"Lo kenapa sih kalau kesini enggak pernah kelihatan bahagia?" Rangga bersidekap di depanku dengan alis terangkat. "Gue jadi curiga, lo inget cafe ini kalau pas pikiran lo suntuk doang. Selebihnya lo lupa kan?"
Aku mendongak menatapnya. Bukan karena kesal dengan apa yang ia katakan, namun dalam hati membenarkan semua kalimatnya. Aku juga heran dengan diriku sendiri, setiap kali merasa suntuk, sekedar duduk dan minum kopi di cafe ini cukup membuatku terhibur.
"Akh, Cuma perasaan lo aja kali." Aku mengibaskan tangan. "Gue mau espresso dong." Kataku kemudian.
"Untung ya, lo kesini pesen. Jadi gue anggep pelanggan. Coba kalau Cuma duduk diem aja." Sahur Rangga sambil berlalu dan aku hanya senyam-senyum saja karena tahu kalau dia sedang mengajakku bercanda.
Tak berselang lama, Rangga datang membawa baki berisi dua gelas espresso dan sepotong tiramisu.
"Gue enggak minta tiramisu lho, dan juga gue Cuma pesen satu gelas kopi." Aku mengerutkan kening.
"Gue tahu lo lagi butuh sesuatu yang manis biar enggak suntuk." Ia meletakkan kopi dan tiramisu itu di depanku. "Kalau kopi ini buat gue. Gue juga lagi suntuk nih pelanggan hari ini sepi." Lalu duduk tepat bersebrangan denganku.
Aku tertawa mendengar kalimatnya, lalu menyesap kopiku. "Ya baru jam sebelas siang, kan juga baru buka." Sahutku kemudian.
"Ya biasanya udah rame sih." Ia memutar ke sekeliling. "Oh ya, kok jam segini lo disini sih? Enggak kerja?"
"Akhir-akhir ini gue males kerja." Sahutku. "Tapi kalau gue enggak kerja gimana kantor." Aku mengambil sedikit tiramisu lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Enak, dan manisnya benar-benar membuat pikiranku lebih nyaman.
"Ngga, lo enggak punya cewek ya?" tanyaku spontan. Selama kenal dengan Rangga aku tidak pernah melihatnya bersama seorang gadis. Namun sedetik kemudian aku menyesali pertanyaanku, karena Rangga terlihat tidak nyaman.
"Gue lajang Jul." Sahutnya kemudian, namun ekspresinya terlihat berbeda. "Lagi single sekarang."
Aku menunduk, pura-pura sibuk dengan tiramisuku padahal sebenarnya sedang menyesal menanyakan hal pribadi seperti itu pada Rangga.
"Lo enggak tanya kenapa gue masih lajang?"
"Hah?" aku mendongak.
"Ya biasanya orang kalau tanya kan sepaket Jul. Kenapa masih lajang, kenapa di usia segini belum nikah, kenapa masih sibuk nyari duit padahal nikah itu enak. Kenapa...ini....kenapa...itu...."
Aku tertawa.
"Emang ada yang nanya begitu?"
Rangga membenarkan letak duduknya. "Emm.....kayaknya lo orang ke sekian yang tanya tentang masalah ke-lajang-an gue ini."
"Gue pikir Cuma gue."
"Ya enggak mungkin lah!"
"Jadi lo mau cerita kenapa lo masih lajang?"
"Why not?" Rangga mengedikkan bahunya.
"Kenapa?" aku mengambil gelas kopiku lalu menyesapnya.
"Gue ditinggal nikah sama cewek gue."
"Uhuuuuk!" aku benar-benar terkejut. Apa lagi yang dipikirkan cewek itu sampai meninggalkan Rangga. Pria yang duduk di depanku ini terlihat matang dan dewasa, tampan dan tentu saja ia pasti berpenghasilan yang cukup karena cafe yang dikelolanya sangat ramai, dan Reza juga pernah bercerita kalau Rangga punya penghasilan lain di luar cafe.
"Yaelah Jul....biasa aja kali." Rangga terkekah lalu mengambil tissue dan memberikannya kepadaku. "Respon lo itu kayak baru lihat pertama kali orang menderita karena ditinggal kawin."
"Orang kayak lo masih ada ya yang ninggalin?" gumamku sambil membersihkan sisa kopi di sudut bibirku.
"Lha emang gue kenapa?" Rangga menunjuk dirinya sendiri. "Lo mau ngomong kalau gue ganteng ya? Makasih."
Aku mencibir. "Kalau wajah ganteng mah banyak Ngga. Tapi yang berpenghasilan itu susah nyarinya."
"Lo ternyata matre juga ya Jul?"
"Lho, jadi cewek itu harus matre lah Ngga."
"Iya....iya...iya...."
Aku terkekah, ternyata mengembalikan moodku yang berantakan cukup minum kopi dan dan ngobrol dengan Rangga.
"Jul, terkadang wanita itu lucu. Di depan dia sudah ada yang kata orang-orang sempurna." Ia membentuk tanda kutip dengan kedua tangannya. "Tapi dia masih merasa kurang dan memilih cari yang lain. Yang katanya bisa serius dengan hubungan."
"Jadi waktu itu lo enggak serius?"
"Ya menurut gue serius tidaknya pernikahan kan bukan tergantung cepat atau lambatnya ngelamar kan?'
"Lo gila? Jadi waktu itu lo enggak punya niatan buat nikahin dia?" aku menyandarkan tubuhku di kursi. "Ya pantes dia pergi."
"Bukan enggak ada niatan. Cuma gue belum siap Jul. Ya....menurut gue, yang penting gue serius. Masalah ngelamar gue masih pengen nunggu setahun dua tahun." Rangga masih bersikukuh dengan argumennya dan aku hanya menghela nafas pelan. Aku akui jika pemikiran pria dan wanita itu sangat jauh berbeda. Wanita suka hubungan yang pasti, apalagi dinikahi. Sebuah impian wanita mungkin sejak mereka menstruasi untuk pertama kali. Sedangkan pria, mereka cenderung tidak begitu suka dengan sesuatu yang mengikat apalagi tentang pernikahan. Mungkin hanya Reinard saja pria yang mantap menikah di usianya yang terbilang cukup muda dengan pekerjaan yang mapan.
Aku tidak ingin begitu larut dengan cerita Rangga. Itu hidup dia, dan masalah yang dialaminya juga bukan urusanku, karena aku sendiri punya masalah yang tak kalah pelik di hidupku. Suamiku menyembunyikan sesuatu denganku, yaitu kedekatannya dengan gadis berwajah pucat di rumah sakit itu. aku ingin bertanya banyak pada Reinard, atau kalau bisa aku ingin merajuk dan meninggalkannya pergi dari rumah, seperti di film-film. Namun aku tidak tahu sihir apa yang Reinard punya, karena bagaimanapun aku berusaha menjauh, setiap kali melihat wajahnya atau bahkan menerima cumbuannya hatiku luluh seketika. Seolah-olah, aku masih bisa mentolerir rasa sakit yang Reinard sebabkan, asalkan aku bisa terus bersama dia.
Ck, cinta itu rumit dan menyebalkan. Namun meskipun aku tahu itu, kenapa aku tidak bisa menghindar?
Menjelang sore, aku akhirnya pulang setelah menyempatkan diri ke kantor untuk bekerja namun kena tegur Rini karena aku hanya melamun saja sambil menatap jendela padahal banyak sekali berkas yang harus aku evaluasi dan tandatangani.
Keadaan rumah sudah gelap, pertanda Reinard belum pulang ke rumah. Setelah menekan sakelar lampu, aku akhirnya menghempaskan tubuh penatku di atas sofa. Aneh rasanya, padahal aku tidak melakukan pekerjaan berat namun kenapa badanku terasa penat dan sakit semua. Seolah aku baru saja mengikuti lomba lari berkilo-kilo.
Aku memejamkan mata dengan lengan menutup keningku. Namun baru saja aku merasa nyaman dengan posisiku, ponsel di atas meja berdering.
Sebuah pesan masuk dari Reinard.
"Jul, aku tidak pulang malam ini. Lembur."
Seketika aku menegakkan tubuhku. Rasa lelah dan penat yang tadi menimpa pundakku kini hilang begitu saja. Ada gemuruh hebat di dadaku, terasa panas dan juga menyakitkan.
Aku sulit mempercayai Reinard sekarang, bahkan mungkin untuk kejujurannya sekalipun, aku tidak mungkin bisa mempercayainya.
Bergegas aku berdiri dan merapikan bajuku, setelah mengambil tasku yang tadi bersebelahan dengan ponsel, aku segera meninggalkan apartementku.
Iya, malam ini aku harus ke Bogor untuk bertemu suamiku.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
ChickLitaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.