55

680 37 0
                                    

Permintaan Reinard yang seperti sambaran petir itu berhasil membuatku meradang. Aku mungkin akan menerima Rena di rumahku dan membantu merawatnya jika ia benar-benar adik kandung Reinard, keponakannya atau saudara yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Namun lain halnya dengan ini. Rena hanyalah gadis yang tumbuh besar bersamanya di panti asuhan. Hanya menyandang sebagai predikat dua insan yang dibesarkan bersama dengan takdir yang hampir mirip, tidak lantas membuat mereka menjadi saudara bukan? Apalagi mereka berlainan jenis kelamin. Mungkin Reinard hanya menganggap Rena sebagai adik, tapi aku tidak yakin dengan perasaan Rena. Bagaimana ia menatap Reinard dan bagaimana ia bersikap di depanku sudah sangat jelas bisa ku baca, jika perempuan itu menyayangi suamiku lebih dari sekedar dua orang yang berbagi dan dibesarkan di panti asuhan yang sama sejak kecil.

"Pokoknya aku tidak mau jika dia tinggal disini!" tolakku keras. Aku kembali membuka percakapan ketika pagi, saat ia bersiap menuju kantor dengan meminum kopi dan aku mengoleskan selai ke rotiku.

Reinard masih tampak bersikap tenang. Sepertinya ia mulai terbiasa dengan aksi-aksi penolakanku terhadap Rena. Terkadang aku malah berfikir, kenapa waktu itu aku harus bersikeras untuk mengetahui hubungan Reinard dengannya kalau akhirnya disetiap pertemuanku dengan Reinard, kami berdua hanya membahas tentang Rena. Padahal dulu, Reinard tak bersikap mencolok seperti ini untuk terlalu melindungi perempuan itu.

"Dengerin aku enggak sih Rei?"

Reinard meletakkan kopi yang disruputnya.

"Dengerin sayang...."

Aku mencebik. "Kalau ada maunya aja manggil-manggil sayang."

Reinard tertawa. Ia bukannya meladeni kemarahanku, melainkan malah mencubit pipiku dengan gemas. "Jangan marah-marah terus kasihan anak kita di dalem perut kamu nanti. Punya calon mama kok badmood terus."

"Yakali siapa yang bikin aku badmood terus kalau bukan Rena!" sahutku ketus sambil mengigit roti sarapanku.

"Udaaah....enggak usah bahas Rena terus." Reinard beranjak dari duduknya dan meraih kunci mobil. "Oh ya, kamu kerja hari ini honey?"

Aku mengangguk. "Aku keluar menemui klien."

"Dimana?"

"Hanya didekat kantor. Kenapa? Mau nemuin Rena lagi tanpa sepengetahuan aku?" tanyaku penuh selidik.

Suamiku berdecak. "Ya ampun.....Cuma nanya malah disangkut pautin sama Rena. Hari ini aku full ada operasi. Pulang agak malem."

"Bisa dipercaya?" aku menaikkan salah satu alis. "Dulu bilangnya ada operasi, nggak taunya pergi ke Bogor tanpa sepengetahuan aku."

"Ya itu kan dulu, sebelum aku ngomong semua masa lalu aku sama kamu Jul. kalau kamu enggak percaya hari ini aku beneran ada operasi apa enggak, kamu bisa hubungi rumah sakit." sahut Reinard, ia beranjak meninggalkanku. Mungkin sudah mulai jengah, karena sepagi ini aku sudah mengajaknya berdebat.

"Anak baik, jaga mama ya. Jangan biarin mama kamu marah-marah terus." Reinard mengusap perutku lalu menciumnya ketika kami sudah berada di depan pintu. Setelah memberi pesan untuk hati-hati, pria itu segera beranjak pergi.

*****

Rencana bertemu klien yang aku pikir akan memakan waktu lama, ternyata hanya sebentar. Aku bahkan memiliki banyak waktu untuk sekedar berjalan-jalan ke mall melihat-lihat baju bayi, alih-alih kembali ke kantor.

Melihat baju-baju bayi yang lucu-lucu membuatku tidak bisa untuk mengabaikannya saja. Aku kalap, dan membeli beberapa pasang baju, sepatu, kaos kaki bayi, bahkan beberapa selimut. Aku yakin jika mama tahu hal ini, ia akan memarahiku karena kehamilanku saja belum kelihatan, namun daripada aku terus kepikiran barang-barang lucu itu ketika sampai di rumah, maka aku membeli beberapa saja untuk aku lihat sebelum aku tidur nanti. Mungkin bulan depan, aku akan mengajak Reinard untuk membeli peralatan tidur, dan pernak-pernik lainnya.

Setelah keluar dari gerai baju anak-anak, aku melipir ke gerai tas untuk melihat beberapa tas keluaran terbaru. Namun bukan tas yang aku dapatkan, melainkan bertemu dengan Rangga.

"Kamu sendirian Julia?" Tanya pria itu ketika kami saling berhadapan.

"Iya, tadi enggak sengaja mampir setelah ketemu klien. Kamu?" aku balik bertanya.

"Refreshing sih...pengen cuci mata aja gitu."

Aku terkekah menatap pria bertubuh tinggi dengan stelan casual tersebut.

"Udah mau pulang? Atau gimana kalau ngopi dulu?" tawar Rangga kemudian. "Kebetulan ada kopi recommended di tempat ini."

Aku berdeham. Ajakan ngopi dan menyesap latte atau cappuccino adalah hal paling menyenangkan, apalagi dengan stress yang mendera hidupku akhir-akhir ini. Namun aku kembali teringat bahwa kopi tidak baik untuk janin, apalagi di umur kehamilan muda seperti ini.

"Mungkin tidak dengan kopi." Sahutku.

Rangga mengerutkan kening. Matanya beralih pada karton pakaian bayi yang aku bawa. Sedetik kemudian pria itu tersenyum. Mungkin ia mengerti.

"Oh....jadi sekarang enggak minum kopi lagi nih?" godanya.

"Libur dulu dah." Sahutku. "Kita bisa minum bareng. Tapi aku bisa skip kopi dan menggantinya dengan minuman lain. Bagaimana?"

"Okeee....kebetulan matcha disana juga cukup enak."

"Setuju." Sahutku bersemangat. "Tapi, apa tidak aneh ketika kamu memiliki café sendiri, dan pergi ke café lain hanya untuk ngopi?"

Rangga mengangkat dagu. "Apanya yang aneh.bukankah aku juga perlu untuk mencari referensi agar cafeku tetap hits? Lagipula apa kamu pikir aku tidak jenuh minum kopi buatanku sendiri? Sekali-kali aku ingin menjadi pelanggan dan dilayani dengan baik. Karena rasa kopinya pasti akan berbeda, jika aku memperlakukannya dengan cara lain."

Aku tergelak.

"Oke....baiklah....anggap saja aku sedang menemanimu menjadi mata-mata di café orang lain?"

Rangga mengangguk. "Yaps.....Anggap saja begitu."

Kami berdua beriringan menuju café yang terletak paling ujung. Benar apa yang dikatakan Rangga, bahwa café ini memiliki minuman matcha yang enak. Aku mengira jika pria yang kini duduk sambil menikmati latte-nya ini sudah sering datang kemari.

"Sudah beberapa waktu aku tidak bertemu denganmu Jul. apa kamu sibuk?" Tanya Rangga setelah menyesap minumannya.

"Enggak sih, beberapa hari lalu aku pergi liburan dengan suamiku. Dan memang sering ke luar kota juga."

Rangga mengangguk-angguk.

"Suami kerja?"

"Iya, hari ini dia bilang ada operasi." Aku terdiam. Tiba-tiba saja terlintas dipikiranku untuk menceritakan masalah yang sedang aku hadapi bersama suamiku saat ini. Karena aku butuh teman curhat, dan menceritakan hal ini pada Reza maupun Eli adalah sebuah ketidakmungkinan. Kedua orang itu pasti akan dengan tegas membuat perhitungan dengan Reinard karena sudah membuatku sakit hati.

"Kamu punya sahabat sejak kecil Ngga?" tanyaku kemudian.

"Punya." Sahut Rangga sambil mengaduk-aduk minumannya. "Sampai sekarang malah jadi sahabat baik dan tak terpisahkan. Kami satu club sepak bola bareng dan beberapa kali dalam sebulan bersepeda bersama, dan nge-gym."

"Cewek maksudku."

Rangga menggeleng. "Enggak ada."

"Kenapa?"

"Karena kalau kita sahabatan dengan lawan jenis sejak kecil, kenangannya akan beda Jul. kalau enggak kedua belah pihak yang baper atau enggak bisa move on, mungkin salah satunya. Aku Cuma enggak mau, pasanganku menjadi tidak nyaman karena persahabatanku dengan seorang cewek sejak kami kecil. Ada sih temen cewek di kompleks perumahan, tapi enggak deket. Ya sebatas kenal aja. Emang kenapa sih?"

Aku menggeleng. Mengurungkan niatku untuk menceritakan apa yang sedang terjadi sekarang karena kalimat Rangga membuat jantungku mencelos turun ke dasar perut.

"Enggak, Cuma penasaran aja." Sahutku kemudian.

Aku terdiam beberapa saat, karena tiba-tiba perutku terasa kram lagi. Aku pikir ini akan terjadi seperti kemarin, dan hanya sementara. Tapi tidak tahunya justru semakin sakit.

"Astaga Julia. Kamu kenapa?!" seru Rangga panik ketika melihatku semakin pucat.

******* 

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang