23

792 37 0
                                    


"Lo terlalu terburu-buru menikah Jul, ketika lo sama sekali enggak mengenal siapa sebenarnya suami lo itu."

"Aaarrgh!" aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal itu dengan resah.

Seharian ini aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan sehingga alhasil setumpuk pekerjaan di mejaku sama sekali belum aku sentuh. Setiap aku hendak memulai pekerjaan, selalu saja kalimat Daniel itu terngiang di telingaku dan membuatku tidak nyaman.

Tanganku terulur, mengambil cangkir kopi yang berada di sisi meja. Namun ketika bibir cangkir itu sudah menyentuh bibirku, baru kusadari jika isinya sudah habis. Aku mendengus, ini kopi ketigaku sampai siang ini dan cafein belum juga membuatku rileks.

"Rini!" panggilku pada asistenku itu. Beberapa detik kemudian, dengan tergopoh Rini menghampiriku.

"Buatin kopi lagi." Aku mengacungkan cangkir kosong pada asistenku tersebut.

"Kopi lagi?" mata Rini melebar. "Mbak, ini sudah gelas ke tiga loh. Kalau nanti malem enggak bisa tidur gimana?"

Aku mendesis. Entah dengan kopi atau tidak, sejak semalam aku memang tidak bisa tidur nyenyak.

"Buatin pokoknya." Desakku dan Rini menerima gelas itu dengan sedikit ragu-ragu.

"Mbak ada masalah apa sih? Dari tadi pagi kayaknya enggak enak gitu auranya?"

Aku mengangkat dagu. Emang kelihatan banget ya kalau aku penuh dengan dilemma sejak pagi? Sampai-sampai Rini bisa membacanya?

"Akh, tidak begitu penting Rin." Dalihku. "Hanya badanku memang tidak enak sejak kemarin."

"Jangan-jangan mbak hamil ya?" Senyum Rini melebar. "Aseek....dapet ponakan baru."

"Enggak lah!" elakku. "Aku sudah haid dua minggu lalu, dan ini memang belum saatnya."

Rini mendesah kecewa.

"Yaudah kalau gitu mbak." Rini berbalik arah, dan aku kembali untuk mencoba menekuni berkas-berkas di depanku lagi.

"Oh ya mbak...." Sela Rini tiba-tiba.

Aku kembali mengangkat dagu. Wanita itu sudah berada di depan pintu dan kini menatap ke arahku.

"Klien kita dulu itu, bu Santi, masuk rumah sakit. Apa mbak nggak pengen jenguk?"

"Ke Bogor?" aku mengeryitkan kening.

Rini mengangguk. "Beliau pasti seneng banget kalau kita jenguk mbak. Tapi....kalau mbak Julia mau sih."

"Aku mau!" smabarku cepat. Sepertinya dengan melakukan perjalanan ke Bogor akan membuat pikiranku yang kacau ini sedikit tenang. Lagipula, aku sedang malas berada di rumah sekarang.

"Pekerjaan?"

"Urus nanti deh!" sahutku. "Berangkat kapan?"

"Setengah jam lagi ya mbak. Nanggung pekerjaan saya kurang dikit."

Aku mengangguk. "Yaudah cepet selesai'in."

"Beres bos!"

*****

Bogor memang selalu syahdu!

Itulah hal pertama yang aku dapatkan ketika mobil yang dikemudikan Rini berhenti di parkiran rumah sakit.

Gerimis tipis turun, dan cukup dingin.

Setelah bertanya pada resepsionis kamar Ibu santi, aku dan Rini segera meluncur menuju lantai tiga. Sebuah kamar VIP yang terkesan bersih.

Ibu Santi begitu terkejut melihat kedatangan kami. Ia tidak sendirian, ada anaknya yang berusia sekitar duapuluh tahunan menemani mereka. Iya, setelah peceraian dengan suaminya yang begitu menguras tenaga karena permasalahan harta gono-gini, akhirnya Ibu Santi hanya tinggal bersama dengan anak semata wayangnya ini. Namun ketika masalahnya selesai, beliau justru sakit. Mungkin efek memendam perasaan dan juga lelah fisik serta mental yang membuat tubuhnya tidak kuat dan meminta beristirahat.

"Ibu sakit apa?" tanyaku ketika sudah duduk di sebuah sofa panjang. Rini duduk di sebelahku, sedang Ibu Santi duduk di sofa single depan kami. Awalnya aku memintanya untuk tinggal saja di kasur, namun beliau bersikeras ingin duduk karena kondisinya sudah baik-baik saja. Alhasil ia sekarang duduk dengan tiang infus di sampingnya.

"Sebenarnya kata dokter besok saya sudah diperbolehkan pulang lho mbak Julia." Wanita berusia limapuluh tahunan itu tersenyum. "Malah mbak Jul sama mbak Rini repot-repot datang kemari."

Aku tersenyum. "Akh tidak bu. Lagipula, kapan kami bisa jalan-jalan ke Bogor untuk bertemu ibu kalau tidak kami niati untuk datang sekarang."

Ibu santi tersenyum.

"Ngomong-ngomong kenapa ibu sekarang tinggal di Bogor?" Sela Rini setelah ia menyesap teh hangat yang tadi sempat dibuatkan oleh putra Ibu Santi. Setelah membuat teh, laki-laki itu keluar entah kemana. Mungkin merasa sungkan dengan kami dan memilih pergi.

"Saya dan anak saya memutuskan untuk tinggal di sini sekarang mbak."

Aku dan Rini saling pandang.

Ibu santi mendesah pelan. Pandangannya menerawang jauh ke arah jendela, dimana gerimis tipis masih turun dan kini kian rapat.

"Saya merasa lebih nyaman di sini setelah bercerai mbak. Sungguh perceraian itu bukan suatu hal yang membahagiakan, apalagi untuk kami yang menikah sudah lebih dari duapuluh tahun. Namun bagaimana lagi, saya tidak sanggup hidup dengan kebohongan sepanjang waktu dengan dia." Paparnya. "Di Jakarta, semua tempat adalah kenangan bagi saya. Karena disanalah kami memulai perasaan, menikah, memulai semuanya dari nol lantas kemudian bercerai. Anggap saya sedang lari dari kenyataan. Tidak masalah. Yang penting saya merasa lebih tenang tinggal di sini."

Aku dan Rini terdiam. Ada banyak hal yang tiba-tiba menusuk-nusuk hatiku. Entahlah. Aku hanya merasaakan apa yang dirasakan Ibu Sinta sekarang. Pernikahan yang sudah ia lalui lebih dari duapuluh tahun jelas menyisakan sebuah kepedihan hebat baginya ketika bercerai sekarang. Beliau pasti memilik banyak kenangan, yang tentu saja tak bisa ia jelaskan bahkan tak akan ada yang bisa mengerti betapa berharganya kenangan itu. Iya, aku tahu. Jika kita mulai terbiasa dengan pasangan kita, sekecil apapun kenangan itu, jelas susah untuk melupakannya.

Kami banyak mengobrol sore ini, ditemani oleh secangkir teh panas dan juga beberapa potong kue lapis. Sangat mengasyikkan, bahkan aku sampai melupakan kekesalanku sejak semalam. Benar apa yang aku pikirkan, jika berjalan-jalan adalah distraksi yang begitu menyenangkan.

Sekitar pukul lima sore, aku dan Rini pamit pulang. Kami berdua beriringan berjalan di lorong rumah sakit. Suasana cukup ramai, mungkin karena sekarang adalah jam besuk.

"Mbak, minggir dulu." Rini tiba-tiba menarik lenganku karena ada bed yang di dorong oleh beberapa suster yang tergopoh.

"Maaf permsi...." Kata salah seorang suster tersebut ketika melewati aku dan Rini.

Aku sempat menoleh pada pasien yang tengah di dorong tersebut. Kelihatan lemah dan juga pucat. Sedikit tidak tega melihatnya, apalagi sepertinya ia masih begitu muda.

"Mbak, kok bengong?" Rini menyenggol lenganku ketika pasien itu sudah lewat di depanku dan aku masih mematung menatapnya sampai hilang di belokan lorong.

"Kasihan Rin." Desisku.

"Mbak enggak tegaan gitu sih?"

Aku mengangguk, pikiranku masih belum lepas dari pasien lemah tadi.

"Yok, cuss....nanti suami mbak nungguin di rumah lho."

Aku mengangguk. Baru teringat jika siang tadi aku hanya menghubungi Reinard lewat pesan singkat, ia pasti sangat khawatir padaku sekarang jika belum juga sampai di rumah.

Perjalanan Bogor—Jakarta begitu lancar. Setelah menurunkan Rini di depan rumahnya, aku segera pulang ke apartement. Aku yakin saat ini Reinard pasti sudah menungguku di rumah.

Namun ternyata, ketika aku sampai. Rumah masih kosong dan dingin. Tak ada yang berubah, masih sama seperti tadi pagi.

Lalu, aku kecewa.....

Karena ternyata suamiku belum ada di rumah.

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang