41

601 36 0
                                    


Aku memunguti bajuku yang berserakan di lantai, sebelum akhirnya masuk kamar mandi. Meskipun aku tidak begitu suka melihatnya hari ini, namun aku tetap menuruti ketika ia minta jatahnya. Tugas istri yang utama adalah membahagiakan suami di atas ranjang, dan aku berusaha untuk memberikan itu sebagai istri yang baik.

Setelah membersihkan diri dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku bergegas menuju dapur dan menemui suamiku di sana yang sedang memasak omelet, nasi goreng, dan nugget goreng. Jarang-jarang melihat suamiku di dapur, dan sekalinya lihat ia langsung terlihat keren.

"Nggak kerja?" tanyaku sambil duduk di kursi meja makan. Aku berusaha untuk mengaburkan nada dingin dari suaraku.

Reinard menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali menekuni irisan mentimunnya.

"Enggak, hari ini mau di rumah seharian sama istriku." Sahutnya lalu membawa dua piring nasi goreng beserta topping irisan mentimun tadi ke atas meja. Bau nasi goreng itu menggoda seleraku, membuat cacing-cacing di perutku memberontak.

"Tuh kan laper?" Reinard tersenyum ketika mendengar suara bising ususku.

Aku menunduk dan mengambil sendok. Memakan nasi goreng itu diam-diam. Pertama memang karena lapar, kedua karena aku sedang tidak ingin terlibat banyak pembicaraan dengan pria di depanku ini.

Hari ini Reinard benar-benar di rumah dan tidak pergi ke manapun. Bahkan telepon-telepon yang biasanya berdering sama sekali tidak terdengar. Aku kembali memutar memoriku, benarkah telepon-telepon yang diterimanya hampir setiap waktu itu benar-benar telepon dari rumah sakit yang menyuruhnya untuk bekerja? Seketika rasa curigaku muncul.

Seharian ini aku sengaja tidak banyak interaksi dengan suamiku. Aku pura-pura sibuk bekerja dengan menghadap laptop sampai mataku panas. Sebenarnya, aku sedang mencari waktu ia lengah dan mengambil ponselnya. Katakan aku jahat dan menghianati prinsipku sendiri, namun ini demi hubungan rumah tangga kami. Aku tidak suka jika ia selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku seperti ini.

Akhirnya setelah menunggu hampir setengah hari, aku melihat suamiku beranjak dari sofa depan TV menuju kamar mandi. Setelah memastikan kalau iabenar-benar mengunci pintu kamar mandi, aku segera berjingkat lanyaknya pencuri di rumahku sendiri dan diam-diam mengambil ponsel itu.

Untung saja, suamiku tidak membuat kode pengaman di ponselnya tersebut, sehingga aku bisa dengan mudah membuka kuncinya tanpa halangan. Pertama aku membuka aplikasi pesan yang sering ia gunakan. Tidak ada yang aneh, hanya ada beberapa pesan dari rumah sakit mengenai konsulan pasien. Ada juga serentetan pesan dari Wina. Dasar cewek gatel, bisa-bisanya ngajakin suami orang makan siang bareng.

Tidak ingin terlalu lama termehek-mehek dengan isi pesan Wina, aku segera membuka kontak telepon. Tidak ada nama yang mencurigakan. Atau mungkin suamiku mengubah nama seseorang menjadi nama laki-laki di kontak teleponnya. Ah, persetan! Aku tidak peduli.

Saat hendak membuka galeri, tiba-tiba aku mendengar suara pintu kamar mandi dibuka. Secepat kilat, aku lempar ponsel itu ke atas sofa dan aku kembali ke meja kerjaku. Pura-pura sibuk dengan laptop lagi.

Aku berdecak kecewa. Untuk misi siang ini, bisa kupastikan gagal!

*****

Hari berikutnya, aku punya misi lain. Setelah mencari tahu bahwa hari ini jadwal suamiku adalah memberi kuliah di kampus, aku segera memacu mobilku menuju rumah sakit. Aku sengaja mengambil libur beberapa hari untuk tidak masuk kantor hanya untuk mencari bukti bahwa ada sesuatu yang memang sedang disembunyikan suamiku.

"Mbak, enggak masuk lagi?!" protes Rini dari balik telepon tadi pagi.

Aku melirik kamar mandi, dimana suamiku sedang mandi pagi ini. "Iya....ada penting nih...." Bisikku.

"Mbak dimana sih bisik-bisik?!" tanya Rini kemudian.

"Di rumah....."

"Kok pakai bisik-bisik?"

"Iya....Reinard masih tidur." Jawabku bohong. "Pokoknya untuk beberapa hari ini aku enggak bisa ke kantor Rin. Kalau ada apa-apa, aku serahkan semua sama kamu. Mengerti?!"

"Iya....iya....mbak...."

Begitulah akhirnya, setelah suamiku berangkat ke kampus pagi ini, aku segera memacu mobilku ke rumah sakit. Entah apa yang akan aku dapat nanti, namun aku berharap itu tidak benar-benar membuatku kecewa.

Lagi-lagi aku bertemu dengan koas kecentilan bernama Wina itu. entah kenapa, di rumah sakit yang begitu besar dan luas, aku selalu saja bertemu gadis itu di setiap sudut rumah sakit. Seperti pagi ini, ia sudah terlihat asyik berbincang dengan salah satu pasien di lobi.

Melihatku ia melengos—pura-pura tidak kenal. Padahal aku adalah istri dari seorang pria pemilik rumah sakit ini. Bukannya takut atau setidaknya bersikap sopan, gadis itu malah pura-pura tidak peduli.

"Win!" panggilku. Hari ini aku memang butuh info darinya.

"Iya ibuuuk....." ia tersenyum, namun aku tahu jika itu hanya dipaksakan.

"Hari ini saya tidak mau berdebat apapun sama kamu." Kataku ketus.

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya menatapku penuh selidik. "Kayaknya butuh bantuan nih...."

Aku menarik nafas pelan. Andai sajatidak butuh sesuatu darinya, aku tidak akansudi mengajak gadis ini bicara. Meskipun cantik, Wina adalah tipe gadis menyebalkan menurut versiku.

"Iya, dan aku benar-benar tidak ingin menjadi musuhmu. Untuk hari ini." Kataku setengah memohon.

Wina mengangguk, ia tampak mengerti.

"Kamu tahu jadwal kerja Reinard?"

Gadis itu menatapku dengan glabella berkerut. "Perasaan tante deh istrinya. Kenapa malah tanya saya?" ia menunjuk dirinya sendiri.

Aku memutar bola mata malas. "Kalau saya tahu, saya juga enggak bakalan tanya. Apalagi sama kamu!"

Wina tampak berfikir. Dari raut wajahnya, sepertinya ia punya sebuah ide yang kurang baik.

"Mau kasih apa kalau saya bisa kasih jadwal dokter Reinard sama kamu?"

Benar kan apa yang aku pikirkan? Selain punya bakat merebut suami orang, dia juga bakat dalam hal mencari kesempatan di dalam kesempitan.

"Apa aja deh yang kamu mau."

"Spesifik dong!"

"Tiket liburan gratis ke bali dua hari dua malam lengkap beserta penginapan."

"Deal!"

Sial, kenapa aku justru menawarkan sesuatu seperti itu sih. Apa akutidak berlebihan menukar selembar jadwal piket suamiku dengan tiker liburan ke Bali? Seharusnya aku tadi menyebutkan tiket nonton bioskop, atau voucher spa gratis di salah satu salon terkenal langgananku atau paling banter membelikan dia sepatu. Akh, aku terlalu berlebihan dan gadis di depanku ini juga terlalu matre.

"Okee...sekarang, kasih aku jadwalnya."

"Bereees....ikut saya sekarang tante!"

Aku mengikuti gadis centil itu menuju tempat istirahatnya di lantai atas. Dari dalam sebuah buku notes, ia mengeluarkan sebuah kertas fotokopian berisi jadwal-jadwal dokter umum sampai dokter spesialis.

"Jangan lupa sama janji anda ya tante?!" Wina menarik kembali kertas yang hampir pindah ke tanganku itu. sepertinya ia masih curiga jika aku tidak serius dengan omonganku tadi.

"Iya....aku bukan tipe orang yang ingkar janji!" sahutku. Lagipula aku bukan wanita yang suka main-main dengan ucapanku.

"Oke. Saya tunggu kabarnya ya tante!" ia memberikan kertas itu dan aku menerimanya dengan senyum lebar. "Awas kalau bohong!"

"Iya....bawel deh!"

"Jadi sebenernya ada masalah apa sih sampai minta jadwal dokter Reinard sama aku?" tanya Wina, matanya melirik tanganku yang memasukkan jadwal itu ke dalam tas.

"Urusan suami-istri." Sahutku lugas.

Gadis itu mencebik. "Kalau aku kasih tau rahasia mau enggak?"

"Apa?" seketika aku antusias.

"Dokter Reinard sering kok ambil cuti tiba-tiba, padahal ia punya jadwal masuk."

"Apa?!"

******

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang