Bagian 9

1.2K 58 0
                                    

"What?!" Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. "Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?" matanya hampir saja meloncat keluar.

Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.

"Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo." Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.

"Ya....mungkin." sahutku tidak yakin. "Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam....aku yakin jika dia memang sudah sangat capek." Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.

Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alasanaku yang sangat rasional ini.

"Akh, mana ada cerita harus mengurusi pasien ketika kalian baru saja menikah. Apa hanya dia dokter di rumah sakitnya?" Reza masih terlihat tidak terima.

"Dokter ada banyak. Tapi yang spesialis jantung hanya dia sendiri." Aku mencoba membela suamiku.

"Tapi bukannya di sana ada residen dan lain sebagainya?"

Aku terdiam.

Memang ada. Banyak. Bahkan aku rasa mereka bias konsultasi via telepon jika benar-benar urgent. Tapi....

Akh sudahlah! Merasa tidak terima dengan malam pertamaku yang 'dianggurin' benar-benar bukan alasan yang tepat.

"Dia dokter Reza! Emang lo yang bisa seenak jidat main cancel begitu aja pekerjaan lo kalau ada kepetningan pribadi?" Sela Eli. "Dia punya sumpah yang dijaganya."

Naaah...aku setuju dengan apa yang Eli katakan.

Reza membeliakkan mata, dengan berkacak pinggang dan ekspresi kesal berjalan ke arah kami.

"Ye....gue juga professional kali El. Kalau udah tanda tangan kontrak, gue juga enggak bakalan main cancel begitu aja. Emang cari kerjaan kayak nyari daun di kebun apa?!" sewotnya.

"Nah lo tau. Begitu juga Reinard. Dia dokter—"

"Ya lihat konteks mak! Apalagi malam pertama. Sekali seumur hidup. Sakral!"

"Ya tapi kan ceritanya—"

"Uhaaah....udaaah... Kalian kenapa sih, kalau ketemu hobinya debat terus!" Aku bangkit dari kursi dengan kesal. Mereka berdua bukannya membuat perasaanku lebih baik, justru membuatku semaki bimbang. Percuma aku meluangkan waktu jam makan siang untuk datang ke rumah Eli dengan bermaksud 'curhat' kalau pada akhirnya Eli dan Reza malah beradu argument seperti ini.

"Sepertinya gue salah datang ke mari." Aku menyelempangkan tasku, mengabaikan tatapan tak mengerti kedua sahabatku. "Gue balik ke kantor." Aku menatap Reza dan Eli bergantian. "So terusin perdebatan kalian."

"Lo mau pulang sekarang Jul?" Suara Reza melunak. Aku tak menyahut. Kepalaku sudah cukup pusing untuk tinggal di sini lebih lama lagi.

"Jul....!" panggil Eli namun aku tetap tidak peduli. Terus saja mengayunkan langkahku keluar dari pintu.

Berkali-kali aku mendengar Eli dan Reza bergantian memanggilku, namun aku tidak peduli.

*****

"Oke. Bilang pada klien kita, kalau besok sore salah satu dari kita akan ke sana." Aku menutup map hitam yang kubawa dan memberikannya pada Fitri—karyawanku.

Fitri hanya mengangguk, lantas segera meninggalkan ruanganku. Dua hari cuti dan beban kerjaku bertambah banyak. Bahkan ada beberapa klien yang harus aku reschedule pertemuan karena pernikahanku kemarin.

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang