60

1K 57 0
                                    


"Ma.....perut Julia sakit banget ma.....!" erangku lirih sambil menahan isakan. Tanganku meremas kuat jemari mama yang duduk di sampingku. Sementara papa mengemudi dengan kecepatan yang lebih daripada biasanya ia menyetir.

"Tahan ya....sebentar lagi sampai rumah sakit kok." Mama menatapku dengan cemas. Aku mengangguk lemah. Aku sama sekali tidak cemas dengan diriku sendiri, pikiranku sekarang begitu takut, begitu takut terjadi apa-apa dengan anak yang berada di dalam rahimku. Apa yang salah dengannya, sampai aku perdarahan begini? Bukankah aku sudah sangat berhati-hati menjaganya?

"Rosa....mas Reinard udah kamu hubungi belum?" Tanya mama pada Rosa yang duduk di depan—di samping kemudi.

"Udah ma. Tapi enggak diangkat." Sahur Rosa. "Mungkin mas Reinard udah tidur. Ini kan udah pukul sebelas malem ma."

Mama tidak menjawab, mungkin setuju dengan pemikiran Rosa. Sedangkan aku berfikir hal lain. Mungkin saat ini suamiku tengah bersama Rena, karena kondisi perempuan itu yang tiba-tiba saja drop atau hal lain. Bukankah itu kegiatan yang selalu dilakukannya selama ini?

Tapi aku tidak peduli, yang jelas aku hanya menginginkan satu hal untuk sekarang, yaitu bayi di dalam perutku baik-baik saja.

" Ma.....Julia enggak apa-apa kan? Bayi Julia bakalan baik-baik aja kan?" aku menatap mama dengan penuh harapan. Aku ingin mendapatkan sebuah kekuatan dari jawaban mama, setidaknya bisa memberikanku semangat agar aku bisa merasa lebih baik.

Mama menyeka air mata di sudut pipiku. "Iya.....sayang.....bayi kamu bakalan baik-baik aja. Kamu juga bakalan baik-baik aja." Sahut mama dengan senyuman. Tapi aku merasa jika mama juga tidak yakin dengan perkatannya.

Kami terdiam sepanjang jalan. Aku dengan pemikiranku sendiri serta menahan nyeri yang sesekali mendesak perutku dengan begitu dahsyat. Mama yang juga terdiam, pun juga papa dan Rosa. Aku yakin mereka semua cemas dengan keadaanku.

*****

Setelah memeriksaku, dokter perempuan itu permisi untuk keluar sebentar. Dari alisnya yang berkerut, aku tahu ia sedang memikirkan sesuatu. Ekspresinya benar-benar tidak membuat perasaanku lega.

"Keluarga ibu Julia?" sayup-sayup aku mendengar ia memanggil anggota keluargaku. "Suaminya mana?"

"Masih dalam perjalanan dok." Mama yang menjawab. Aku tahu kalau mama sedang berbohong dengan dokter itu. Sebab Reinard masih belum bisa dihubungi.

Dokter tersebut terdiam sesaat.

"Kami tidak bisa menyelamatkan bayinya ibu. Mohon maaf...."

Deg!

Jantungku seakan berhenti berdetak sekarang. Aku berharap apa yang ku dengar salah, atau dokter itu yang salah dalam memberikan diagnose atau memeriksa keadaanku. Tapi setelah aku mendengar ia meneruskan kalimatnya. "Detak jantung bayinya sudah tidak terdengar lagi." Aku semakin yakin jika pendengaranku baik-baik saja.

Sambil menahan perutku yang masih terasa sakit, aku menangis terisak-isak sendirian di bed pasien tersebut. Katakanlah aku membutuhkan suamiku untuk saat ini, setidaknya mengelus rambutku sambil menenangkanku bahwa semua akan baik-baik saja dan badai ini pasti akan berlalu. Namun sedetik kemudian aku tersadar, jika apa yang sudah terjadi denganku dan anakku adalah karena pikiranku yang stress memikirkannya bersama perempuan itu. Hubungan masa kecil mereka yang menghancurkan hidupku dan anakku. Hubungan brengsek yang menjadikannya sebagai seorang pria lemah yang sering menyakiti perasaan istrinya.

"Julia....." mama membuka gordyn dan matanya terlihat sembab.

"Ma.....apa yang Julia tadi denger salah kan? Bayinya baik-baik aja kan ma? Dia masih hidup kan?" aku kembali meminta kepastian mama.

Mama duduk di tepi ranjang lalu mengelus rambutku. "Kamu ikhlasin bayi kamu ya nak? Anggap saja belum rejeki. Nanti suatu saat kamu pasti dapat gantinya?" isak mama pelan.

Aku meraung. Meratapi keadaanku yang berantakan. Jika saja memang suatu saat nanti aku dan Reinard masih bisa memiliki bayi lagi, sungguh sangat bahagianya hidupku. Namun, hubungan kami saja sudah bagai telur di ujung tanduk. Aku tidak yakin, apa masih ada kesempatan lain bagi kami untuk hidup bahagia dan keluarga kecil kami tanpa perempuan itu.

Mama menunduk memelukku dan berusaha untuk menghiburku. Namun, apapun kata-kata penyemangat atau hal lain sama sekali tak bisa membuatku lebih baik.

Satu jam kemudian, dokter melakukan tindakan kuretase padaku. Dan keesokan harinya, aku sudah benar-benar kehilangan bayiku. Hidupku terasa hampa, dan hatiku begitu terasa kosong.

******

Mama sedang menyuapiku bubur, ketika Reinard muncul di depan pintu kamar ruang rawatku. Sesaat mata kami saling beradu, namun aku segera mengalihkan pandangan ke luar jendela. Aku tidak kuasa menatap mata suamiku.

"Rei.....pemakanannya sudah selesai?" mama meletakkan mangkok bubur di atas nakas.

"Baru selesai ma, Reinard langsung kemari." Jawabnya. Aku mendengar dari mama, jika Reinard melakukan operasi semalaman. Dan setelah selesai, ia langsung menuju ke pemakaman anak kami bersama papa. Bahkan ia belum sempat menemuiku karena operasinya selesai pukul enam tadi pagi.

"Kamu sudah makan?"

"Reinard menggeleng. "Belum ma."

"Ya sudah, kamu tunggu disini ya. Mama carikan sarapan dulu. Kamu pasti lelah, karena terjaga di meja operasi sepanjang malam."

Aku tahu jika sebenarnya mama bukan benar-benar mencarikan sarapan untuk Reinard, ia hanya ingin memberikan waktu kepada kami agar kami bicara.

"Maafin aku Jul....." ia mendekat ke arahku. Namun aku masih tidak peduli. Butir-butir air mata jatuh kembali di pipiku. "Aku bener-bener enggak tahu kalau kamu masuk rumah sakit dan anak kita....." ia duduk di tepi tempat tidur. Tangannya terulur meremas jemariku.

Aku memberanikan diri mengangkat muka. Wajah Reinard begitu kucel dan pucat. Bahkan ia tidak sempat mencukur kumisnya yang mulai tumbuh menghitam.

"Aku kehilangan anakku." Suaraku parau. "Karena kamu......"

Reinard tidak menjawab. Ia juga menangis. "Maafin aku...." Hanya kalimat itu yang terus kudengar dari bibirnya.

"Jika kalimat maafmu bisa membuat anakku kembali, mungkin aku akan menyuruhmu meminta maaf ribuan kali padaku."

"Maafin aku Jul. tidak seharusnya aku membebanimi dengan keadaan ini."

"terlambat Rei....kamu sama sekali tidak pernah mengetahui apa yang terjadi dengan aku. Kamu hanya focus dengan Rena, dengan penyakit jantung dan kondisinya yang naik turun. Kamu sama sekali tidak tahu, bahwa dokter sudah memvonis bahwa kandunganku lemah dan aku tidak boleh terlalu stress....."

Reinard menunduk dan semakin terisak. Aku tahu bahwa ia menyesal. Tapi aku tidak tahu, penyesalan macam apa yang dirasakannya sekarang. Menyesal karena tidak memperhatikanku, menyesal karena sudah membelikan Rena apartement atau menyesal karena ia tak menemaniku semalam?

"Apa kamu tahu, seminggu yang lalu Rena memintaku datang ke rumah sakit."

Reinard mendongak.

"Dia memintaku untuk berbagi kamu." Isakku. "Kamu mengerti kan maksudku? Ia ingin kamu menjadi suaminya!"

Mata Reinard membola.

"Jadi kamu mengerti bukan, kalau dia mencintai kamu. Kalau dalam hatinya menginginkan kamu. Bukan sebagai teman masa kecil, atau kakak yang perhatian. Tapi sebagai pria! Sebagai pria yang bisa ia andalkan seumur hidupnya." Aku sudah tidak kuat menahan perasaanku. Aku ingin menuntaskannya sekarang, mengeluarkan semua perasaanku pada suamiku.

Reinard masih saja bungkam. Hanya saja aku mendengarnya semakin terisak. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya kacau seperti ini, namun setiap mengingat apa yang sudah terjadi, dadaku kembali bergemuruh hebat.

"Rei....." panggilku beberapa saat kemudian. "Mari kita bercerai...."

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang