"Lah, bukannya dokter Reinard cuti dari kemarin?"
Seketika jantungku seakan mencelos sampai ke dasar perut ketika mendengar Wina mengatakan hal itu padaku. Apa gadis yang berdiri di depanku ini sedang mencoba mengajakku bercanda? Tapi mustahil seorang Wina punya keinginan bercanda denganku. Secara selama ini kami tidak berada pada satu hubungan yang akrab.
Tidak ingin membuat Wina curiga, aku lantas berbalik pergi. Membawa kotak bekal yang aku genggam dengan erat. Dalam perjalanan menuju lift pikiranku mengembara. Kemana suamiku? Apa yang dilakukannya sejak kemarin? Kenapa ia membohongiku?
Aku berhenti di depan rumah sakit lantas mendudukkan diriku di sebuah bangku panjang. Kepalaku tiba-tiba pusing dan hatiku merasa was-was. Aku melempar pandanganku ke segala arah, mencoba mencari distraksi. Mataku tertuju pada beberapa mobil yang hilir mudik masuk ke dalam rumah sakit.
Tanganku merogoh totebag yang masih menggantung di pundakku. Ku ambil ponselku lantas men-dial nomor suamiku. Kembali aku mendengar bunyi tut...tut....tut.... disana, namun sama seperti semalam dan tadi pagi, ia sama sekali tak mengangkatnya.
Aku menunduk sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku bingung. Dimanakan suamiku berada sekarang? Apa yang dilakukannya sampai ia membohongiku?
Perlahan, aku bangkit dari dudukku dan berniat segera meninggalkan rumah sakit. Meskipun ada banyak pertanyaan di benakku tentang dirinya, aku harus bisa menahan diri. Terakhir hanya gara-gara ketidakjujuran, hubungan kami sempat bermasalah. Dan aku tidak ingin itu terjadi untuk kedua kalinya.
****
"Aku pesen espresso panas!" aku melambai pada Rangga yang sibuk di depan meja kasir. Tanpa menunggu kalimat balasannya, aku segera duduk di salah satu kursi di depannya.
Pria yang mengenakana apron abu-abu itu lantas mendekat padaku. "Siang-siang bolong pesen kopi panas?" ia menaikkan alisnya bingung. "Kamu yakin kalau lidahmu akan baik-baik saja?"
Aku meliriknya sekilas sebelum akhirnya menghela nafas. "Kalau begitu juice strawberry aja." Sebenarnya aku tidak punya keinginan untuk minum sesuatu siang ini. Hanya saja, aku pikir akan sangat menyedihkan ketika aku berada di rumah sendirian. Saat memarkir mobil di depan apartement tadi, tiba-tiba mataku terhenti di café ini lantas teringat Rangga.
"Ya, aku rasa juice lebih baik daripada kopi panas." Gumam pria itu lalu meninggalkanku untuk membuatkan pesananku.
Aku menatap Rangga yang sibuk membuat juice strawberry pesananku. Tangannya lincah memasukkan beberapa bahan ke dalam sebuah blender, sebelum akhirnya benda itu mulai berisik menghaluskan bahan-bahan itu. pria itu tampak cekatan, mengisyaratkan bahwa ia punya pengalaman seperti ini untuk waktu yang cukup lama.
Tak berselang lama, pria itu datang membawa segela juice dan juga tiramisu.
"Aku tidak memesan ini." Kataku sambil menunjuk tiramisu yang kini berada di tengah meja. Dari tampilannya, kue itu terlihat begitu menggoda.
"Aku memberikannya gratis." Senyum Rangga melebar.
Aku tersenyum dengan sudut bibirku. "Mungkin aku akan memperhitungkan untuk datang kemari setiap hari. Karena aku hanya memesan juice dan mendapatkan gratisan tiramisu." Celotehku lalu mengambil satu sendok kecil tiramisu dan memasukkannya ke dalam mulutku.
"Hmm....enak. bikinan sendiri?" lanjutku.
Rangga melipat kedua tangannya di depan dada. "Bukan aku. Tapi chef-ku."
Aku tertawa. Yang kumaksud juga bukan Rangga sendiri yang membuatnya. Melainkan tiramisu lezat ini benar-benar diproduksi oleh café ini sendiri, tidak pesan di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
ChickLitaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.