28

701 41 0
                                    


Aku mengatur irama jantungku ketika sosok ini sudah berdiri di depanku dengan senyumannya yang terlihat menyimpan banyak misteri. Sejujurnya aku tidak pernah mengenal orang ini—bahkan namanya saja aku tidak tahu. Hanya saja, aku teringat pesan dari Reinard untuk menjauh tiap bertemu dengannya, membuatku harus menjaga jarak dan menyimpulkan bahwa orang ini berbahaya..

Sosok yang berdiri di depanku ini adalah pengemis itu. Pria pengemis yang terlihat menemui suamiku dan berbicara serius dengannya waktu itu.

"Apa—yang bisa saya bantu?" aku mencoba bersikap wajar. Dari pakaian yang dikenakannya, ia tidak akan meminta-minta seperti biasanya.

Pria itu kembali tersenyum. Sebuah senyum yang sarat dengan sesuatu yang misterius menurutku. Ataukah aku hanya berlebihan, over thingking karena pesan Reinard waktu itu?

"Julia bukan?" tanyanya kemudian, dan tentu saja langung membuatku terkejut. Bagaimana ia bisa tahu namaku? Siapa yang memberi tahu? Reinard? Tidak mungkin, bahkan aku rasa mereka mempunyai hubungan yang kurang baik dan mustahil Reinard mengatakan padanya tentang diriku.

"I—iya benar." Sahutku sambil meremas kantong belanjaan yang masih ku pegang untuk menghalau perasaan takut yang aku rasa.

"Bisakan kita bicara sebentar?" tanyanya lagi.

Aku menimbang dengan ragu. Pembicaraan apa?

"Akh, jangan takut dengan saya." Ia seakan tahu apa yang aku pikirkan. "Nama saya Anton."

Aku belum menjawab. Jadi namanya Anton? Lelaki pengemis yang sering aku jumpai ini.

"Bagaimana? Apa anda punya waktu? Saya hanya ingin mengatakan sesuatu yang penting. Sesuatu yang selama ini anda tidak sadari."

Sesuatu yang penting? Sepertinya aku mulai penasaran.

"Baiklah." Aku menoleh kanan kiri, mencoba mencari tempat duduk di depan apartement yang bisa kami gunakan untuk saling bicara karena posisi berdiri seperti ini kurang baik. Namun tidak ada bangku di sini selain di dekat tempat pembuangan sampah, dan aku yang tidak mau.

Mataku tertahan di sebuah café di seberang jalan. Sepertinya itu tempat yang cocok, karena aku tidak mungkin membawa pak Anton masuk ke dalam apartement.

"Bagaimana kalau di café itu saja pak?" tanyaku kemudian.

Pak Anton mengikuti arah mataku, dan ia mengangguk setuju.

"Saya titipin belanjaan saya dulu." Aku berjalan menuju pos satpam lalu menitipkan barang-barang belanjaanku, sebelum akhirnya berjalan beriringan menuju café di seberang jalan.

*****

Café bernuansan skandinavia ini tidak begitu ramai, hanya ada aku dan beberapa anak muda yang tengah bercengkrama dengan pasangannya. Sejujurnya, aku baru kali ini masuk dan memesan sesuatu di sini, bahkan selama ini aku sama sekali tidak menyadari bahwa ada café yang begitu nyaman di depan apartemen tempatku tinggal. Aku yakin, jika aku akan betah berlama-lama di sini jika bersama Reinard, bukan bapak-bapak ini. Seorang lelaki misterius yang seakan sedang ingin memberikan sesuatu padaku lewat tatatapan dan senyumannya yang begitu tidak aku mengerti.

"Maaf menganggu waktu anda." Pria itu membuka suara setelah aku duduk di hadapannya setelah memesan dua cangkir kopi hangat.

Aku hanya tersenyum kaku. Sebenarnya aku tidak terlalu sibuk, karena hari ini aku juga free dari pekerjaan. Hanya saja aku merasa membuang-buang waktu sekarang.

"Bapak mau mengatakan apa?" tanyaku kemudian, tidak sabar dengan apa yang ingin dikatakannya.

Pria itu belum segera menjawab. Alih-alih membuka mulut, ia justru mengambil cangkirnya dan menyesapnya dengan penuh perasaan. Jika aku lihat dari caranya berbicara dan berperilaku, ia tidak seperti seorang yang biasa tinggal di jalanan. Terlihat bagaimana ia begitu 'biasa' dengan latte beserta café yang kami datangi sekarang.

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang