16

1K 43 0
                                    


"Pagi...." Sebuah suara menggema di telingaku ketika aku baru saja membuka mataku pagi ini.

Aku mengulum senyum, sedikit malu namun juga begitu bersemangat. Reinard masih berada di sampingku, menatapku dengan tangan menyangga kepalanya dan menghadap ke arahku.

"Bagaimana tidurmu semalam?" tanyanya lalu mengusap rambutku.

Aku tertawa kecil. Aku tahu jika dia hanya berbasa-basi, pasalnya kami tidur saling memeluk setelah apa yang terjadi semalam.

"Sangat nyenyak." Aku menggeser badanku lalu memeluk tubuh suamiku. Kini aku benar-benar merasa memiliki Reinard seutuhnya. Bukan hanya memilikinya sebagai suami di status buku nikah dan kartu keluarga, namun juga memiliki tubuh dan juga hatinya.

"Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?" Tanya Reinard kemudian.

Aku mendongak, menatap matanya yang menatapku.

"Apa?"

"Aku mencintaimu." Reinard mengecup keningku perlahan dan secara bersamaan hatiku terasa hangat. Sehangat sinar matahari di kota Paris pagi ini, yang penuh dengan cinta.

"Aku tidak pernah mendengar kamu menggombal, dan rasanya aneh." Aku tertawa, menyusupkan wajahku di dada Reinard.

"Heeeei...." Reinard memeluk erat tubuhku. "Mulai hari ini kamu akan mendengar gombalanku setiap pagi Julia."

"Benarkah?"

"Iya." Sahut suamiku mantap. "apa kamu bersedia?"

"Sangat!" aku mengecup bibirnya lembut.

"Oh ya, kita masih ada satu hari di Paris." Reinard mengalihkan pembicaraan. "Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat?"

Aku berfiki sejenak, hendak kemana aku hari ini. Tiba-tiba aku teringat jika ingin sekali pergi ke Ponts De Art, memasang gembok cinta yang terukir namaku dan Reinard di sana.

"Sebenarnya, sejak kemarin aku ingin pergi ke suatu tempat." Ungkapku.

"Kemana?" Reinard mengusap-usap pipiku.

"Ponts De Arts." Sahutku mantap. "Aku ingin....em.....memasang gembok....." ragu-ragu aku mengatakan itu. Takut jika Reinard tidak setuju dengan ide-ku. Aku tahu jika suamiku adalah manusia yang sangat rasional, ia belum tentu percaya dengan takhayul-takhayul semacam itu.

"Boleh. Aku juga ingin." Sahutnya enteng.

"Benarkah?" aku melebarkan pupilku. "Kamu mau melakukan hal itu denganku?'

"Tentu. Apalagi istriku yang meminta."

Aku tertawa sumringah. "Terimakasih suamikuuu....!" Aku memeluknya dengan begitu erat.

*****

Biasanya, aku selalu sendirian pergi ke Paris. Dan selama itu aku menikmatinya. Berjalan-jalan di Ponts De Arts sendirian, melihat banyak pasangan memasang gembok cinta mereka dan cukup membuatku iri atau sekedar berjalan sendirian di Eifel lalu menghabiskan banyak waktu di café sampai malam hari dan akhirnya kembali ke hotel.

Aku bukan tipe wanita yang tertutup dengan cinta. Seperti yang pernah aku bilang bahwa aku juga memiliki banyak kekasih, namun aku tidak pernah mengajak satupun dari mereka ke luar negeri. Sepertinya, aku memang terlalu berhati-hati. Aku hanya takut mereka mempergunakan kesempatan itu untuk hal lain selain mendapatkan hatiku, yaitu mendapatkan seluruh kekayaan keluargaku. Terlalu berlebihan memang, tapi banyak yang terbukti juga demikian. Maka dari itu aku selalu membatasi setiap interaksi dengan mantan-mantanku tersebut. Mereka menganggapku kolot, karena tidak pernah mau melakukan hubungan lebih dari ciuman.

Lagipula aku juga bukan maniac liburan seperti Eli. Hanya sesekali jika otakku sudah penuh dengan banyak pekerjaaan dan aku sama sekali tidak bisa menyelesaikannya, dan aku rasa, liburan akan menjadi sangat efektif.

Klik!

Sepasang gembok berwarna pink dengan tulisan 'Julia' dan 'Reinard' sudah terpasang rapi di sisi jembatan ini. Berjubel dengan ribuan gembok lainnya yang memenuhi sisi jembatan. Aku tertawa sumringah, meskipun tidak terbukti kebenarannya, namun aku berharap cinta kami benar-benar abadi selamanya.

"Aku yang pegang kuncinya." aku memasukkan kunci gembok tadi ke dalam tasku. Aku tidak perlu menunggu Reinard mengatakan iya, karena aku yakin dia juga tidak akan pernah mau menyimpannya.

Reinard hanya mengangguk, lalu berjalan menjauhiku. Memanggil seorang fotografer jalanan yang memang sering berada di tempat ini lalu memintanya untuk mengambil foto kami sebagai kenang-kenangan.

"Buat apa Rei? Kita kan punya ponsel?" terkadang aku tidak begitu mengerti dengan isi kepala suamiku.

"Pasangan yang tepat, foto yang tepat dan diabadikan oleh orang yang tepat." Sahut pria itu lalu merangkul punggungku.

Fotografer pria yang berusia kurang lebih sama dengan kami itu tersenyum, meskipun aku yakin jika dia tidak mengerti apa yang Reinard bicarakan. Pria itu beberapa kali mengarahkan gaya kepada kami dengan bahasa Perancis. Untung saja suamiku sangat pandai dengan bahasa itu, sehingga kami tidak kesulitan.

"Aku akan memasangnya di pigura dan meletakkannya di nakas tempat tidur nanti." Aku menimang-nimang foto itu ketika kami berjalan menuju sebuah restoran untuk makan siang. Beberapa lembar foto sudah berada di tanganku, dan akau cukup puas dengan hasilnya. Reinard dan aku terlihat sangat serasi sekali di sini.

"Jul...." Reinard mengaitkan jemarinya di jemariku.

"Iya." Sahutku tanpa menoleh pada Reinard. Aku belum mengalihkan pandangan dari foto-foto di tanganku. Ini foto pertama kami selama menjadi suami-itri, maksudku foto ketika hari pernikahan tidak aku hitung karena itu memang foto wajib. Kami memang harus berfoto untuk dokumentasi, agar keluarga kami juga bisa berfoto bersama kami.

"Bagaimana kalau nanti malam kita menginap di hotel saja?"

"Apa?" aku menoleh. "Tidur di hotel?" Aku yakin wajahku sudah memerah sekarang. Bagaimana tidak? Bayangan semalam saja tidak berhasil kuusir dari pikiranku.

"Anggap bulan madu kita sebelum kembali ke Indonesia Jul."

Sebenarnya aku sangat setuju dengan ide Reinard. Aku juga ingin berdua saja dengan suamiku dan menghabiskan waktu di hotel, namun aku dan Reinard di sini karena undangan Marina, wanita itu yang meminta kami datang. Aku hanya merasa tidak enak saja ketika Marina mengundang dengan sepenuh hati dengan memberikan tempat tinggal yang nyaman dan menjamu kami dengan makanan yang lezat, dan kami malah memutuskan untuk tidur di hotel malam ini.

"Tapi aku enggak enak sama Ma—" aku belum menyelesaikan kalimatku ketika kulihat Reinard sudah berbicara dengan seseorang di telepon.

"Marina, malam ini kami akan menginap di hotel......Iya.....baiklah.........terimakasih....."

"Gimana, aku udah ijin Marina kan?" Reinard tertawa kecil sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jeans-nya.

"Ih....kamu bikin aku malu deh!" aku mencubit pinggangnya gemas. "Gimana kalau marina ngira aku enggak betah tinggal di apartementnya?"

"Enggak bakalan!" Reinard menggeleng.

"Kok enggak bakalan?"

Reinard menghadap ke arahku.

"Ya jelas dong, karena dia yang minta aku buat ngajakin kamu tidur di hotel malam ini. Bahkan dia udah bayarin kok hotelnya." Ia mencubit pipiku lembut.

"Hah? Masa? Kapan?"

"Kemarin."

Aku menghela nafas lega. Tidak menyangka jika aku memiliki kakak ipar yang begitu baik padaku.

"Yakin?"

"Beneran Julia."

Aku maju atu langkah lalu memeluk Reinard dengan begtu hangat.

"Aku mencintai Marina, dan tentu saja aku juga sangat mencintaimu."

***** 

Klandestin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang