itu meletakkan cangkirnya dengan sangat hati-hati di atas meja, lalu menatapku. "Apa kamu belum diberi tahu?" tanyanya lembut. "Sepertinya sudah."
Sial! Dia malah membalas pertanyaanku.
"Ya....sedikit...." Aku mengedikkan bahu. Jemariku tiba-tiba saja meraih sedotan untuk mengaduk-aduk minuman di depanku. "Hanya saja aku merasa aneh Ketika kamu langsung menerima perjodohan ini. Bahkan di saat usiamu yang empat tahun lebih muda dariku."
Aku datang ke café ini bukan tanpa bekal apapun. Kemarin sore ketika papa menyampaikan niatnya untuk Kembali menjodohkanku dengan putra salah seorang kenalannya, aku langsung menghubungi Arian, sepupuku untuk mencari tahu tentang Reinard Saputra. Dan semalam aku sudah mendapatkan rincian detail tentang pria di depanku ini. Ia seorang dokter di salah satu rumah sakit milik keluarganya, mendapatkan ijazah SMP dan SMA dengan cepat karena dia mengikuti program akselerasi, dan tentu saja berimbas pada pencapaiannya menjadi seorang dokter spesialis jantung di usia sangat muda. Bahkan di usianya yang baru menginjak duapuluhtujuh tahun, dia sudah menjadi salah satu dosen di fakultas kedokteran di kota ini.
Lantas, apa yang menyebabkannya mau menerima perjodohan ini bahkan dengan wanita yang usianya jauh lebih tua empat tahun darinya? Padahal setauku—karena aku pernah berada di posisinya, sampai aku lupa untuk menikah—di saat kita menemukan pencapaian emas seperti yang dirasakannya sekarang, niat untuk menikah itu lenyap begitu saja.
"Kamu bisa menolak perjodohan ini kalau kamu mau." Suaranya begitu lembut menguar di telingaku.
Sejujurnya aku sempat terkejut Ketika berhadapan dengannya tadi. Sungguh semuanya di luar ekspektasiku. Aku pikir dia tak sekeren dan setampan ini. Aku pikir, ia hanya pria biasa yang secara kebetulan mendapatkan hoki dalam hidupnya karena keluarganya kaya dan otaknya pintar. Namun ternyata selain hoki, Reinard punya keberuntungan lain yang lebih mengejutkan.
WAJAHNYA!
Wajahnya nyaris sempurna. Mirip sekali dengan wajah arti-artis K-pop yang banyak bertebaran di dinding kamarnya Rosa, adikku.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku." Desakku. "Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini denganku?" aku masih tetap menaruh sederet kecurigaan dengan tampangnya yang polos itu.
"Karena aku menghormati setiap keputusan orangtuaku." Jawabnya. "Apapun yang terbaik bagi mereka, tentu aja terbaik bagiku. Bukankah kamu juga berpikiran sama denganku Julia Andriana?"
Aku menelan saliva susah payah. Reinard benar, aku sudah terlalu tua untuk menolak perjodohan ini apalagi aku anak pertama di keluargaku. Papa dan mama sangat mengharapakan kehadiran cucu di tengah-tengah mereka, meskipun aku tidak yakin jikapun menikah, aku bersedia untuk hamil lalu melahirkan. Setidaknya membahagiakan mereka dengan pernikahan sudah cukup.
Sebenarnya, aku pernah punya keinginan untuk menikah muda. Ketika aku masih kuliah dan merasa jika materi-materi hukum yang kupelajari membuatku hampir gila. Tentu saja karena aku masuk juruan hukum juga karena permintaan papa. Namun Ketika aku mulai bekerja, dan berhasil mendirikan firma-ku sendiri, keinginan untuk menikah itu lenyap seketika. Aku tidak yakin apa karena aku benar-benar sibuk atau karena memang seperti yang aku katakan tadi bahwa ketika kita mencapai puncak kesuksesan, kita cenderung ragu untuk menjalin sebuah hubungan, apalagi tentang ikatan pernikahan.
"Aku juga tidak ingin mengecewakan orangtuaku lagi." Aku bergumam. "Tapi....."
Reinard menatapku dengan tatapan tajamnya yang terkesan dingin."Apa kamu tidak merasa terlalu terburu-buru jika aku jawab sekarang?" aku menatapnya penuh harap. Mungkin dengan jawabannya bisa merubah keraguanku tentang perjodohan ini. Meskipun Reinard adalah seseorang yang nyaris sempurna dalam segala hal, namun aku perlu tahu lebih dalam tentang dia, terkhususnya tentang kenapa ia menerima tawaran orangtua kami untuk menikah padahal aku rasa ia belum ada di usia wajib untuk menikah.
"Sudah aku jelaskan bukan, aku ingin membahagiakan orangtuaku."
"Hanya itu?" sahutku sedikit kecewa. "Jika karena perjodohan orangtua, aku rasa kamu bisa menolaknya kalau kamu tidak mau. Kita memang ingin membahagiakan orangtua, tapi tidak berarti menuruti semua keinginan mereka Ketika kita tidak bersedia bukan?"
"Siapa bilang aku tidak bersedia dengan perjodohan ini?" ia mecondongkan tubuhnya ke arahku dan melipat kedua tangannya di atas meja. "Alasan lain aku menerima perjodohan ini karena aku tertarik denganmu."
Aku diam. Namun tidak bisa menutupi pipiku yang terasa panas. Bagaimanapun juga aku merasa tersanjung dengan kalimatnya. Akh, Julia.....meskipun sudah tua rupanya kamu masih bisa termakan rayuan gombal semacam itu.
Anehnya, sejak pertemuan pertama tadi, aku tidak merasa canggung sedikitpun dengan dia. Malah lebih merasa nyaman. Aku tidak tahu apakah aku memang sudah tertarik dengannya atau karena usianya jauh dibawahku sehingga aku merasa nyaman saja berbicara dengannya.
"Kamu yakin mau menikahi seorang wanita berusia tigapuluh satu tahun?" aku kembali meyakinkan dia.
Reinard mengangguk. Ia kini berganti posisi dengan bersandar di kursi.
"Bagiku usia bukanlah patokan."
Aku mengamini kalimatnya dalam hati. Usia memang bukan patokan untuk menilai kedewasaan seseorang. Buktinya, di usiaku sekarang saja aku masih sering minta mama menyuapiku ketika makan.
"Oke...." Aku mengangguk pada akhirnya. Kutegakkan tubuhku dan menatapnya dengan intens. "Jadi kamu menerima perjodohan ini tanpa paksaan?"
Dia berfikir sesaat kemudian mengangguk.
Aku mengulurkan tangan ke arahnya. "Baiklah, aku akan berusaha menerima perjodohan ini dan mulai sekarang, mari belajar menjadi pasangan."
Reinard menerima uluran tanganku tanpa mengucapkan kalimat apapun.
Bagaimanapun juga, meskipun aku tidak setuju dengan perjodohan ini, aku tetap harus menerimanya. Usiaku memang sudah lebih dari cukup untuk memulai pernikahan, bahkan bisa dibilang 'telat'. Lagipula aku tidak ingin membuat papa dan mama kembali kecewa dengan penolakanku pada pria-pria yang pernah mereka kenalkan padaku.
Aku tidak perlu mengawali pernikahan dengan cinta. Toh, kata salah satu klienku di firma hukum, sebesar apapun cinta ketika pacaran, lama-lama juga akan terkikis Ketika sudah menikah. Banyak penyebab, makanya tak heran dalam sebulan, aku banyak sekali mendapatkan pasangan yang berebutan harta goni-gini karena perceraian. Padahal mereka bilang, mereka menikah karena cinta. Jadi, tidak ada patokan bukan pernikahan itu harus dilandasi dengan cinta lebih dulu?
Maka dari itu, sekarang aku sedang mencoba untuk memulai sesuatu yang besar di hidupku. Hubungan yang hanya berlandaskan paksaan. Kami akan mencoba, dan jikapun gagal, mungkin kami juga akan berakhir di pengadilan agama.
Menurutku itu wajar di jaman sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
Chick-Litaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.