Sudah seminggu semenjak kejadian pertemuanku dengan Rena di rumah sakit waktu itu.
meskipun waktu sudah berlalu, namun aku sama sekali tidak bisa melupakan apa yang Rena katakan. Perempuan itu mengatakan bahwa aku mungkin akan sedikit terkejut dengan permintaannya. Asalkan ia tahu, aku tidak hanya sedikit terkejut, bahkan aku hampir saja terkena serangan jantung mendengar permintaannya yang jelas-jelas tak akan mungkin aku setujui.
Ia memintaku untuk berbagi Reinard dengannya. Padahal bukankah sudah jelas, bahwa tak ada satupun wanita di dunia ini yang bersedia dimadu dengan wanita lain. Bahkan dengan dalih menikahi wanita yang sakit-sakitan karena kasihan.
Aku berdecak sebal sambil membanting kertas yang ada dihadapanku. Beberapa berkas belum selesai aku periksa, namun pikiranku sudah tidak fokus. Seminggu setelah kejadian itu, aku berusaha untuk fokus bekerja dan menganggap kalimat Rena sebagai angin lalu. Namun alhasil, bukannya aku lupa, namun pekerjaanku menjadi berantakan.
"Apa yang harus kamu lakukan Julia?" aku menyugar rambut ke belakang dengan jemariku, sementara kedua siku-ku bertumpu pada meja. Sesaat kemudian aku menjatuhkan badanku di sandaran kursi dengan tatapan mengarah ke langit-langit kantor. Entah sampai dimana pikiranku melayang, namun jerit ponsel berhasil mengumpulkan konsentrasiku.
Wina calling....
Tumben bocah ini menghubungiku lagi setelah insinden rumah sakit beberapa waktu yang lalu.
"Tumben......."
"Mbaaaaak!" aku belum sempat menyelesaikan kalimatku saat ia sudah berteriak. Spontan aku langsung menjauhkan ponsel dari telingaku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gimana kabar? Dokter Reinard bilang kalau mbak Jul hamil ya.....? Selamat ya......" Serentetan pertanyaan itu tertuju padaku. "Sebenernya aku agak kurang rela juga sih. Kenapa juga mbak Julia harus hamil. Anak dokter Reinard pula, dokter kebanggaan seluruh karyawan rumah sakit."
"Jadi, kamu nelpon aku Cuma mau bilang kayak gini. Aku tutup nih!" ancamku sengit.
Wina malah tertawa ngakak. "Sensi amat buuuk?"
Aku hanya berdeham.
"Enggak sih, pengen ketemu aja gitu sama mbak Julia. Siapa tahu mau beli'in aku kopi gitu sebagai wujud balas budi dengan apa yang sudah aku lakuin buat dia."
Aku mencebik. "Iyadeeeh.....bilang aja mau minta traktir. Ya kan?"
"Nah, itu tau."
"Yoook.....dimana? mumpung aku juga lagi bosen ini di kantor."
"Serah mbak Jul aja. Di deket rumah sakit boleh. Sekalian ketemu dokter Reinard. Gimana?" tawar Wina.
Aku berfikir sesaat kemudian menyetujui. Sekalian mengantar makan siang untuk suamiku bukanlah sesuatu yang buruk. Sudah lama aku tidak membawakannya makan siang ke rumah sakit sekalian menemaninya makan.
*****
"Kamu libur piket?" tanyaku ketika Wina sudah berada di depanku. Gadis itu sibuk dengan toast yang dimakannya.
"Masuk malem sih...." Sahut Wina setelah mulutnya yang tadi sempat terisi sudah terlihat kosong. "Tapi tadi sempet masuk sebentar buat follow up pasien."
Aku menyesap susu strawberry-ku. Semenjak hamil aku sama sekali tidak menyentuh cafein, dan hanya minum sesuatu yang berhubungan dengan susu.
"Reinard ada di dalem kan?" tanyaku was-was kalau-kalau suamiku kembali tidak ada di kantor dan diama-diam menemui Rena seperti yang pernah dilakukannya dulu.
"Ada kok mbak. Sekarang aman, enggak pernah kabut. Bekerjanya pun kelihatan lebih semangat gitu." Sahut Wina.
Aku tersenyum simpul. Setidaknya meskipun masih berhubungan dengan Wina, Reinard sudah tidak lagi membohongiku jika ingin bertemu dengannya. Karena ia pasti akan bilang jika hendak pergi ke Bogor. Namun sepertinya sudah lebih dari seminggu ini ia tidak kesana.
"Ya syukur deh kalau begitu." Gumamku kemudian. "Sejujurnya agak trauma gitu sih, takut dibohongi lagi."
"Dijamin seratus persen!" Wina menyatukan ujung telunjuk dan ujung ibu jarinya kepadaku. "Bahwa dokter Reinard aman, damai dan sejahtera di rumah sakit. bekerja dengan baik dan pulang tepat waktu."
Aku cukup terhibur dengan apa yang Rena katakan.
"Ya sudah habisin gih." Aku bangkit dari dudukku.
"Lho, kok....mau kemana?" Rena menatapku dengan bingung. "Baru aja ketemu masa udah pergi."
Aku menatap arloji yang melingar di pergelanganku.
"Ya masuk ke dalam rumah sakit lah. Anter makan siang buat suami tercinta."
"Ya elah....setelah dapet bocoran rahasia langsung mau kabur begitu aja. Aku ditinggalin." Wina mencebik. "Tau gitu aku tadi enggak ngomong apa-apa."
"Kapan-kapan kan bisa ketemu, lagian kan kamu sekarang juga enggak kerja, gak banyak tenaga terbuang. Kasihan lho dokter Reinard butuh tenaga buat melayani pasien selanjutnya." Sahutku kemudian berlalu pergi begitu saja tanpa memperdulian Wina.
Aku membeli paket Bento di samping café tempat pertemuanku dengan Wina. Maklumlah, awalnya aku memang tidak berniat untuk mengantar makan siang ke rumah sakit, jadi aku tidak masak dan tidak mempersiapkannya dengan baik.
Seperti biasa, beberapa karyawan yang mengenalku langsung menyapaku ketika kami berpapasan.
"Dokter Reinard ada di ruangannya mbak." Beberapa memberikan jawaban yang sama ketika aku membuka basa-basi 'dokter Reinard dimana?'
Aku mengetuk pintu putih yang tertutup rapat tersebut dengan hati berdebar. Aku yakin betapa terkejutnya Reinard ketika melihatku di depan pintu, tanpa memberitahunya lebih dulu.
Setelah menunggu beberapa saat, pintu terbuka dan tepat seperti dugaanku, mata Reinard membola saat melihatku muncul di depan pintu.
"Surprize!" aku mengangkat plastic berisi paket Bento itu tinggi-tinggi.
"Sayaaang.....kenapa kemari?" ia meraihku lalu mencium keningku dengan hangat. Aku tersipu malu, apalagi saat beberapa perawat yang berada tak jauh dari kami melihat adegan ini.
"Nganter makan siang." Sahutku.
Reinard menggamit tanganku kemudian mengajakku masuk ke dalam ruangannya.
"Paket Bento buat kamu. Karena kamu suka ayam, jadi aku beli'in lauknya ayam fillet. Gimana, suka kan?" aku membuka kotak bento tersebut. Menarik tangan Reinard untuk duduk di sampingku. "Kamu belum makan kan sayang?"
"Belum." Geleng Reinard sambil mengelus rambutku. "Ini baru selesai sama pasien terakhir. Nanti jam dua, ada lagi." Ia mendesah, terdengar capek.
"Semangat donk. Ini dimakan gih....Oh ya...." Aku teringat sesuatu. Ada plastic lain yang belum ku perlihatkan isinya. "Aku juga bawain kamu jus apel, favorit kamu."
"Makasih sayaaang...." Reinard memelukku dengan penuh cinta. "Makasih juga si kecil-nya papa....." Reinard menunduk dan mengelus perutku.
Reinard makan dengan lahap ditemani aku yang berada di sampingnya. Sesekali aku menyodorkan minuman padanya atau menyuapinya dengan sayuran. Reinard memang tidak begitu menyukai sayur, dan dengan cara menyuapinya seperti ini membuatnya mau makan makanan tersebut. Ia pernah bilang kalau rasa sayur itu aneh, tapi karena suapanku, sayur itu berubah menjadi manis. Aku tahu dia gombal, tapi kenapa aku juga percaya saja?
"Jul....." Reinard memanggilku ketika aku sudah merapikan sisa makan siang itu.
"Iya....." sahutku tanpa menoleh. aku sibuk memasukkan beberapa sampah ke dalam plastic, yang nanti akan sekalian ku buang ketika pulang.
"Salah satu dokter di sini menjual apartement-nya...." Gumam pria itu pelan.
"Siapa? Dokter Bagas atau dokter Seno? Mau dijual kemana? Kamu disuruh ngejualin gitu?" tanyaku sambil menyimpul plastic berisi sampah tersebut.
"Aku yang beli."
Aku mendongak, menatap Reinard tidak mengerti. Bukankah pria itu sudah memiliki apartement dan kami bahkan bercita-cita untuk membeli rumah dengan halaman luas, daripada membeli apartement. Apartement sempit dan tidak cocok untuk perkembangan si kecil nanti.
"Aku membelinya untuk Rena."
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
ChickLitaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.