"Tidak! Jangan....!"
"Tidaaak...Jangan...!"
"Jangan....aku mencintai dia!"
"Dia milikku!"
Aku terbangun dari tidur lelapku ketika suara teriakan itu menggema semakin nyaring di telingaku.
Aku terlonjak duduk, mendapati Reinard berteriak-teriak dengan mata terpejam. Wajah pria itu begitu ketakutan dan tidak tenang.
"Rei...Rei....bangun....!" aku menggoyang-goyangkan tubuhnya namun ia masih tak bergeming.
Merasa usahaku tidak berhasil, kupindahkan guling yang menjadi pembatas tempat tidur kami. Aku sedikit maju, menggoyang-goyangkan tubuh Reinard lebih keras lagi.
"Rei.....bangun!!!"
Seperti terkejut, pria itu langsung membuka matanya. Menatapku dengan nanar lalu menarikku ke dalam pelukannya.
Aku terdiam sejenak, hendak mendorong tubuhnya agar menjauh namun urung aku lakukan. Nafasnya yang turun naik terdengar menderu di telingaku. Badannya basah oleh keringat dan aku yakin jika sekarang kondisi Reinard tidak baik-baik saja. Kontras dengan kebiasaan Reinard yang begitu tenang dan dingin.
"Kamu kenapa Rei?" aku mengusap keringat di pelipisnya. Meskipun kondisi remang-remang, aku bisa melihat keringat mengalir dari sana.
Sudah kuduga, Reinard tak menyahut. Ia justru mengencangkan lengannya di pinggangku.
"Kamu enggak apa-apa kan Jul?" suaranya terdengar lirih dan serak.
"Aku?" kini aku yang terlihat bingung. "Aku baik-baik saja. Sejak tadi aku tidur di sampingmu dan kamu terus berteriak-teriak."
"Syukurlah...."
"Ha?" aku semakin tidak mengerti. Aku yakin jika Reinard belum sepenuhnya sadar bahwa sekarang ia sudah berada di dunia nyata. "Apa kamu mau minum? Bagaimana dengan air putih?"
Aku sudah hampir beranjak dari kasur, ketika tangan Reinard menarikku untuk tetap berada di dalam pelukannya. Seandainya saja saat ini Reinard melakukannya dalam keadaan baik-baik saja, mungkin aku tidak akan bisa menahan keinginanku untuk menciumnya. Namun karena saat ini kondisi Reinard yang setengah tidak sadar dan juga ketakutan, aku berusaha untuk memakluminya. Sifat alamiah manusia bukan jika ia amembutuhkan sebuah pelukan hangat ketika cemas? Anggap saja Reinard juga begitu.
"Aku tidak ingin minum Jul." Katanya. "Aku takut."
Aku menenggak saliva susah payah. Kalimat 'aku-takut' benar-benar menyika batinku. Bukankah seharusnya aku yang mengatakan hal tersebut jika dia hendak meninggalkanku sendirian di apartement seperti hari-hari biasanya?
"Baik...baik.... Aku tidak akan meninggalkanmu." Jawabku. "Tapia pa kamu tidak ingin kembali tidur?"
Karena pundakku kini sudah mulai pegal.
"Aku ingin tidur, tapi jangan pernah pergi dari kasur ini."
Aku mengangguk lantas membantunya kembali merebahkan diri diatas kasur. Ketika aku hendak sedikit menjaga jarak, kembali Reinard menarikku dan melingkarkan salah satu tangannya di pinggangku sedangkan kepalanya bersandar di dadaku.
Aku ingin mengartikan posisi ini dengan hal lain. Namun ketika melihat Reinard begitu nyaman, aku justru mengulum senyum, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran kotor di otakku yang datang di waktu yang sama sekali tidak tepat.
Perlahan kutepuk-tepuk punggungnya pelan, dan tak lama kemudian aku bisa merasakan hembusan nafas beratnya yang naik turun dengan teratur.
Reinard sudah kembali tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
ChickLitaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.