45

650 34 0
                                    


Hidup dengan seorang pria yang tidak bisa selalu berkata jujur itu memang sangat menyiksa. Apalagi itu adalah seseorang yang sangat aku cintai. Aku ingin bertanya padanya tentang banyak hal, tentang apa yang kamu kerjakan di Bogor? Siapa wanita itu? apakah hubunganmu dengannya? Kalimat-kalimat itu selalu ingin saja keluar dari mulutku ketika aku bersama Reinard, meskipun pada akhirnya hanya menggantung di rongga mulutku dan tak bisa aku katakan. Aku terlalu takut ia marah padaku lalu meninggalkanku.

"Lo ngapain ninggalin mobil di Bogor? Rumah sakit lagi." Tanya Arian waktu itu ketika ia mengembalikan kunci mobilku. Aku sedang asyik menatap lalu lalang kendaraan dari jendela kantor. Pekerjaan yang sia-sia, namun begitu asyik ketika masalah mendera seperti ini.

"Lo sakit ya Jul?" pria itu mendekat ke arahku, dan menarik kursiku hingga menghadap ke arahnya. "Busyeeet lo mirip mayat hidup Jul!" ia ternganga melihat wajahku yang mungkin terlihat lebih menyeramkan dari zombie.

"Mulut lo, diem deh!" aku berdecak sembar bangkit dari kursiku dan menuju tumpukan pekerjaan di meja. "Gue capek, butuh hiburan." Gumamku.

"Suruh mijitin Reinard aja. Lo pasti bakalan bugar lagi kalau dipijitin sama dia."

Aku berdehem. Andai saudaraku ini tahu, akar dari semua problematika hidupku ini adalah Reianrd. Jika dulu aku tidak menerima perjodohan ini mungkin......!

Stop Julia! Jangan merasa menyesal dengan keputusan yang telah kamu ambil!

"Lo jangan bilang sama Reinard ya kalau gue ninggalin mobil di Bogor!"

"Emang kenapa?" Mata Arian memicing. "Lo ada sesuatu ya di belakang dia."

"Ngawur!"

"Lha terus apa dong?"

Aku menghela nafas, lalu kembali duduk di kursi. "Nanti deh gue ceritain. Tapi lo janji dulu sama gue, enggak bakalan ngomongin hal ini sama Reinard. Mengerti?!"

"Iye....iye....gue janji!"

*****

"Jul...." Reinard memelukku pinggangku dari belakang.sedetik kemudian, aku merasakan bibirnya sudah menyusuri leher belakangku yang bebas.

Aku menggeliat menahan geli. Tahu apa maksud Reinard melakukan hal demikian kepadaku. Meminta haknya dariku sebagai istrinya yang sah.

"Rei....aku masih banyak kerjaan." Aku mengedik pada tumpukan piring yang baru setengah aku cuci. Kami habis menikmati makan malam kami, sebelum akhirnya Reinard sudah terlihat tidak tahan ingin menelanjangiku.

Ternyata menghindari seseorang yang tinggal serumah itu sangat sulit. Aku pernah menghindari Reinard, dulu ketika kami awal menikah. Saat aku merasa tidak berguna sebagai istri karena dia tak mau menyentuhku. Dan rupanya kali ini terulang lagi, tapi dengan masalah yang berbeda. Jika biasanya aku akan bersemnagat melayani suamiku di atas ranjang, kini aku merasa begitu malas melakukan hal tersebut. Bayangan tentangnya bertemu dengan wanita di rumah sakit tak bisa aku lupakan. Bahkan aku yakin, setelah kejadian beberapa hari lalu itu, Reinard sudah kembali mengunjungi wanita itu. dua hari lalu, ia kembali pulang tengah malam dengan alasan operasi. Aku jadi curiga, apa jangan-jangan selama ini Reinard sudah sering melakukan hal itu?sebab ia sering mengatakan padaku bahwa ada operasi sampai pagi, bahkan ia pernah tidak pulang ke rumah.

"Ayolah Jul....malam ini aku menginginkanmu...." bukannya menyerah, ia malah menyusuri dasterku dan meremas dadaku perlahan. Aku meninggigit bibir, percuma aku menahan karena sentuhan Reinard benar-benar membuatku tidak berkutik.

"Rei, aku sedang cuci piring." Aku berusaha mengibaskan tangannya, namun gagal.

"Besok pagi Jul. Aku yang cuci." Ia menarik tubuhku agar menghadap kepadanya.

Aku terdiam. Pria itu menatapku, dan aku juga menatapnya. Ia tampak tersenyum, dan aku merasa hatiku tersayat. Ia memperlakukanku seolah dia sangat mencintaiku, namun kenapa ada wanita itu? Haruskah aku bertanya siapa dia?

"Kamu cantik....." ia membelai rambutku, dan menarik daguku pelan. Aku tahu apa yang ingin dilakukannya—meminta haknya sebagai seorang suami.

Aku hanya diam ketika ia mulai melumat bibirku dengan lembut. Bahkan ketika deru nafasnya mulai terasa berat, aku juga tidak bisa menghindari hatiku bahwa aku juga menginginkannya. Kami berciuman di depan wastafel, saling melumat dengan intens.

"Apa kamu merindukanku?" ia melepas ciumannya. Aku tak menjawab, sejujurnya iya, namun aku selalu merasa jika ia tak pernah memberikan cintanya kepadaku. Aku seperti sedang jatuh cinta sepihak dengannya, memberikan semua kasih sayang yang aku miliki, namun aku pikir tidak dengan Reinard.

Reinard kembali menyerangku dengan ciumannya, kini lebih dalam dan terasa menggairahkan.

"Bibirmu manis sekali sayang....." suaranya serak.

Mulutku terbuka sedikit, untuk mengambil nafas sebanyak-banyaknya dari dalam paru-paruku. Reinard menyerangku membabi buta, mengecup leherku dengan rakus seolah aku adalah makanan terenak yang sayang sekali untuk dilewatkannya.

Saat ia sudah terlihat benar-benar berada di puncak, ia langsung mengangkat tubuhku dan membawanya ke kasur. Ia menjatuhkanku dengan pelan, lantas mulai meloloskan semua pakaianku dan menyesap tubuhku sejengkal demi sejengkal. Aku tidak bisa memungkiri jika Reinard begitu mahir soal urusan ranjang. Ia mampu membuat dadaku bergelinyar gairah, meskipun pada awalnya aku benar-benar tidak menginginkannya.

Setelah selesai dengan rutinitas kami, ia langsung menenggelamkan tubuhnya di sampingku dengan lunglai. Matanya terpejam, aku tahu ia belum tidur. Ia hanya sedang mencoba mengumpulkan kembali tenaganya yang berserakan.

Diam-diam aku menatapnya, melihat dari samping wajah dengan hidung mancung tersebut. aku mencintainya, meskipun berkali-kali aku terus berusaha membuat diriku untuk tak sepenuhnya memberikan seluruh hatiku padanya. Ingatanku kembali ketika pernikahan kami beberapa bulan lalu, saat reinard dengan lantang mengucapkan janji suci pernikahan kami. Entah mengapa, tiba-tiba aku menangis.

Mungkin mendengar suara berisik dari hidungku yang ikut mampet karena nangis, ia menoleh.

"Kamu kenapa Jul?" ia beringsut, menghadap ke arahku. Alisnya berkerut. "Apa aku menyakitimu saat bermain tadi?" ia mengusap air mataku. "Katakan...."

Aku menggeleng. Mendengar kalimat itu, bukannya tangisaku reda, malah semakin menjadi. Ayolah Rei, ada apa denganmu? Kenapa kamu terlihat begitu peduli padaku, padahal sebenarnya kamu sedang berbohong di belakangku.

"Katakan Julia.....kamu kenapa?" ia menarik selimut, lantas menutupi tubuh kami yang masih telanjang. "Apa aku menyakitimu? Maafkan aku, aku terlalu bernafsu denganmu tadi."

Ya...kamu memang menyakitiku Reinard. Tapi bukan soal urusan ranjang, melainkan karena kamu bersama perempuan itu.

"Rei....apa kamu mencintaiku?" tanyaku pelan.

Pria itu mengerutkan alis. "Tentu saja, dengan sepenuh hatiku Julia. Aku sangat mencintaimu."

Aku terdiam.

"Ada apa dengamu Jul? Kamu sering menanyakan hal itu akhir-akhir ini."

Aku beringsut dan memeluk pinggang Reinard sembari menenggelamkan kepalaku di dadanya. "Aku hanya ingin memastikan perasaamu." Gumamku.

Pria itu tertawa kecil lalu mengelus-elus rambutku. "Apa aku terlihat tidak bersungguh-sungguh padamu Jul?"

"Ya." Jawabku lugas.

Aku merasakan tangannya yang mengelus rambutku berhenti. Ia mungkin terkejut dengan pernyataanku.

"Rei...." aku mendongak dan ia menunduk menatapku.

"Apa?"

"Jangan pernah membohongiku ya?"

Wajahnya terlihat sedikit berubah.

"Tentang apa?"

Tentang wanita itu.

"Aku hanya memintamu untuk tidak berbohong, bukannya sedang bertanya padamu tentang suatu hal."

Reinard tak menyahut.

"Sudahlah....mari tidur. Aku lelah." Aku kembali menenggelamkan kepalaku di dadanya.

****** 

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang