Setelah mama yang membuatku galau, Reza juga mengajakku bertemu dan mengatakan hal yang hampir mirip dengan yang mama katakan. Tumben pria kemayu itu tidak membelaku, dan mengatakan suatu hal dengan dewasa. Padahal biasanya ia akan sangat marah jika melihatku terluka. Apakah ini karena memang aku yang terlalu berlebihan?
"Jul, bukan Reinard yang membuat anak lo pergi. Tapi takdir Jul...." Reza menepuk pundakku. "Jangan menyalahkan Reinard dengan apa yang sudah terjadi."
Aku menatap gelas tehku dengan gamang. "Rez, semua enggak sesederhana seperti yang lo pikir."
"Tapi semua juga tidak seburuk yang lo anggap Julia sayang......" ia mengusap wajahku. "Anggap saja, perempuan bernama Rena itu mencintai suami lo, tapi belum tentu suami lo juga menyukainya bukan?"
Aku tidak menjawab.
"Jangan terlalu keras sama dia Jul. Gue tahu, dia juga sama tersiksanya kayak lo. Pikirkan, ia sekarang sendirian, merasa kehilangan calon anak adalah sesuatu yang menyakitkan, dan kini ditambah dengan keinginan lo mengajaknya bercerai. Apa lo pikir ia tidak akan serapuh itu Jul?"
Ya, mungkin apa yang Reza katakan benar.
"Apa yang harus gue lakuin Rez?" aku mendesah. Hatiku mulai sedikit luluh sekarang. Membayangkan Reinard sendirian di dalam kamar sambil menatap langit-langit saja sudah membuat jantungku teriris. Ia pasti kesepian dan sendirian. Ia tidak begitu dekat dengan orangtuanya seperti kedekatanku dengan mama-papa. Satu-satunya keluarga yang dekat dengannya adalah Marina, dan perempuan itu di luar negeri sekarang. Aku juga tidak yakin, apakah keluarga Reinard bahkan Marina mengetahui konflik rumah tangga kami sekarang.
"Jul.....temui dia. Perceraian bukan sesuatu yang harus lo pilih ketika hubungan lo sedang goyah. Tapi perbaiki, saling mengerti. Enggak ada hubungan yang akan baik-baik saja. Semua hal yang baik membutuhkan pengorbanan."
Aku menelan saliva susah payah. Tumben sekali kalimat Reza begitu terasa nyaman di hatiku. Rupanya dibalik tampangnya yang kemayu dan slengekan itu, Reza punya sisi dewasa yang luar biasa. Dan aku akui, jika aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
"Pikirkan semuanya dengan baik. Gue tahu lo, dan gue tahu kalau lo enggak akan salah dalam mengambil keputusan." Reza menepuk punggung tanganku yang berada di atas meja.
Aku mengangguk dengan senyum yang mengembang.
Setelah berpisah dari Reza, aku segera memacu mobilku menuju rumah sakit tempat dimana Reinard bekerja.
Aku sudah menelpon Wina dan ia mengatakan bahwa Reinard sedang berada di luar untuk makan siang sekarang.
Andai saja mama dan Reza tidak mengatakan hal yang membuat mata hatiku terbuka, mungkin sekarang aku sudah mengambil keputusan yang akan membuatku menyesal pada akhirnya. Sejujurnya, aku sangat mencintai pria itu. Berpisah dengannya beberapa minggu ini juga tidak membuatku lebih baik. Aku sering bermimpi tentangnya. Tentang kebahagiaan kami yang hampir saja lenyap. Namun, aku memang perlu memperbaiki semuanya. Aku sudah keterlaluan dengan Reinard, aku sudah membuatnya bersedih. Aku yakin sekarangpun ia tak bisa melakukan apapun dengan baik karena masalah kami.
Sampai di rumah sakit, aku mencari tempat yang pas untuk memarkir mobilku. Karena ku pikir memarkir mobil di basement hanya akan menyita waktu. Maka dari itu aku lebih memilih memarkir mobilku di depan lobi utama. Karena ruang kerja Reinard berada di lantai tiga. Aku hanya perlu menggunakan eskalator.
Aku tergesa menutup pintu mobilku, hendak berlari kecil masuk ke dalam rumah sakit ketika tiba-tiba saja langkahku terhenti. Senyum yang sempat tersungging di bibirku, langsung lenyap seketika. Kalimat mama dan Reza yang terngiang-ngiang di telingaku mengabur begitu saja dan hilang tak bersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin (Selesai)
Chick-Litaku menikah dengan pria yang mempunyai segudang rahasia di dalam hidupnya.