54

608 38 0
                                    

Kami memang menghabiskan tiga malam di resort, namun dengan suasana yang tak seperti awal kami datang. Di malam pertama kami menginap, Reinard begitu dingin padaku. Mungkin karena ia marah dengan tindakanku yang seperti anak kecil. Ia terus berusaha menghubungi rumah sakit dan mengacuhkanku, hingga akhirnya raut wajah tegangnya membaik ketika mendengar kabar bahwa Rena sudah tidak apa-apa. Kondisinya berangsur pulih.

Dalam hati aku juga cukup lega mendengar bahwa Rena membaik. Aku tidak tahu apa yang akan Reinard lakukan padaku dan betapa kecewanya ia jika keadaan Rena memburuk atau bahkan fatal. Ia pasti membenciku dan menyalahkanku karena tidak mengijinkannya pulang.

Di hari kedua menginap dan sampai jadwal kepulangan kami, sikap Reinard sudah kembali mulai hangat meskipun sedikit kaku. Aku ingin kembali menjeritkan protes dan marah, bahwa demi perempuan itu, ia rela mengacuhkan istrinya sendiri. Namun aku lebih memilih diam, karena aku tahu sekali aku membuat onar, ia memang akan benar-benar marah.

"Aku pergi dulu." Belum ada satu jam kami berada di apartement, Reinard sudah meminta ijin padaku untuk keluar. Bahkan kami belum sempat mmbongkar koper.

"Kemana?" tanyaku.

"Ke rumah sakit. Aku perlu tahu keadaan Rena sekarang."

aku memejamkan mata frustasi. Aku pikir dengan mengetahui keadaan Rena yang sudah baik, Reinard tidak perlu datang ke rumah sakit, ke Bogor lagi. Apa tidak bisa suamiku itu menunggu sampai esok hari, dimana lelahnya sudah hilang dan badannya sudah tidak penat. Apa tidak cukup kabar dari dokter dan perawat yang menangani Rena, bahwa perempuan itu sudah dalam keadaan yang sehat?

"Apa—tidak bisa besok Rei?"

Reinard menatapku lalu menghela nafas.

"Julia......"

"Oke.....oke...." aku menarik nafas gusar. "Aku ikut."

"Ikut?" pria itu membeliakkan mata.

"Kenapa? Aku tidak boleh ikut?" sahutku sinis.

"Tapi kondisi kamu Jul...." ia berdecak. "Lagi hamil muda. Aku takut kamu kecapekan, aku enggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Aku ikut atau kamu sama sekali enggak boleh pergi." Aku memberikannya pilihan sulit. Aku berharap ia akan mengatakan 'yasudah kita dirumah saja', tapi ternyata rindu suamiku pada sahabat masa kecilnya itu sudah tak dapat ia bendung lagi. Ia justru mengangguk dan memintaku bersiap-siap.

*****

Langkah lebar suamiku itu tidak bisa kusejajari. Aku mengalah, ia kupersilakan untuk duluan menuju kamar Rena sedangkan aku berjalan santai sambil mengusap-usap perutku. Sejak di dalam mobil tadi, perutku sedikit kram. Mungkin karena terlalu lelah, makanya bayi di perutku protes memintaku untuk beristirahat.

Pintu kamar rumah sakit itu terbuka setengah. Aku hendak masuk namun langkahku terhenti seketika. Dadaku berdesir hebat. Aku berusaha untuk menghalau pikiran buruk dan segala macam hal yang berseliweran di kepalaku, namun mustahil.

Bagaimana kamu akan ikhlas melihat suamimu dipeluk oleh perempuan lain. Meskipun perempuan itu disebut sebagai sahabat masa kecil?

Aku meremas tanganku dengan kuat. Rena bukannya tak melihatku, ia bahkan seperti sedang mengejekku. Mungkinkah ini aksi balas dendamnya kepadaku karena aku tak memperbolehkan suamiku pulang untuk mengurusnya dua hari lalu?

"Bagaimana keadaanmu Na?" Reinard melepaskan pelukan hangat itu. Ia masih belum menyadari jika aku berada di belakangnya.

"Baik mas Rei. Cuma dua hari lalu, aku tiba-tiba tidak ingat apa-apa. Mungkinkah kondisik memburuk?"

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang