44

616 41 4
                                    


Aku meninggigit bibir bawahku dengan keras, mencari cara terbaik agar tangisanku tidak pecah di lorong rumah sakit ini. Kini aku sudah berdiri, namun lututku bergetar. Hatiku terasa dicabik-cabik dengan sebilah pisau tajam. Mengoyaknya begitu dalam sampai aku kehabisan nafas.

"Mbak...ngapain disitu? Yok, kita ikuti." Suara Wina menyentak lamunanku. Mataku kembali fokus pada Reinard dan wanita itu yang sudah berbelok. Aku ragu dengan apa yang ingin aku lakukan sekarang. Bagaimanapun juga, dia suamiku yang sedang bersama dengan perempuan lain, seusia kurang lebih sama denganku, dan mereka begitu akrab. Bahkan aku bisa melihat senyum Reinard mengembang ketika mereka asyik dengan obrolan. Rupanya selain denganku, Reinard bisa sehangat itu. aku pikir ia akan bersikap dingin dengan wanita selain aku.

Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku, namun di hati kecilku yang lain aku merasa jika apa yang kulakukan ada sebuah kesalahan yang akan membuat hubunganku dengan suamiku memburuk. Atau apakah aku pura-pura tidak tahu saja, agar kehidupan pernikahan kami normal seperti biasanya? Namun apakah aku bisa?

"Mbak....buruan!" Wina menarik tanganku, lalu menoleh dan mengerutkan alis dengan cemas. Mungkin dia merasakan tanganku yang bergetar dan begitu dingin ini.

"Mbak....jangan pingsan disini ya?" pesannya lalu kembali menarikku untuk mengikuti Reinard. Aku tidak bisa menjawab apapun, hanya kakiku yang mengikuti arah tarikan tangan Wina.

Reinard mengajak wanita berkursi roda itu menuju loteng yang menghadap ke taman rumah sakit. Kembali aku melihat seulas senyum dari wajah Reinard ketika ia menghentikan kursi roda itu di sana. Belum cukup membuat hatiku seakan ingin melompat keluar, suamiku tersebut berpindah ke depan wanita itu dan berlutut dengan salah satu kakinya. Ia dengan tanpa canggung membenarkan letak cardigan yang dipakai wanita yang rambutnya dikucir tersebut.

"Angin sore dingin, nanti kamu masuk angin." Aku mendengar kalimt itu meluncur lancar dari bibir Reinard. Kembali aku menahan nafas, leherku tercekat. Aku benar-benar tidak rela kalimat semanis itu Reinard ucapkan kepada wanita lain selain aku.

Perempuan itu mengangguk lalu menoleh ke arah lorong. Untung saja ia tidak mengenalku dan Wina. Ia hanya menoleh sekilas namun aku cukup mengenali wajah itu. bukankah wanita itu adalah yang aku lihat ketika beberapa waktu lalu berkunjung ke rumah sakit ini untuk menjenguk bu Santi? Wanita yang terlihat tersiksa dengan penyakitnya dan di dorong di atas tempat tidurnya? Apa penyakitnya sampai ia membutuhkan waktu lama untuk terus berada di rumah sakit?

Aku sudah tidak kuat melihat adegan itu, dan tubuhku limbung ke arah tembok.

"Mbak enggak apa-apa?" Wina memegangi lenganku. Wajahnya begitu khawatir menatapku.

Aku tidak menjawab. Jika aku mengatakan tidak, Wina pasti tidak percaya karena buktinya aku memang benar-benar tidak baik-baik saja. Tubuhku terasa lemas dan hatiku patah. Sekalipun Reinard tidak pernah menceritakan perihal wanita ini kepadaku. Tidak sama sekali. Apakah wanita ini keluarganya? Aku rasa bukan, karena Reinard tidak memiliki keluarga. Atau apakah ini mantan kekasihnya? Mungkin! Atau....apakah wanita ini selingkuhannya?

Akh, semakin memikirkannya kepalaku semakin berdenyut tidak karuan.

"Kita ke IGD aja ya mbak? Aku khawatir mbak Julia kenapa-kenapa." Wina membuyarkan monolog di kepalaku.

Aku menggeleng. "Tidak udah Win, kita pulang saja." Aku berbalik arah, meninggalkan Reinard yang masih terlihat santai berbincang dengan wanita itu.

Wina berjalan di sebelahku sambil memapah tubuhku. "Mbak yakin mau nyetir sendirian ke Jakarta?" tanyanya sanksi. "Sama aku aja ya mbak. Mobilnya biar ditinggal disini saja. Besok-besok baru diambil lagi."

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang