Bagian 11

1.2K 56 0
                                    

Daniel tiba-tiba saja sudah duduk di depanku ketika aku baru saja membuka laptop, hendak meneruskan pekerjaanku. Jarak kantorku dan kantornya yang bisa dijangkau dengan lima menit berjalan kaki memudahkan pria berambut ikal itu datang—pergi sesuka hatinya . Seperti sore ini, ketika aku tengah menunggu Reinard di lobi sambil bermaksud menyelesaikan beberapa pekerjaan, dia malah mengangguku.

"Ngapain?!" sapaku sewot. Seharusnya dia menjauh setiap kali aku memperlakukannya tidak manusiawi seperti ini.

"Nggak ngapa-ngapain, tadi cuma lewat dan enggak sengaja lihat kamu di sini." Sahut pria itu santai, tidak peduli dengan ucapan sengakku tadi.

"Jadi enggak ada maksud apa-apa kan?" tanyaku lagi tanpa menatap matanya. Jemariku sibuk membuka folder laptop.

"Enggak."

"Oke, lo boleh pergi."

"Eeeh.....kok gitu sih Jul?" bukannya pergi Daniel malah bertopang dagu di depanku. "Gue kan pengen ketemu sama sahabat gue."

Aku mendongak.

"Siapa yang lo maksud sahabat?"

"Lo."
aku tertawa hambar. "Sayangnya selama ini gue enggak pernah nganggep lo sahabat. Sama sekali—enggak pernah!"

Daniel mendengus.

"Please....terlalu lama menyimpan dendam itu enggak baik Jul."

Aku ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena ponselku tiba-tiba bordering. Nama 'suami' menari-nari indah di atas layar ponselku.

"Iya...halo...." Aku mengangkat telepon itu tanpa peduli dengan Daniel yang masih duduk memperhatikanku.

"Aku hampir sampai."

"Iya, aku sudah menunggumu di lobi sekarang."

"Kita langsung pulang ke rumah papa ya?"

"Papa?" aku mengerutkan alis. "Maksud kamu?"

"Papa kamu. Tadi telepon dan minta kita datang makan malam."

Aku terdiam sejenak. Sejak kapan papa dan Reinard begitu dekat sampai-sampai bukan aku yang ditelepon untuk meminta kami datang ke rumah.

Sebenarnya aku malas pulang, apalagi untuk makan. Pasti papa punya suatu hal yang ingin disampaikannya di meja makan—seperti biasa. Bahkan aku ingat, waktu papa berniat menjodohkanku dengan Reinard, pembukaan percakapan itu juga dimulai di meja makan. Aku heran, apakah fungsi makan bersama selain untuk mengisi perut adalah untuk menyampaikan masalah penting?

"Baiklah...aku tunggu." Aku mematikan ponselku lantas kembali sibuk dengan laptopku. Kembali mengabaikan Daniel yang masih menatapku.

"Gimana pernikahan lo Jul?" tanyanya kemudian setelah beberapa detik kami sama-sama diam.

"Baik. Seperti yang lo lihat?" jawabku acuh.

"Lo yakin?"

"Yang ngejalanin gue, lo kenapa sih tanya itu terus am ague?" sahutku kesal.

"Lo sebenernya udah kenal belum sih sama suami lo?"

Aku mengangkat dagu, lama-lama aku ingin sekali menyumpal mulut pria di depanku ini dengan sepatuku.

"Kalau enggak kenal, mana mungkin gue mau nikah sama dia!"

"Baguslah, gue ikut seneng kalau kalian beneran saling mencintai."

Aku hampir saja berdiri dan mengusir Daniel dari sini ketika suara panggilan Reinard mengalihkan segalanya.

Pria itu sudah berdiri tak jauh dariku. Aku melihat Daniel tersenyum simpul pada Reinard—ya semacam basa-basi perkenalan, namun aku lihat Reinard tak bergeming. Ia hanya menatap Daniel sekilas, sebelum akhirnya kembali bergumam 'ayo' padaku. Bagus! Aku suka cara Reinard memperlakukan Daniel seperti itu. Manusia semacam Daniel ini memang tidak perlu dibaik-baikan, karena ujung-ujungnya pasti ngelunjak.

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang