35

817 40 0
                                    

Aku memencet tombol remote mobilku dan segera berjalan menuju ke dalam sebuah café yang tidak terlalu jauh dari kantorku. Hari ini Reza mengajakku untuk makan siang bareng sekalian ingin memperkenalkan sebuah café baru milik keponakannya.

Aku yang memang pada dasarnya sedang tidak begitu sibuk, dan tidak ada rencana untuk makan siang bersama Reinard—karena ia sibuk di rumah sakit semenjak telepon semalam, akhirnya menerima permintaan Reza untuk datang apalagi ini tentang opening sebuah tempat makan dan tentu saja aku bisa menikmati semua makanan dengan kata 'gratis'.

"Waaaaak.....!" suara Reza begitu familiar ketika kakiku baru saja melangkah masuk. Pria yang kini mengenakan kaos coklat itu melambai ke arahku dengan senyum mengembang.

Aku membalas lambaian itu, lalu mempercepat langkah menyusulnya.

"Gila, macet banget tau!" gerutuku sambil meletakkan tas beserta kunci mobil di atas meja. Ku susul dengan membuka blazer yang ku pakai dan kini hanya menyisakan sebuah kemeja warna soft blue.

"Pantesan, lama." Reza memainkan juice tomat yang ada di depannya dengan sedotan.

Aku menarik kursi di seberang pria itu lalu duduk di sana. Sejurus kemudian, ku edarkan pandanganku ke sekeliling. Suasana cukup ramai, bahkan kursi-kursi hampir penuh. Sebuah permulaan yang bagus untuk café yang baru saja buka. Di pintu depan tadi, aku melihat beberapa rangkaian bunga yang berisikan tulisan selamat atas dibukanya café ini.

"Gimana, lo suka kan sama konsep cafenya?" tanya Reza kemudian.

Aku mengedikkan bahu. Sudah kali ketiga ini aku melihat café dengan konsep skandinavia seperti ini. Pertama, café yang berada di seberang apartemenku, kedua adalah café yang beberapa hari lalu aku singgahi untuk membeli kopi dan yang ketiga ini. Mungkin selera anak muda jaman sekarnag itu sama, apa yang lagi hits, itulah yang mereka jadikan suatu ikon untuk bisnsis mereka. Padahal aku rasa, kita harus punya taste sendiri untuk segala sesuatu, apalagi ini tentang tempat nongkrong. Jangan pasaran deh, biar orang penasaran dan enggak bosen.

"Mana ponakan yang lo bilang multitalenta itu?" aku mengedikkan dagu dan Reza malah tersenyum lebar.

"Wait...." Reza celingak-celinguk mencari-cari sosok keponakannya itu. "Eh itu dia.... Rangga!"

Aku memutar kepalaku, mengikuti arah mata Reza. Kini mataku menangkap sosok pria bertubuh tinggi tegap dengan rambut di cat cokelat muda yang sedang berjalan ke arah kami. Pria itu tersenyum, dan langsung bilang 'hai' ketika sampai di depan kami.

Aku mengerutkan keningku. Sepertinya wajah pria ini tidak asing di ingatanku. Tapi dimana ya....aku yakin aku pernah melihatnya.

"Lho, kamu....." suara Rangga memecah monolog di kepalaku.

"Lho, kalian saling kenal?!" Reza melebarkan pupilnya.

Aku yang masih berjuang keras memikirkan perjumpaan pertamaku dengan pria tinggi ini hanya cengar-cengir. Ayolah....dimana aku pernah bertemu dengannya.

"Yang nemuin dompet, waktu kamu beli kopi." Pria di depanku ini seolah sedang memberiku clue di tengah kebingunganku.

"Astaga!" aku terlonjak. "Aku berusaha inget-inget, ternyata...itu kamu...."

Rangga tertawa. "Jadi kamu temennya Reza?"

Aku mengangguk.

"Iya. Bukan Cuma temen. Tapi udah kayak saudara."

"Syukurlah.....ada yang mau sahabatan sama makhluk satu ini." Rangga tertawa sambil melirik Reza. "Oh ya....kenalin....aku Rangga—'

"Aku Julia." Sambarku cepat menerima uluran tangan Rangga. Kami tertawa, entah rasanya tiba-tiba nyambung aja.

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang