53

622 35 0
                                    

Aku pikir ajakan Reinard tentang bulan madu itu hanyalah gurauan saja. Mana mungkin aku bisa melakukan perjalanan udara di saat hamil muda seperti ini. Namun ternyata, suamiku yang penuh kejutan itu tidak sepenuhnya bohong. Kami memang tidak melakukan perjalanan terlalu jauh menggunakan pesawat, atau kapal dengan mengunjungi wisata luar negeri atau luar pulau. Ya! Reinard sudah memesan sebuah resort mewah di pinggir pantai yang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tempatnya nyaman, jauh dari bising kota dan deru kendaraan yang berlalu-lalang. Sejauh mata memandang, kami hanya melihat hamparan pasir putih dan suara debur ombak yang memecah kesunyian. Benar-benar tempat yang nyaman agar isi pikiranku bisa rileks dan agar jabang bayi di dalam perutku mendapatkan ketenangan.

"Kamu suka tempat ini?" Reinard menyusupkan tangannya dan kini ia sudah memelukku dari belakang. Aromanya yang khas dan wangi menguar di hidungku.

"Sangat suka." Aku tak mengalihkan pandanganku dari debur ombak yang berada di depanku. Lewat kaca jendela resort yang lebar, aku bahkan bisa melihat langit biru serta beberapa kelompok camar yang terbang dengan bebas. "Bisakah kita tinggal disini selamanya?"

Reinard tertawa kecil kemudian memutar tubuhku agar menghadap ke arahnya. "Seandainya mungkin, aku juga ingin."

Aku tahu jika tinggal di tempat ini adalah sesuatu yang mustahil untuk kami saat ini. Kami masih harus berkarier untuk masa depan kami, bahkan untuk masa depan jabang bayi yang berada di dalam perutku sekarang. Kami harus membesarkannya dengan baik, dengan penuh cinta dan kasih sayang.

"Apa boleh aku menciummu honey?" bisik Reinard kemudian.

Aku memainkan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Tentu saja. Kenapa kamu harus meminta ijin?"

"Ya siapa tahu, kalau kamu mungkin sedang tidak ingin untuk di—"

"CUP!" aku lebih dulu mengecup bibir suamiku, yang dibalasnya dengan ciuman yang lebih panas. Reinard melumat bibirku, yang sedetik kemudian aku mendengar nafasnya telah memburu. Mau bagaimana lagi, aku mencoba mengimbanginya. Karena hasratku memang naik dua kali lipat setelah hamil. Beberapa hari lalu, aku bahkan melakukannya dua kali di bath up saat mandi. Aku menarik suamiku yang baru pulang kerja ke kamar mandi, bahkan kami juga melakukannya di dapur, di ruang tamu dan....

Akh, hampir semua tempat sudah aku jelajahi untuk bercinta dengan suamiku.

Reinard melakukannya dengan sangat hati-hati. Lebih lembut dari biasanya, dan hal itu membuatku kecanduan. Ia memperlakukanku dengan baik di atas ranjang, gerakan naik turunnya yang begitu erotis namun tidak kasar menciptakan nuansa baru yang berhasil membuatku menjerit-jerit nikmat.

"Aku lelah....." dengusku ketika kami sudah menyelesaikannya. Aku mengusap beberapa titik keringat didahi suamiku.

"Apa aku membuatmu tidak nyaman?" Reinard membulatkan matanya. Ia begitu waspada jika aku akan merasa kesakitan karena apa yang dilakukannya tadi.

Aku menggeleng. "Sama sekali tidak!" aku mengecup dadanya yang masih telanjang. "Kamu bermain dengan sangat baik."

Priaku itu tersenyum. "Jadi, kamu masih kuat untuk melakukan jalan-jalan sore di pinggir pantai, lalu makan malam bukan?"

"Ya jelas dong." Anggukku. "Aku siap melakukan apapun, asalkan bersamamu."

Reinard mengecup bibirku sebelum akhirnya ia mengajakku untuk membersihkan diri dan bersiap-siap keluar dari dalam resort.

****

Setelah puas menikmati sunset yang begitu indah, kami akhirnya makan malam di salah satu restoran di pinggir pantai tersebut. Ditemani debur ombak dan angin sore yang lembut, kami bercakap-cakap sambil menikmati hidangan laut di depan kami.

Lagu One And Only milik Adele tiba-tiba mengalun. Suara lembut dari penyanyi yang sejak tadi memang sudah mengisi acara sore ini.

"Lagu ini permintaan dari saudara Reinard, yang ditujukan untuk istrinya. Katanya perempuan yang bersamanya sekarang, adalah perempuan satu-satunya dihidupnya dan ia sangat mencintainya...."

Aku langsung tersipu mendengar kalimat dari penyanyi tersebut. Langsung ku lirik Reinard yang tersenyum penuh arti padaku.

"Aku mencintaimu." Bisiknya lembut lalu mengecup punggung tanganku.

Aku tidak tahu, apakah kali ini aku menjadi satu-satunya wanita paling bahagia di tempat ini. Berssama dengan suamiku tercinta, dan calon bayi di dalam rahimku.

Namun, mungkin kebahagiaan itu hanya sekejap terjadi karena setelah lagu itu berhenti dering ponsel Reinard di atas meja menjeda sesi romantic kami.

Dari rumah sakit tempat dimana Rena di rawat.

Aku sudah was-was dan khawatir ketika Reinard menjauh dan mengangkat telepon itu. Apalagi melihat ekspresinya yang tidak baik-baik saja. Lalu kekhawatiranku terbukti. Pria itu berjalan cepat ke arahku dengan alis berkerut.

"Kita kembali ke Jakarta sekarang ya Jul?"

"Ke—Kenapa?" mataku berkaca-kaca. Ingin menangis. Apalagi ini? Haruskah aku berbagi kebahagiaanku lagi bersama Rena? Apa tidak cukup dokter, perawat beserta anak panti lain yang menjaganya. Kenapa setiap saat, mereka selalu melibatkan Reinard? Suamiku?

"Rena drop. Ia butuh aku sekarang." Reinard menarik tanganku, bahkan sebelum aku menjawab 'iya'.

Ia berjalan cepat menyusuri jalanan batu yang menuju kamar kami. Senyum itu, tawa itu bahkan kehangatan itu sudah nyaris hilang. Ia begitu panic. Bahkan ketika ia memasukkan pakaian-pakaian kami ke dalam koper dengan sembarangan. Dan aku hanya berdiri mematung, melipat tangan sambil menatapnya dengan seribu satu pikiran di otakku.

Bolehkah aku bersikap egois sekarang?

"Aku tidak akan pergi." Kataku dingin.

Reinard menghentikan pekerjaannya dan menatapku.

"Aku tidak akan pergi." Ulangku sekali lagi. "Aku tidak akan meninggalkan acara liburanku demi wanita itu Rei. Aku ingin tetap disini, menikmati suasana ini sampai tiga hari ke depan!"

"Jul, Rena sedang drop. Dia butuh aku!"

"Kenapa butuh kamu? Kamu siapanya?!" seruku geram. "Kamu bukan suaminya. Kamu suami aku, dan aku yang butuh kamu sekarang!" entah setan apa yang merasuki-ku sekarang. Yang jelas aku begtu marah dan muak dengan apa yang menimpa hidupku akhir-akhir ini. Sampai kapan aku harus mengalah dengan menjadi nomor dua dibawah Rena?

"Julia, kamu kenapa?" Reinard mendekat ke arahku—berusaha menenangkan.

"Aku sedang membicarakan hak-ku Rei!"

"Iya aku tahu aku suami kamu. Bukankah sudah aku katakan, bahwa selamanya kamu adalah milikku Jul. tapi bisakah kita pulang sekarang? Aku harus tahu kondisi Rena." Mohon Reinard padaku dengan pasrah.

"Tidak." Gelengku cepat. "Kamu tidak boleh pergi."

"Jul, kita harus pergi sekarang. Besok kita kesini lagi, bagaimana?" Reinard berusaha membujukku.

"Aku tidak mau. Aku tidak mau pergi kemana-mana besok, karena kita akan tetap disini sampai lusa."

"Julia, kamu keterlaluan." Reinard mengambil ponselnya, dan sudah berbalik hendak pergi meninggalkanku.

"Kalau kamu pergi sekarang, itu tandanya kamu ingin hubungan kita berkahir Rei!" seruku dengan air mata yang terurai jatuh.

Reinard menghentikan langkah lalu menoleh ke arahku.

"Kalau kamu sampai meninggalkan pintu itu, berarti kamu sudah tidak menginginkan aku dan anakku."kataku tegas. "Ingat apa yang kau katakan padaku bahwa kamu benar-benar mencintaiku?"

Reinard tidak menjawab, hanya matanya saja yang menatapku dengan tajam. Sedetik kemudian, ia berjalan menuju kea rah tempat tidur dan menjatuhkan badannya di sana.

"Baiklah.....aku tidak akan pergi." Gumamnya pelan. Wajahnya terlihat dingin, ia sama sekali tak memelukku atau menenangkanku. Ia hanya memejamkan mata. Tapi aku tahu bahwa suamiku itu tidak tertidur, ia hanya tidak ingin memperumit masalah dengan ancamanku tadi. Setidaknya ia memang membuktikan bahwa ia tidak akan meninggalkanku dan benar-benar mencintaiku.

Aku menghela nafas lega, namun juga sedikit merasa bersalah. Apakah aku keterlaluan?

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang