26

816 35 0
                                    

Aku terbangun ketika hawa dingin menyapu kulitku melalui pintu loteng yang belum tertutup. Aku mengucek-ucek mataku, lantas mengalihkan pandang pada jam dinding. Pukul tujuh malam. Pantas saja hawa semakin dingin.

Reinard sudah tidak ada di sampingku, padahal aku ingat, sore tadi setelah kami saling membahagiakan di atas tempat tidur, ia juga ikut tidur di sampingku. Ia pasti sudah bangun lebih dulu dan membiarkanku tidur nyenyak tanpa menganggu.

"Sudah bangun?" suara Reinard menguar di telingaku. Pria itu sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Wajahnya kelihatan segar dan ia sudah berganti baju lebih santai.

"Kenapa tidak membangunkanku?" aku menyandarkan tubuhku di badan kasur. "Ini sudah malam."

Reinard berjalan ke arahku dan duduk di pinggiran tempat tidur.

"Aku lihat kamu begitu nyenyak, aku tidak tega." Ia menoel hidungku. "Apa kamu lapar?"

Aku memegang perut. "He'em..." anggukku tak memungkiri bahwa cacing-cacing di perutku sudah memberontak.

"Kalau begitu, segera mandi dan mari kita makan."

"Makan?" aku melebarkan mataku. "Makan apa?"

"Makan....ya makan!"Sahur Reinard. "Aku masak."

Aku tertawa kecil. Selama pernikahan kami, baru kali ini aku mendengar Reinard memasak.

"Kenapa tertawa?" ia meraih tubuhku. "Apa kamu berfikir kalau masakanku tidak enak?" ia mulai menggelitiki perutku.

"Tidak...!" tawaku sambil mencoba menghindari gelitikannya di pinggangku.

"Tapi kenapa tertawa?" Reinard belum menyudahi gelitikannya.

Aku tertawa sambil menjerit-jerit. "Aku hanya tertawa, apa tidak boleh?"

"Boleeeeh...." Reinard menggelitik semakin intens. "Asalkan kamu mau aku gelitiki." Ia menghempaskan badanku di atas kasur, lalu menciumiku.

"Rei.....apakah kita tidak jadi makan?" tanyaku ketika suamiku itu justru kembali membuka kancing bajuku.

"Nanti dulu. Nanggung Julia..." erangnya ketika aku menginterupsi apa yang sedang dilakukannya.

Aku tersenyum. Membiarkannya bermain-main dengan diriku. Toh, aku istrinya dan malam ini adalah milik kami berdua. Dia bebas melakukan apapun padaku, dan akupun juga begitu.

*****

"Hmm...baunya harum." Aku melebarkan senyum ketika menjumpai mie goreng dan ayam goreng di atas meja makan. "Yakin kamu yang buat?" Aku menatap Reinard sembari duduk pada salah satu kursi kosong, di depan Reinard.

"Apa aku sedang terlihat berbohong sekarang?" ia meminum air putih dari gelas yang dipegangnya. "Cobalah..."

Aku mengambil garpu lalu mulai memelintir mie goreng yang ada di hadapanku. Dari tampilan dan aromanya, mie goreng ini terasa enak.

"Jangan lupa ayamnya." Reinard meletakkan satu paha ayam di piringku.

"Wooo....enak Rei." Mataku berbinar ketika satu kunyahan berhasil aku telan. "Belajar dari mana?" aku kembali memelintir mie dari garpuku dengan porsi lebih besar dan kemudian mengunyahnya lagi.

"Apa kamu pikir aku tidak bisa masak?" decak Reinard. "Aku kecewa padamu istriku."

Aku tertawa. "Maaf...maaf...." Aku menangkupkan kedua tanganku. "Aku kasih nilai sembilan dari sepuluh. Gimana?"

Reinard mengedikkan dagu. "Not bad. Nilai yang sempurna." Katanya. "Sebagai bentuk apresiasi untuk kananan ini, kamu harus melakukan sesuatu."

"Apa?"

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang