47

640 38 0
                                    

Aku lupa dengan lelah dan penat yang kurasakan beberapa waktu yang lalu. Kini dengan hati yang terbakar dan perasaan yang tak bisa kujelaskan, aku memacu mobilku menuju Bogor. Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi, namun aku tidak peduli. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Reinard sudah tidak ada di rumah sakit sejak sejam yang lalu, aku semakin yakin bahwa suamiku tersebut pergi ke Bogor untuk menemui wanita di atas kursi roda itu.

Aku memarkir kendaraanku di depan rumah sakit. Setelah menurunkan hand rem, aku menghela nafas lalu menyandarkan tubuhku. Pandanganku tertuju ke depan, pada gelap yang mulai merangkak naik, lampu-lampu rumah sakit yang mulai berpendar di segala penjuru dan gerimis yang menimpa kaca depan mobilku. Entah bagaimana rasanya, namun kini perasaanku hampa. Apa yang aku lakukan disini? Benarkah apa yang aku lakukan? Haruskah aku kembali saja dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu membiarkan Reinard dengan rahasianya? Tapi sulit. Hatiku terlalu sakit menerima ini semua.

Kemarin Rini berkata kepadaku. "Mbak Julia kok sekarang kurusan?"

Bagaimana tidak kurus kalau hampir sepenuhnya pikiranku tertuju pada Reinard. Andai saja aku bisa mengulangi waktu beberapa bulan lalu, tentang perjodohan ini. Mungkin aku tidak akan gegabah dan menimbangnya seribu kali—seperti yang sudah-sudah. Aku hanya terlena dengan apa yang dimiliki Reinard. Wajah rupawan, tutur kata yang baik dan juga pekerjaannya. Namun nyatanya, setelah menikah, aku menemukan banyak rahasia di dalam diri pria itu. mulai dari pria pengemis yang ternyata adalah ayah angkat yang pernah menyakitinya, bahkan fakta tentang Reinard yang besar di panti asuhan. Dan kini? Wanita itu? Haruskah aku kembali bersiap dengan kejutan maha dahsyat Reinard sekali lagi? Dan apakah hatiku masih bisa menerimanya?

Setelah merasa keadaanku lebih baik, aku segera turun dari mobil dan berlari kecil menuju lobi. Aku tidak membawa payung dan otomatis badanku sedikit basah. Tapi aku tidak peduli. Dipikiranku hanya satu, aku ingin menemui suamiku. Makanya aku nekat pergi menyusulnya sendirian, meski kondisi badanku sedang tidak enak, hujan dan tanpa Wina.

Tempat yang aku tuju adalah lantai kamar dimana terakhir aku melihat Reinard bersama wanita itu. aku tidak tahu nama wanita itu dan aku juga berharap ia masih di rawat di rumah sakit ini, sehingga kepergianku ke Bogor kali ini tidak sia-sia lagi.

Dengan terus menerus meremas tanganku, aku menyusuri satu per satu kamar di lantai tersebut. Ada jendela kecil di pintunya, yang memungkinkan pengunjung untuk melihat ke dalam agar tidak salah masuk kamar.

Beberapa kamar tidak berpenghuni, kamar yang lain ditempati oleh seorang nenek-nenek yang terlihat bahagia mendapatkan kunjungan dari keluarganya. Kamar yang lain seorang gadis muda yang sedang terkulai lemas dengan seorang pria di sampingnya, namun itu bukan Reinard dan wanita itu. mereka masih muda di awal usia 20-an.

Kini aku menghentikan langkah sejenak di depan sebuah kamar dengan pintu yang setengah terbuka. Langkahku benar-benar terhenti dan tubuhku membeku. Aku tak bisa mengatakan apapun juga tak bisa berbuat apapun, di dalam kamar itu, dia—wanita itu tengah berbaring setengah duduk. Di sampingnya ada Reinard yang memegang sebuah mangkuk, mungkin berisi bubur dan menyuapinya dengan begitu penuh perhatian. Sesekali mereka bergurau, entah apa yang dikatakannya.

Aku memang tidak punya keinginan untuk pergi setelah melihat kejadian ini. Selain memang seperti kakiku sudah tertancap di sini, aku rasa Reinard perlu meyadari bahwa aku sedang berada di belakangnya, dan menyaksikan apa yang sedang dilakukannya bersama wanita lain selain istrinya. Dia pria yang aku cintai, seorang pria lembut yang memperlakukanku seperti ratu di rumah dan pria yang selalu membuat dadaku berdebar dengan sentuhannya.

Aku menunduk, mengusap air mata yang tiba-tiba luruh di pipiku.

"Maaf, anda siapa?" sebuah suara lembut menginterupsiku.

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang