32

822 44 0
                                    


Aku berlari di koridor rumah sakit tanpa memperdulikan banyak pasang mata yang menatapku dengan heran. Pikiranku kacau, dan aku tidak bisa memikirkan apapun selain bisa segera menemui Reinard dan mengetahui bagaimana kondisinya.

Setengah jam yang lalu, aku langsung melompat dari ruang kerjaku, dan meninggalkan Rosa sendirian ketika sebuah telepon dari nomor tak dikenal yang ternyata dari Wina—sang koas di rumah sakit tempat dimana Reinard bekerja mengabarkan bahwa keadaan Reinard begitu buruk.

Aku tidak yakin dengan maksud Wina 'yang begitu buruk', intinya suamiku itu sekarang tengah dirawat di rumah sakit dengan wajah babak belur. Babak belur karena apa dan bagaimana keadaannya sekarang, aku sedang dalam perjalanan untuk memastikan.

"Mbak, kamar dokter Reinard nomor berapa ya?" tanyaku ketika berhenti di depan counter perawat. Nafasku naik turun, seperti habis lari marathon. Bahkan perawat di depanku menatapku dengan aneh ketika melihatku berantakan seperti ini.

"Paling ujung mbak. Nomor delapan."

"Terimakasih." Kataku dan langsung pergi begitu saja. Kali ini aku tidak berlari seperti tadi, hanya langkahku saja yang ku percepat. Aku bernafas lega dan menghentikan langkah sebentar ketika sudah berada tepat di depan pintu kamar nomor delapan tersebut. Pintu geser yang berwarna cokelat itu tampak hening, seolah tidak mengijinkanku untuk masuk dan melihat keadaan suamiku.

Setelah beberapa kali mengambil nafas, aku menggeer pintu itu perlahan.

Aku pikir, Reinard sedang sendirian, tapi ternyata di sana ada Wina. Melihat kedatanganku, gadis itu langsung menatapku dengan sinis. Seolah aku adalah rival abadinya sepanjang masa, seolah aku adalah wanita yang merebut Reinard darinya.

"Kamu kenapa?" tanyaku sambil melangkah pelan mendekati Reinard, tanpa peduli dengan tatapan Wina. Mataku fokus pada Reinard yang tergolek lemah di tempat tidur dengan beberapa bagian wajahnya yang bengkak. Pikiranku yang hiperbola tadi bahkan membayangkan bahwa Reinard tergolek dengan kaki atau tangan menggunakan gips dan ia tidak sadar. Tapi kenyataannya, aku yakin bahwa Reinard masih bisa berlari keliling lapangan tujuh kali saat ini.

"Makanya kalau punya suami itu di jaga!" bukannya Reinard yang menjawab, melainkan Wina. Apa-apaan sih bocah ini? Sikapnya sudah mirip seperti orangtua Reinard dibandingkan seniornya di kedokteran.

Aku meliriknya dengan kesal, bersiap ingin membalas kalimatnya namun tiba-tiba tangan Reinard memegang lenganku.

"Win, bisa tinggalin kami sendirian enggak?" Reinard menatap Wina dengan lemah.

"Tapi dok...."

"Ini masalah suami-istri Win." Tegas Reinard. "Kamu balik kerja lagi ya.....dan....makasih sudah ngerawat saya." Ia tersenyum samar.

Wina mendengkus kesal. Aku bisa melihatnya begitu kecewa dengan kalimat Reinard. Namun apa yang bisa dilakukannya selain menurut. Secara akulah yang berhak atas Reinard, bukan gadis kecil ini.

"Baik dok. Saya permisi." Wina akhirnya meninggalkan kami berduaa di dalam kamar.

Untuk beberapa saat kami saling hening dengan posisi yang sama. Aku yang berdiri di sisi tempat tidur dengan salah satu tangannya masih memegang pergelanganku dengan erat, sedangkan mata kami saling mengunci. Ingin aku berpaling, tapi aku terpaku. Tak bisa menghindar sedikitpun.

Aku akui, bahwa aku rindu suamiku.

"Kamu kenapa?" tanyaku pada akhirnya.

"Berantem."

"Berantem?" aku menautkan alisku. "Sama siapa? Daniel lagi?'

Reinard menggeleng.

"Sama pak Anton."

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang