Biasanya, setiap punya masalah tentang hidupku, aku akan mencari Eli dan bercerita panjang lebar padanya. Namun kali ini sepertinya bukan saat yang tepat untuk menelponnya dan memulai sesi curhat. Selain ia sudah berada di luar negeri, perempuan itu juga sedang ada masalah dengan mantan suaminya. Sebagai sahabat, aku harus mencoba mengerti posisinya. Meskipun aku yakin, jikapun sekarang aku menekan namanya di layar ponselku, ia pasti akan menjawabnya dan bersedia menjadi pendengarku.
Aku bisa saja menghubungi Reza, tadi itu terkesan tidak mungkin. Reza manusia yang begitu frontal dengan apa yang tidak lazim. Apalagi tentang masalah 'suami' yang menyimpan rahasia dari istrinya. Pria itu pasti akan mencak-mencak dengan kemayu dan mengatakan 'pernikahan lo bener-bener gak sehat Jul. Kenapa semua pria kayak mantan suaminya Eli.'
Daripada harus mendengar kalimat itu dan rentetan kalimat serba menghakimi lainnya, aku memilih menyendiri di balkon. Merasakan hembusan angin yang kupikir bisa menurunkan gemuruhnya kepalaku karena begitu banyak pertanyaan yang berada di sana.
Malam sudah beranjak naik. Dari ketinggian tempatku berada kini, aku bisa melihat gedung-gedung di depanku dengan lampu-lampunya yang berkelip-kelip, serta kendaraaan yang mengular di bawah sana. Aku mendongak ke langit, berharap ada satu titik bintang di atas sana yang bisa aku nikmati. Namun, percuma. Aku rasa sinar-sinar dari lampu kota dan lampu kendaraan sudah mengalahkan cahaya indah dari bintang-bintang itu.
"Jul, belum tidur?" sebuah suara hangat menyapaku.
Aku menoleh, dan mendapati Reinard sudah berdiri di ruang tamu sambil melepas jas yang dipakainya. Aku tidak menyadari kedatangannya, mungkin karena aku melamun tadi.
"Iya." Senyumku mengembang tipis. Sangat kupaksakan sebenarnya. Aku berusaha mati-matian untuk menciptakan senyum ini, karena saat ini hatiku benar-benar dongkol. Sempat terbersit keinginanku untuk mencecarnya dengan berbagai pertanyaan dan amarah, namun melihat wajahnya yang sayu, urung kulakukan niatku itu.
"Bagaimana kerjaannya?" aku berjalan ke arahnya. "Kamu berangkat dari jam tujuh pagi, dan pulang pukul sepuluh malam." Aku melirik jam sekilas sebelum membantu Reinard melepas simpulan dasi yang dipakainya.
"Maafkan aku...." Ia menangkupkan kedua tangannya di pipiku, lalu mencium keningku lembut. "Aku berharap ini semua bisa cepat berakhir."
Aku mendongak. "Pekerjaana sebagai dokter berakhir?" keryitku. "Mana mungkin."
Reinard tersenyum. "Mungkin....aku bisa pensiun lebih cepat dan menjadi pengangguran. Apa kamu mau membiayai hidupku jika aku menjadi seorang pengangguran."
Sungguh aku ingin tertawa mendengar celotehan suamiku. Namun perasaan kesal yang masih membelit hatiku, membuatku malas melakukannya.
"Sebenarnya, jikapun pensiun dari dokter kamu masih bisa kerja yang lain."
"Kerja apa?"
"Menjalankan perusahaan papa."
Reinard tertawa kecil. "Ayolah Jul, aku tidak mungkin bisa menerima itu."
"Kenapa? Tidak tertarik?"
Reinard terdiam sesaat. "Sepertinya, aku terlalu serakah untuk hal semacam itu."
"Tapi bukannya waktu makan malam itu kamu bilang mau kita segera punya anak?" tanyaku bingung. "Agar bisa menerima perusahaan itu kan?"
Reinard menggeleng. "Bukan, aku punya dua alasan jul."
"Apa?"
"Pertama, aku melihatmu tidak nyaman dengan pembahasan soal anak. Kedua, karena aku memang benar-benar ingin memiliki keturunan bersamamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
ChickLitaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.