56

689 33 0
                                    

Reinard berjalan cepat ke arahku dengan wajah cemas yang tak bisa ditutupinya. Sejam yang lalu aku menelponnya bahwa sedang berada di sebuah klinik kandungan untuk memeriksakan perutku yang tiba-tiba kram. Awalnya, aku tidak berniat untuk periksa karena beberapa saat setelah nyeri itu mendera, semuanya terasa baik-baik saja. Namun Rangga memintaku untuk tetap periksa, sekedar berjaga-jaga. Akhirnya, disinilah aku sekarang. Sebuah klinik kandungan yang berada tak jauh dari rumah. Tak ada Rangga, karena kami berpisah di parkiran mall setelah meyakinkan dirinya bahwa aku bisa mengendarai mobilku dengan baik.

"Kamu kenapa lagi Jul?" wajah suamiku tampak cemas sekaligus kecewa.

"Enggak kenapa-napa kok." Aku bangkit dari tidurku untuk duduk. Serta merta Reinard membantuku.

"Kata dokter Cuma kecapekan aja. Terlalu banyak berdiri." Aku berkata jujur. Dokter obsgyn wanita dengan hijab tadi mengatakan hal tersebut padaku. Tentunya dengan embel-embel bahwa kandunganku sedikit lemah. Namun hal itu tak akan kuceritakan kepada Reinard. Aku hanya tidak ingin ia kepikiran dan kurang focus dengan pekerjaannya.

"Apa kita periksa sekali lagi ke dokter obsgyn lain? Di rumah sakitku ada dokter obsgyn yang terkenal—"

"Enggak usah!" tolakku mentah-mentah. "Kok kamu enggak percaya sih sama kata-kata dokter tadi. Coba kalau dia denger, pasti kecewa. Ibaratkan kayak kamu sendiri lah, denger kalau keluarga pasien enggak percaya dengan pekerjaanmu dan ingin ganti dokter. Apa enggak sakit tuh atinya?"

Reinard menatapku tanpa bergeming, kemudian menghela nafas. "Emang ya. Kamu pinter banget ngebalikin kata-kata suamimu sendiri."

Aku terkekah. "Ya habisnya suamiku akhir-akhir ini nyebeliiiiin....nyebeliiin....nyebeliiin....banget sih."

Reinard tertawa, lalu mengelus rambutku dengan pelan. "Jaga kesehatan yang sayang....jangan capek-capek. Kamu tahu enggak betapa paniknya aku tadi waktu kamu telepon lagi di klinik kebidanan kandungan?" ia mencubit pipiku gemas.

"Oh ya, pasien kamu gimana? Udah selesai di polikliniknya?"

"Ya belum lah. Tapi aku tinggalin. Aku nyuruh dokter residen buat ganti'in sementara. Tapi untuk kasus berat atau apapun itu, mereka harus telepon aku dulu."

Aku mengangguk. Tidak begitu paham dengan dunia kedokteran. Apalagi mereka punya bahasa-bahasa medis yang tidak kupahami. Maklum, aku tidak lahir dari keluarga dokter dan tidak pernah menganyam pendidikan kedokteran. Bahkan saat SMA saja aku tidak masuk IPA melainkan IPS. Jadi aku benar-benar tidak mengerti dengan dunia per-anatomi-an.

"Yaudah, kalau gitu aku anter pulang ya? Atau mau makan apa dulu?" Tanya Reinard kemudian.

"Aku belum makan sih, tapi beli matcha tadi. Di mall." Jawabku.

"Sendirian? Sampe mall? Hmmm......."

"Sama Rangga."

"Rangga? Pemilik café itu?" alis Reinard bertaut. Wajahnya berubah kesal.

"Kenapa? Cemburu?" godaku.

"Kok kalian bisa ketemuan di sana?"

"Enggak sengaja. Habis ketemu klien tadi, aku mampir ke mall buat lihat-lihat baju babby. Eh ketemu dia, sekalian kita ngobrol bareng." Sahutku jujur. Karena menurutku dalam hubungan memang tidak perlu ada yang ditutupi. "Kenapa, cemburu?"

"Iya sebenernya sih. Tapi kalau aku jujur dan bilang 'iya' aku cemburu kamu pasti ngebalikin omongan aku lagi. Iya kan?"

Aku terkekah, lebih keras dari sebelumnya. Hingga perawat yang lewat menatap kami berdua.

"Yaudah, kamu maunya gimana? Aku anter pulang, atau makan dulu. Aku temenin, tapi sebentar. Harus balik lagi ke rumah sakit soalnya."

"Ke rumah mama aja ya?" pintaku kemudian.

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang