21

805 33 0
                                    


'Happy wedding Dimas dan Nika'

Tulisan itu terpampang besar di depan pintu masuk ballroom hotel dimana aku dan Reinard hadir di acara resepsi tersebut. Di bawah tulisan itu, ada banyak foto pasangan pengantin tersebut di berbagai tempat di penjuru Indonesia. Mulai dari Wakatobi, Pulau senggigi, Jogjakarta bahkan di bawah tugu Monas. Terlihat jika pasangan pengantin yang tampak berbahagia tersebut menyukai hobi yang sama yaitu travelling.

Reinard terus menggamit tanganku ketika memasuki pintu dan akhirnya bertemu dengan pasangan pengantin tersebut. Dimas adalah teman sekelas Reinard ketika mereka sama-sama kuliah di fakultas Kedokteran sedangkan Nika adalah mahasiswa di kampus yang sama tapi berbeda jurusan.

"Kamu kok enggak ngomong sih Rei kalau nikah?" Dimas menepuk bahu Reinard. "Kan aku bisa datang sama Nika."

"Akh, kemarin terburu-buru." Sahut Reinard dan otomatis membuat Dimas dan Nika berpandangan. Aku tahu kalau mereka tidak bisa mencerna kalimat Reinard yang terkesan ambigu itu. Mungkin mereka mengira kalau aku hamil duluan, makanya menikah dengan terburu-buru.

"Emm....terburu-buru karena kita menikah karena dijodohkan orangtua." Sahutku jujur dan jawabanku itu membuat Dimas dan Nika lebih kaget.

"Jadi..." Nika menatapku dan Reinard bergantian.

"Tapi aku cinta kok sama dia." Reinard merangkul lenganku dengan possesif dan aku begitu bahagia mendapatkan perlakuan seperti ini darinya.

"Cieee....sejak kapan sih Rei kamu bisa ngomong sefrontal itu tentang cinta. Biasanya, kamu udah mirip batu kalau berhubungan tentang wanita." Cebik Dimas.

Aku tersipu malu sedangkan Reinard terlihat tidak begitu terpengaruh. Terkadang Reinard yang frontal dalam mengungkapkan perasaannya membuat jantungku naik-turun tidak karuan.

"Emm...dulu gimana Reinard waktu kuliah?" tanyaku pelan sembari merapatkan tubuhku pada suamiku.

Dimas tertawa. "Dia banyak fansnya Jul. untung aja, istriku enggak termasuk. Kalau iya, aku bakalan patah hati berat." Nika menepuk lengan Dimas sambil tertawa.

"Masa?" aku mulai tertarik. Bagaimanapun bagi seorang wanita, masa lalu pasangan adalah hal yang harus diketahui. Sebenarnya aku selalu penasaran dengan Reinard di jaman dulu, namun aku tak pernah berani bertanya. Dia tidak pernah cerita dan seolah menutupi semuanya.

"Emm....kamu mau jawaban jujur atau bohong Jul?" goda Dimas. "Sejujurnya, kalau tentang masa lalu Reinard, enggak habis kalau cerita cuma sebentar, mengingat bagaimana populernya dia waktu kuliah."

"Dim....jangan mulai deh." Reinard mendesis lirih lalu menutup telingaku dengan kedua telapak tangannya. "Sayang...enggak usah di dengerin ya. Dimas banyak ngaconya."

"Akh, nanggung kalau Cuma denger setengah-setengah." Aku melepas tangan Reinard, mataku kembali teralihkan pada Dimas. "Oke. Aku siap mendengarkan."

Dimas justru tertawa.

"Tenang Jul, suami kamu ini bukan playboy kok. Meskipun banyak cewek yang nguber-nguber dia, tapi aku lihat dia berani bawa wanita di depan umum ya Cuma kamu." Katanya yang membuat hatiku membuncah lega. "Dia itu hobinya ngilang, bukan pacaran."

"Ngilang?" tanyaku tidak mengerti.

"Iya, kadang seharian dia dicari'in enggak ada dimana-mana."

Aku mengulum senyum. Aku pikir, sampai sekarang pun Reinard masih punya hobi suka ngilang itu. Dia bisa seharian di rumah sakit dari pagi sampai malam.

Obrolan makin seru ketika beberapa teman kuliah Reinard dan Dimas ikut bergabung. Setelah cukup lama ngobrol seputaran masa jaman kuliah dan pekerjaan, Reinard mengajakku untuk beralih tempat karena masih banyak tamu yang ingin bertemu pasangan pengantin itu.

Kami memilih menepi di pinggir kolan renang yang tidak seramai di dalam ballroom tadi untuk menghabiskan waktu sebelum acara puncak dimulai.

"Aku ambilin minum dulu ya?" Reinard mengelus pipiku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil.

Sementara Reinard mengambil minum, aku berjalan perlahan menyusuri sebuah papan panjang berisi foto-foto Dimas dan Nika. Sepertinya itu foto perjalanan cinta mereka berdua sepanjang bersama karena ada foto ketika Dimas dan Nika menggunakan almamater kampus, acara wisuda mereka, dan foto-foto lain.

Braaaaak!

Sedang asyik dengan foto kenangan Dimas dan Nika, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara benda-benda jatuh menyentak beriringan dengan beberapa tamu yang berlarian kearah sumber suara.

"Kenapa mas?" tanyaku pada salah seorang waiters yang berlari mendahuluiku.

"Ada yang berkelahi mbak." Jawab waiters itu tanpa menoleh ke arahku.

Aku bergegas menuju sumber keributan. Ingin tahu apa yang terjadi di sana. Ketika aku sampai, beberapa orang sudah berkerumun. dari celah-celah manusia yang saling berjejer, aku melihat dua orang yang saling memukul. Yang satu pria dengan jas putih dan yang satu pria dengan jas warna....hitam...

Tunggu!

Aku kenal pria dengan jas warna hitam itu.

"Reinard!" pekikku nyaring menyibak kerumunan. Di belakangku, ada Nika dan juga Dimas yang mengikuti.

"Rei....Rei.....sudah....." aku menarik lengan Reinard yang sedang mencengkeram kerah kemeja Daniel.

Apa?! Kenapa ada Daniel di sini?

Kenapa mereka bertengkar?

"Rei...sudah..." Aku mendorongnya ke pinggir. Kepalaku menoleh pada Daniel yang terlihat berantakan dan kini sedang mengatur nafasnya yang terengah. Pria itu menatap nyalang ke arahku.

"Kalian kenapa?! Ini acara orang lain loh....!" Seruku kesal lantas menoleh pada Dimas dan Nika lalu mengucapkan banyak permintaan maaf padanya. Aku dan Dimas lantas mengajak Reinard ke halaman belakang.

"Rei....Kamu enggak apa-apa kan?" tanya Dimas ketika kami bertiga sudah berada di ruang belakang hotel.

Reinard tidak menjawab. Wajahnya masih terlihat tegang. Baru kali ini aku melihat Reinard dengan mimic muka seperti itu. Penuh dengan amarah yang belum terlampiaskan sepenuhnya.

"Wajah kamu luka-luka Rei....." desisku pelan dengan khawatir.

"Aku enggak apa-apa." Sahut Reinard, ia mengelus pipiku lembut.

Aku menoleh kearah Dimas. "Kok Daniel ada di sini Dim?" tanyaku kemudian, penasaran kenapa tiba-tiba ada sosok Daniel diantara kerumunan para tamu yang hadir malam ini.

"Dia salah satu anggota keluarga Nika Jul. sepupu jauhnya gitu. Aku juga baru bertemu dengannya dua kali ini." Sahut Dimas. "Kalian saling mengenal?"

"Iya...." Anggukku. "Dia teman SMA-ku waktu itu."

Aku tidak menyahut. Sejujurnya aku masih menyimpan banyak pertanyaan tentang masalah yang membuat Reinard dan Daniel berkelahi seperti tadi.

"Dim, sorry aku sudah merusak pestamu." Reinard yang sejak tadi diam angkat bicara.

Daniel tersenyum. "Enggak apa-apa. Di suatu acara, hal-hal semacam itu biasa terjadi. Aku hanya terkejut melihatmu bisa adu jotos seperti itu."

Reinard hanya mengulas senyum kecil.

"Karena kondisiku tidak begitu baik sekarang, aku ingin pulang terlebih dahulu. Maaf ya sudah membuat keributan di pesta pernikahanmu. Kalau pihak hotel minta ganti rugi, kamu hubungi aku."

Dimas mengangguk.

"It's OK. Itu bukan masalah besar." Ia menepuk lengan Reinard perlahan. "Jul, mending kamu yang nyetir." Pria itu mengedik ke arahku dan ku jawab dengan anggukan kecil.

Ku ambil kunci mobil dari saku celana Reinard. "Aku yang nyetir ya?" bisikku. "Kondisimu kurang begitu baik."

"Iya." Jawab Reinard tanpa penolakan.

Setelah berpamitan pada Dimas dan menitip salam pada Nika, akhirnya aku beranjak meninggalkan pesta pernikahan Dimas dengan seribu satu pertanyaan.

***** 

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang