19

878 38 0
                                    


"Tumben datang ke rumah...." Sapa mama ketika aku muncul dari balik pintu. Wanita setengah abad yang masih kelihatan cantik itu tampak memakai apron.

"Ih...kedatangan anaknya kok mama malah ngomong gitu sih?" aku masuk ke dalam rumah lalu langsung menuju dapur. Dari depan pintu tadi hidungku mencium bau lezat dari arah dapur. Dan ternyata benar, mama sedang memasak semur daging.

"Wah aku datang tepat waktu nih." Kataku semangat. "Aku bantuin ya ma?" tanpa persetujuan mama, aku langsung mengambil pisau yang tergeletak di atas talenan. Aku berniat membantu mama mengiris bawang merah.

"Enggak usah. Kamu duduk aja." Mama menarik tanganku lalu menyuruhku duduk di kursi makan. "Makanan itu jadi enggak enak kalau kebanyakan tangan yang pegang." Padahal aku tahu bahwa mama tidak percaya dengan kemampuan memasakku.

Aku mencibir. Dari mana juga mama mempercayai mitos tidak berdasar seperti itu. Namun karena tidak ingin berdebat, aku akhirnya mengalah dan duduk anteng di kursi sambil mengupas jeruk. Ya....ini lebih mengasyikkan daripada tanganku harus beraroma bawang yang menyengat.

"Tumben datang Jul. Enggak kerja?" Tanya mama yang masih berdiri menghadap kompor dan masakannya.

"Libur ma. Akhir pekan. "sahutku sambil memasukkan seulas jeruk ke dalam mulutku. "Papa mana?"

"Masuk kantor." Sahut mama acuh tak acuh. Ia tampak mengiris bawang yang tadi sempat ingin aku iris.

"Rosa?" tanyaku lagi.

"Tuh dikamar. Lagi nge-halu sama oppa-oppa virtualnya."

Aku terkikik. Rosa memang tidak pernah berubah. Bahkan aku rasa ia semakin berlebihan. Beberapa kali ia meng-klain bahwa oppa koreanya itu adalah suaminya. Padahal jika dipikir, si oppa itu apa tahu ada cewek modelan Rosa hidup di dunia ini?

"Reinard kemana Jul?" terdengar mama mematikan kompor, lalu berjalan ke arahku. Menggeser kursi lalu duduk di sampingku. "Kok enggak diajak aja sih."

Itu masalahnya. Aku datang memang sengaja tidak mengajak Reinard. Sejujurnya aku masih kesal dengan apa yang terjadi semalam. Meskipun dia berjanji akan mengatakan hal yang berkaitan dengan pengemis itu, namun aku masih kesal karena ia tidak bisa langsung jujur. Bukankah aku istrinya? Aku berhak tau apa yang terjadi padanya, entah masa lalunya atau bahkan hidupnya sekarang.

"Dia ada panggilan masuk dari rumah sakit tadi." Jawabku tak sepenuhnya bohong. Karena memang tadi pagi setelah kami pulang dari hotel, ia mendapatkan telepon dan bergegas pergi. Kemana lagi kalau bukan on call dari rumah sakit.

"Yaaah...padahal mama kangen sama mantu mama."

Aku tak menjawab. Sibuk dengan jeruk manisku yang begitu menggoda air liurku.

"Jul, gimana. Udah berhasil apa belum?"

"Berhasil apa?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. Padahal aku tahu apa yang mama maksud.

"Yaaaah Jul. kira-kira mama sama papa bakalan dapet cucunya kapan?" mama menatapku dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kasihan papamu udah tua, dia pengen cepet dapet cucu biar perusahaan bisa segera ia kasih ke Reinard."

Aku meletakkan sisa jerukku di atas meja. Lalu menatap mama. Sejak dulu, aku penasaran kenapa papa begitu ngebet ingin memberikan perusahaan kepada Reinard, bahkan ketika Reinard tidak mungkin bisa melakukannya karena ia seorang dokter.

"Ma, Reinard itu dokter. Bagaimana bisa dia memegang perusahaan. Basicnya dia itu ngurus pasien ma, bukan ngurusi perusahaan."

"Ya jaman sekarang kan bisa belajar otodidak Jul. Reinard pinter, mama yakin dia juga gak akan belajar terlalu lama untuk masalah bisnis." sahut mama enteng.

"Mending papa kasih nanti ke suaminya Rosa deh." Kataku acuh tak acuh. "Kenapa harus Reinard coba."

"NGawur! Rosa masih kecil." Sahut mama. "Lagian, papa udah bener-bener jatuh cinta sama Reinard Jul. dulu sebelum dikenalin sama kamu, papa udah bilang sama mama kalau Reinard bakal dijodohin sama kamu, dan perusahaan akan jadi milik kalian."

Aku mencebik.

"Idih, percaya banget sama Reinard."

"Gimana enggak percaya. Lihat aja suamimu itu orangnya sopan banget, udah baik lagi."

Aku memutar bola mata malas. Entah kenapa orangtuaku begitu mengangumi Reinard dari segala sisi. Bahkan dengan tenang menyerahkan anak perempuan pertama di keluarga mereka untuk pria itu, meskipun akhirnya aku juga kesengsem sama pesonanya.

****

Setelah makan siang di rumah, aku kembali pulang ke apartement. Niatku ingin membersihkan rumah karena semenjak pulang dari Paris beberpa waktu lalu, aku belum sempat bersih-bersih.

Reinard belum pulang, karena apartement masih sepi seperti biasanya. Setelah berganti baju dengan celana training pendek dan kaos oblong, serta menggelung rambutku, aku segera turun ke lapangan. Pertama aku membersihkan meja, kursi dan menge-lap semuanya. Kertas-kertas yang sekiranya tidak terpakai, aku buang semua ke tempat sampah. Lalu aku menyapu seluruh ruangan dan berakhir dengan mengepel semua lantai. Keringat mulai membasahi tubuhku meski AC aku hidupkan. Lumayan, bakar kalori.

Setelah rumah beres, hal terakhir yang akau lakukan adalah mencuci baju. Terakhir mencuci adalah tiga hari lalu dan itu dilakukan Reinard. Aku biasa menge-cek kantong-kantong di baju ataupun celana sebelum kumasukkan ke mesin cuci. Aku tidak mau sisa tisu atau kertas justru membuat kotor baju-baju yang berwarna hitam.

"Reinard, kenapa enggak dibuang sih?" gerutuku ketika menemukan lipatan kertas di dalam saku jaket suamiku. Jaket itu baru kemarin aku lihat di rumah, mungkin selama ini selalu ada di dalam mobil.

"Ini apa....?" desisku sembari membuka lipatan kertas rapi yang akhirnya aku tahu itu adalah struk belanja.

Aku mengerutkan alis, melihat betapa banyaknya Reinard mengeluarkan uang untuk membeli pizza dan burger. Tapi bukan hal itu yang membuatku terkejut, melainkan alamat restoran cepat saji itu berada di jalan Braga, Bandung. Tiba-tiba perutku terasa mulas, aku ingat beberapa waktu lalu Arian menelponku dan melihat Reinard di Bandung. Dan tanggalnya pun sama dengan Arian yang menelponku waktu itu.

Tergesa, aku mengambil ponsel di atas meja kamar, untuk segera menghubungi Arian.

"Halo Jul..." sapa pemuda itu ketika ia baru saja mengangkat telepon.

"Yan, lo masih inget nggak jaket yang dipakai Reinard waktu kamu bilang lihat dia di Bandung?" tanyaku cepat tanpa basa-basi.

"Masih sih, emang kenapa?"

"Cuma tanya. Cepet, jaketnya warna apa?"

"Kalau enggak salah sih, warna navy."

Hatiku mencelos seketika, mataku beralih pandang pada jaket yang masih berada di tanganku. Berwarna navy, persis dengan apa yang dikatakan Arian.

"Jul, emang kena—"

Belum sempat Arian menyelesaikan kalimatnya, aku sudah menutup telepon terlebih dahulu. Tidak ada waktu menjelaskan ini-itu pada Arian yang pati akan berujung dengan dia yang ngember ke semua orang.

Kepalaku pusing mendadak dan kedua tumitku terasa lemas. kujatuhkan tubuhku di sofa tanpa tenaga. Ada apa sebenarnya dengan Reinard?


****

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang