42

610 38 0
                                    

"Maksud kamu, Reinard sering enggak masuk kerja gitu?" tanyaku dengan tatapan heran sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin, padahal setiap hari suamiku pasti berangkat pagi-pagi dari rumah dengan stelan formal dan tas kerjanya. Mana mungkin ia sering tidak masuk?

"Kalau enggak percaya yaudah." Wina berbalik, hendak meninggalkanku.

"Tunggu!" cegahku. Meskipun gadis di depanku ini sulit dipercaya, namun aku benar-benar butuh dia sekarang.

"Jadi dalam satu bulan, ia bisa enggak masuk kerja berapa kali?" tanyaku ketika Wina kembali menghadap padaku.

Gadis itu tampak berfikir. "Sering sih...." Sahutnya kemudian. "Apalagi kalau udah dapet telepon. Meskipun ada rapat penting, dokter Reinard pasti membatalkan rapat itu kemudian pergi."

Aku tidak menyahut. Hatiku terlalu sakit menerima fakta mengejutkan ini. Berarti telepon yang sering ia terima setiap waktu itu bukanlah telepon dari rumah sakit seperti yang Reinard katakan. Ada sesuatu yang disembunyikan pria itu padaku.

LAGI.

Aku terlalu sulit menerima bahwa suamiku memang seseorang yang punya beberapa rahasia besar di hidupnya.

"Tante.....enggak apa-apa?" Wina mendekat ke arahku, dan menatapku dengan tatapan prihatin. Kini gadis berkucir itu tidak terlihat menyebalkan seperti tadi. Ia justru terlihat bersedih dengan kenyataan yang baru aku terima.

Aku mengangkat dagu. Tidak ingin terlalu berlarut-larut dalam pikiranku sendiri. Bagaimanapun juga, aku belum tahu fakta yang terjadi di balik kebohongan Reinard. Mungkin saja ini masih berhubungan dengan cerita masa lalunya sewaktu di panti asuhan.

"Kamu tahu enggak dia pergi kemana kalau habis dapet telepon itu?" tanyaku kemudian dengan suara setenang mungkin.

"Aku enggak yakin sih tante." Wina melipat kedua tangannya di depan dada. Ia terlihat sungguh-sungguh dengan ucapannya. "Tapi aku yakin kalau ia pasti meninggalkan rumah sakit setiap orang dari balik telepon itu menghubunginya....."

Orang dari balik telepon? Siapa?

"Oh ya...." Wina seperti teringat sesuatu. "Aku pernah tanya, dan dokter Reinard bilang kalau ada perlu di Bogor."

"Bogor?" mataku membeliak. "Sejauh itu?"

"Kayaknya sih iya."

Aku mengigit bibirku dengan khawatir. Pikiranku buntu. Harus darimana aku memulai penyelidikanku jika semuanya terkesan ambigu. Aku tidak ingin langsung bertanya pada Reinard. Tidak mungkin! Ia pasti bisa mengelak. Satu-satunya jalan adalah aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri untuk mengetahui fakta yang terjadi.

"Win...." panggilku kemudian.

Wina menatapku.

"Bisa bantu aku enggak?" aku menatapnya penuh permohonan karena aku yakin hanyaWina yang bisa membantuku. "Apa aja yang kamu minta, aku kasih." Tambahku, ketika Wina hanya mengerutkan dahinya mendengar kalimatku.

Wina mengangguk. Ia tidak menawarkan apapun. Mungkin karena ia juga terbawa perasaan melihatku yang begitu menyedihkan ini.

"Kalau Reinard dapet telepon lagi lalu meninggalkan rumah sakit, tolong kasih tau aku."

"Oke tante." Sahutnya kemudian.

Aku menepuk lengannya pelan. "Terimakasih..." gumamku lantas beranjak pergi.

"Tante!" panggil Wina ketika aku belum pergi begitu jauh.

Aku menoleh.

"Semangat ya. Aku pasti bantu tante!"

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang