59

817 46 0
                                    


"Maksud kamu apa Rei?" tanyaku dengan suara yang masih terdengar datar. Aku berusaha untuk tak tersulut emosi dengan apa yang baru saja Reinard ucapkan.

Aku hanya berharap, Reinard salah bicara atau aku yang terlalu berfikir berlebihan, mengingat bahwa aku selalu sensitive setiap kali membicarakan Rena.

"Kamu bilang tidak mengijinkan Rena untuk tinggal sama kita kan Jul? jadi aku bermaksud untuk membelikannya apartement agar ia bisa tinggal disana setelah pulang dari rumah sakit." Jawab Reinard.

"Jadi, maksud kamu.....Rena kamu beli'in rumah atas nama dia sendiri begitu?!" suaraku meninggi, sudah tidak bisa menahan apa yang bercokol di benakku. Harapanku bahwa Reinard salah berucap sirna sudah. Karena kenyataannya, ia sudah membelikan perempuan itu sebuah apartement.

Reinard mengangguk. "Aku tidak mungkin bukan membiarkannya tinggal di panti bersama anak-anak lain. Rena butuh tempat yang nyaman, jauh dari kebisingan dan tentu saja tempat yang baik untuk kesehatannya."

"Iya tapi tidak dengan membelikan dia sebuah tempat tinggal bukan?!" seruku penuh emosi. Aku hanya berharap orang di luar ruangan ini mendengar teriakanku.

"Jadi mau bagaimana lagi Jul? aku tidak bisa membiarkannya hidup dengan tidak nyaman seperti itu."

Aku tidak segera menyahut. Andai saja Reinard tahu apa yang perempuan itu minta dariku seminggu yang lalu, apakah suamiku masih akan bersikeras membelikannya rumah seperti ini?

"Kenapa tidak kamu nikahi saja dia Rei?" tanyaku pada akhirnya dengan suara lemah. Aku ingin menangis sekarang, mataku terasa panas. Kupindahkan pandanganku pada plastic sisa makan siang yang masih berada di atas meja. Kehangatan kami beberapa waktu yang lalu tiba-tiba lenyap begitu saja. Aku begitu merasa asing dengan pria di depanku ini sekarang. Rasanya sama seperti dulu, waktu kami baru saja menjadi suami istri.

"Jul, apa yang kamu katakan. Aku sudah bilang kan, aku hanya mencintai kamu." Reinard maju selangkah berusaha untuk meraihku. Tapi aku mundur, dengan perasaan kecewa yang tak bisa kututupi.

"Rei.....sepertinya aku memang tidak mengerti dan tidak akan pernah mengerti dengan apa yang kamu pikirkan." Kataku dengan sebutir air mata yang luruh di pipi.

"Jul.....aku tidak bermaksud menyakitimu." Reinard menatapku dengan sendu. "Sekali ini saja, mengertilah aku Jul."

Aku mendongak, menatapnya dengan tegas. "Kurang mengerti bagaimana Rei? Coba kamu pikir selama ini apa yang tidak aku mengerti tentang kamu. Bahkan aku mencoba mengerti dengan semua kebohonganmu, hubunganmu dengan Rena dan tentang rahasia masa lalumu. Lantas apa aku juga harus mengerti tentang keinginanmu membelikannya rumah? Apalagi kamu sama sekali tidak berdiskusi denganku mengenai masalah ini."

Reinard tidak menyahut. "Julia...."

"Kamu nyakitin aku Rei, dan anak kita." Aku berbalik arah, hendak meninggalkannya karena perasaanku benar-benar sudah sesak sekarang. Aku butuh udara segar untuk bernafas.

Sebelum aku benar-benar menutup pintu ruangan itu, aku berhenti sejenak. "Aku tidur di rumah mama. Enggak usah nyusul." Kataku kemudian berlalu pergi. Meninggalkan suamiku yang masih mematung menatapku.

*******

Aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah mama, melainkan kembali ke kantor. Aku butuh tempat untuk menyendiri, berfikir dan menangis. Dari balik jendela ruang kerjaku, aku menatap hiruk pikuk kendaraan di luar sana. Begitu monoton memang, namun aku bisa sedikit terdistraksi.

"Mbak Jul, enggak pulang?" Tanya Fitri dari depan pintu. Ia sudah terlihat menyelempang tasnya bersiap hendak pulang. "Sudah sore lho."

Aku baru sadar jika senja sudah mulai merangkak naik. Lampu-lampu kota sudah mulai dinyalakan.

"Oh.....sebentar lagi Fit. Kamu duluan aja." Sahutku tanpa beranjak dari tepi jendela.

"Yaudah....aku pulang ya mbak. Jangan lupa makan malam yah....." pungkas Fitri dan hanya ku balas dengan lambaian selamat tinggal.

Sepeninggal Fitri, aku kembali larut dengan pikiranku. Aku mencoba mencari suatu alasan rasional agar bisa menerima keputusan Reinard dan tidak menyalahkannya. Namun setiap kali aku mencoba, selalu saja otakku tak bisa menerima itu semua. Seharusnya, ia meminta pertimbanganku untuk mengambil keputusan, apalagi membeli sebuah apartement. Meskipun aku tahu ia mempergunakan uang pribadinya untuk itu, bukankah seharusnya ia tetap meminta persetujuanku? Aku istrinya, dan aku berhak untuk tau apapun yang suamiku lakukan.

Aku baru beranjak dari tempatku ketika jerit telepon dari mama mengurai sepi.

"Halo mama....." sambutku.

"Julia.....kamu dimana?" Tanya mama dari balik telepon. "Reinard tadi kesini nyari kamu, tapi kamu enggak ada. Kalian enggak bertengkar kan? Enggak terjadi sesuatu kan dengan kalian?" serentetan pertanyaan itu meluncur dengan cepat dari balik telepon, bahkan mama sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk menjawab.

"Reinard masih disitu?" aku balik bertanya.

"Udah pulang Jul, tapi dia pesen sama mama kalau kamu jawab telepon mama, dia suruh ngabarin. Kamu dimana?" ulang mama.

"Di kantor ma."

"Kalian enggak lagi berantem kan?"

Aku terdiam. Sangat sulit rasanya membohongi mama akan hal ini dan sulit juga rasanya untuk tak menceritakan beban yang ku alami beberapa waktu terakhir padanya. Aku butuh seseorang untuk berbagi, namun aku tidak yakin jika mama akan memberikan solusi terbaiknya untukku. Aku hanya tidak mau mama marah kepada suamiku.

"Ma....nanti malem Julia tidur di rumah lagi ya?" pintaku. "Tapi jangan bilang Reinard kalau sekarang Julia di kantor. Bilang saja kalau Julia udah pulang dan nginep situ."

"Tapi jul—"

"Please ma, sekali ini aja. Yaaa....ya ma ya......" ucapku dengan memohon.

Ku dengar mama menghela nafas pelan. "Ya udah....kamu cepetan pulang kalau gitu gih. Pamali orang hamil jam segini di luar rumah."

"Iya ma.....sampai ketemu di rumah ya." Aku menutup telepon, lalu bersiap-siap untuk segera pulang ke rumah mama.

*****

Tengah malam aku terbangun, ketika merasakan perutku seperti diremas-remas. Aku merintih di keremangan malam, hendak memanggil Reinard tapi aku baru ingat jika sekarang aku sedang berada di rumah mama dan tidur sendirian.

Dengan susah payah, aku meraih sakelar lampu yang berada di samping tempat tidur. Setelah meraba-raba, akhirnya aku menemukan sakelar tersebut dan sedikit merasa lega ketika suasana kamarku sedikit lebih terang.

Aku kembali meringis ketika perutku kian terasa sakit. Pikiranku bergejolak, apa terjadi sesuatu dengan kandunganku? Kemarin-kemarin aku memang merasakan kram seperti ini, namun tak separah ini. Kram itu bisa kuatasi dengan menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan sambil merileks-kan tubuh. Tapi yang terjadi sekarang, justru aku semakin tidak kuat. Bahkan beberapa titik keringat mulai muncul di pelipisku.

Aku berniat untuk bangun dan mengambil air minum di dapur. Namun ketika menyingkap selimut, betapa terkejutnya aku ketika melihat darah segar merembes diantara sepreiku yang berwarna biru muda tersebut.

Jantungku serasa berhenti berdetak, perasaanku tidak karuan. Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan anakku.

"Mama.....papa.....!" teriakku.

"Maaa....papa....Rosa....!" kembali aku berteriak memanggil keluargaku. "Ma....pa.....!"

Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara derap langkah kaki menuju ke kamarku.

"Ada apa Jul?" pintu terbuka dan papa sudah berdiri di depan pintu, disusul mama kemudian Rosa—adikku.

"Maaa.....!"Aku menangis sambil menahan perutku yang semakin bergejolak.

"Astaga ma! Mbak Julia perdarahan!" teriak Rosa sambil menunjuk sepreiku.


******

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang