43

680 40 3
                                    


Aku menunggu Wina dengan perasaan cemas. Sudah lebih dari sepuluh menit sejak aku meninggalkan café Rangga tadi dan melajukan mobilku di jalan raya. Namun karena aku tidak bisa berputar-putar hanya untuk menunggu ponselku berdering, akhirnya aku menghentikan mobilku di pinggir jalan.

"Please Win, segera telepon aku." Aku meremas-remas kemudiku dengan tidak sabar. Berkali-kali ku toleh ponselku yang ku letakkan di kursi samping pengemudi. Namun benda pipih itu masih diam seribu bahasa.

Brrrt....brrtt...brrtt....

Akhirnya!

Aku bernafas lega ketika nomor Wina menari-nari di layar ponselku. Tak mau menunggu, aku langsung mengambil dan menggeser layar hijau di sana.

"Win, gimana?!" tanyaku to the point.

"Tan, kayaknya beneran ke Bogor deh." Sahut Wina.

Aku mengerutkan alisku. Jantungku menciut, bahkan serasa di remas.

"Beneran?"

"Iya. Ini udah masuk tol arah Bogor. Tante Julia cepetan. Nanti aku hubungi lagi, biar aku yang ngikutin dokter Reinard duluan."

"Oke Win." Aku mematikan ponselku lalu meletakkannya kembali di kursi penumpang dengan asal-asalan. Setelah menghidupkan mesin mobil, aku segera memacu gas-ku menuju Bogor.

Semoga aku mendapatkan hasil kali ini. Apapun yang aku lihat nanti, setidaknya bisa mengobati rasa penasaranku.

****

Aku melihat mobil Honda City hitam yang terparkir di depan rumah sakit. Dadaku kembali bergemuruh. Apakah suamiku berhenti di tempat ini? Apa yang dilakukannya dengan perjalanan sejauh itu?

Mataku berkeliling awas mengitari pelataran rumah sakit ini. Jelas tempat ini familiar karena beberapa waktu lalu aku sempat datang ke sini untuk menjenguk klien-ku, Bu Santi.

"Kok berhenti di sini Win?" tanyaku ketika sudah keluar dari mobil. gadis itu berdiri di samping pintu mobilnya.

"Dokter Reinard masuk ke situ tante." Sahut Wina sambil mengedik ke dalam rumah sakit.

Aku mengerutkan keningku tidak paham. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa suamiku juga bekerja di rumah sakit ini? Sejauh itu? Jakarta-Bogor?

"Gimana tante, kita masuk ke dalam apa tunggu di sini aja sampai mobil dokter Reinard keluar?" Wina menyugar rambutnya ke belakang. Ia memperhatikanku dengan serius. Untuk kali ini aku sama sekali tidak melihat sosok Wina yang menyebalkan itu.

"Masuk aja Win. Nanggung kan, udah sampai di sini juga." Sahutku kemudian.

"Tapi gimana kita bisa tahu dokter Reinard di sebelah mana tante. Rumah sakit ini kan luas, kalau kita kehilangan dia malah bahaya." Wina mencoba menjelaskan, dan aku mengangguk. Setuju dengan yang Wina katakan. Jika kami ternyata tidak menemukan Reinard, bisa dipastikan kami juga tidak mendapat apa-apa, padahal kami sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Tapi kalau kami hanya menunggu di sini, kami juga tidak akan menemukan bukti apa-apa selain melihat Reinard keluar. Dan aku juga tidak punya alasan pasti untuk menanyai suamiku perihal kedatangannya di rumah sakit ini ketika bertemu nanti.

"Gimana tan?" Suara Wina menyadarkanku. Rupanya gadis itu sedang menunggu keputusanku.

"Masuk aja deh Win." Putusku pada akhirnya. "Kalau enggak ketemu dia di dalem, yaudah anggep kita lagi enggak beruntung. Tapi kalau bisa ketemu dan dapat bukti, setidaknya kita enggak sia-sia sampai sini."

Wina mengangguk. "Setuju deh sama tante."

Aku tersenyum pahit. Beriringan, kami berdua masuk ke dalam rumah sakit itu. berkali-kali aku menarik nafas panjang, mencoba menetralkan perasaanku yang campur aduk. Ada banyak pertanyaan dan rasa was-was di dalam hatiku, namun aku tidak bisa menjelaskannya pada Wina. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan gadis itu, makanya sejak tadi aku mencoba untuk bersikap santai walau sebenarnya tidak dengan perasaanku.

"Maafin ya Win, udah ganggu waktu kamu." Aku kembali membuka percakapan, ketika masuk di lobi. Kami berdua menyapu seluruh sudut ruangan, mencari-cari sosok Reinard diantara banyak pengunjung dan petugas rumah sakit di sini.

"Tenang mbak...." Jawab Wina dan aku menoleh. Tiba-tiba saja dia memanggilku dengan sebutan mbak, dan aku terkejut.

"Kenapa? Kaget ya?" Wina menatapku dengan meringis. Ia seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Aku tersenyum dengan sudut bibirku.

Gadis berkucir kuda itu mengedikkan bahu. "Ya...aku rasa panggilan tante terlalu tua." Kilahnya kemudian yang langsung ku respon dengan tertawa. Meskipun tawaku sedikit hambar karena beban pikiran.

Kami kini masuk ke dalam lift yang membawa ke lantai dua.

"Kamu enggak apa-apa bolos?" tanyaku kemudian. Kami berdiri bersisian, dan mata kami fokus pada pintu lift yang menutup perlahan.

"Tenanglah mbak, semua bisa di atur. Sebenarnya aku turun jaga hari ini. Cuma tadi pagi bantuin poliklinik yang pasiennya lumayan banyak."

"Beneran?"

Wina menatapku. "Apa aku kelihatan lagi bohong?" ia menunjuk mukanya sendiri. "Lagian aku juga harus cari tahu, dokter Reinard ngapain aja. Secara kan aku juga peduli sama dia, mbak."

Aku membuang nafas jengah. Lagi-lagi dia pengen buat aku illfeel. Namun setelah aku pikir-pikir, tidak masalah juga Wina menjadi pengangum suamiku. Aku kenal Wina, apalagi aku juga kenal Reinard dengan baik-ya meskipun tidak semua rahasianya aku tahu. Reinard tidak menyukai tipikal wanita seperti Wina. Dia terlalu kekanak-kanakan menurutku.

Lift di lantai dua terbuka. Aku dan Wina kembali berjalan beriringan menyapu gedung poliklinik yang berjajar rapi. Namun sekali lagi aku tak menemukan sosok Reinard di sana. Bahkan ketika aku bertanya pada salah seorang petugas rumah sakit apakah ada dokter bernama Reinard di rumah sakit ini, petugas itu menjawab tidak ada. Berarti bisa diambil kesimpulan bahwa Reinard datang ke sini bukan untuk bekerja, namun untuk melakukan hal lain.

"Terus kita harus gimana sekarang Win?" aku memijit keningku yang mulai terasa pusing. Malam merangkak naik, rumah sakit semakin ramai karena jam kunjung. Namun Reinard belum tampak batang hidungnya.

"Tenang mbak, pelan-pelan. Nggak usah dipaksakan. Kita bisa kesini lagi besok. Aku yakin dokter Reinard bakalan kesini lagi." Wina meremas pundakku., mencoba membesarkan hatiku yang mulai rapuh.

Aku menengadah, menatap Wina yang berdiri di sampingku. Kini kami duduk di lorong. Sejak tadi hilir mudik pengunjung yang berjalan di depan kami. Namun tak satupun yang aku kenali, dan bahkan wajah Reinard tak nampak diantara orang-orang itu.

"Aku enggak bisa pulang dengan tangan hampa Win." Tekanku. Mataku sudah berkaca-kaca ingin menangis. Bagaimanapun juga batinkan sebagai istri menjerit sakit ketika suamiku menyimpan rahasia yang tak pernah dikatakannya kepadaku. Reinard terlalu banyak berbohong, dan aku semakin curiga.

"Aku hanya enggak nyangka kalau menikah begitu sulit." Gumamku pelan. Saking pelannya, aku yakin Wina juga tidak mendengar.

Kini kami melanjutkan ke ruang rawat inap. Satu-satunya harapan terakhirku, karena jika kami tidak menemukan sosok Reinard di ruangan-ruangan rawat inap ini, kami benar-benar akan pulang dengan tangan hampa.

Beberapa kali, aku melihat sosok yang mirip dengan Reinard. Namun ketika aku dekati, itu orang lain. Lagi-lagi aku kecewa dan Wina kembali mencoba menenangkanku. Sungguh mencari satu orang diantara orang-orang yang lalu lalang membesuk ini benar-benar melelahkan.

"Mbak." Wina menyenggol lenganku.

Aku menoleh, dengan wajah lemas yang tak bisa kugambarkan. Pasti Wina bisa melihat ekspresi putuh asa sekaligus ekspresiku yang ingin menangis.

"Kayaknya itu dokter Reinard kan?"

Aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Wina.

Benar. Aku yakin kali ini. Dia benar-benar suamiku. Untuk beberapa detik aku merasa lega karena bisa menemukan suamiku, namun di detik berikutnya kembali jantungku seperti diremas dengan hebat.

Dia....suamiku.

Namun siapa perempuan yang duduk di kursi roda itu? yang sedang didorongnya perlahan.

Dan senyum itu....

Kenapa Reinard terlihat begitu akrab dengan perempuan itu.

Oh Tuhan!

Apa lagi ini?

*****

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang