Perjalanan menuju ujung hutan kali ini sangat berbeda ketika tadi menuju tengah hutan. Sangat lancar namun mereka tetap siaga. Tidak ada yang membahayakan namun mereka tetap hati-hati.
Dan kini di depan mata mereka, tepat di atas tanah lapang itu dengan tiang yang berdiri menyajikan pemandangan seseorang tengah terikat dan dua orang lainnya tampak acuh.
Lentera Prinsessa Goldesst,
Jessica Italirk,
Dan Tesarah Culart.
Merekalah tiga orang itu.
"Ouhh udah sampai? Perjalanannya gimana hem? Sebelum kesini kalian ke bangunan kosong itu dulu yah?" dengan memiringkan kepala, Tesa bertanya. Menampilkan wajah sumringah diiringi senyum yang mengembang.
"Kalian berdua? Kamu? Tera, putriku." Nicho menunjuk mereka bertiga, mengabaikan pertanyaan Tesa.
Tesa menaikkan satu alisnya, menatap mengejek. "Iya kita berdua kenapa? Gak nyangka yah anak dari sepasang suami istri yang pernah kalian bunuh ada di sini?"
Tesarah Culart yang biasa dipanggil dengan nama Tesa sebenarnya adalah anak dari sepasang suami istri yang telah dibunuh oleh keluarga Goldesst karena menculik Tera setelah dua jam dilahirkan ke dunia. Gadis itu bermain dengan rapi hingga tak ada yang mencurigainya.
Selain menjadi teman Jessi, Tesa juga menjadi partner dalam kejadian ini. Ia membantu melindungi Jessi dari kejaran pengawal Goldesst sampai hari ini tiba. Untuk melakukan ini mereka berdua siap untuk mati di tangan mereka. Dan mereka akan mati dengan tenang asal mereka berhasil membuat Tera terbunuh.
"Ehhh," Jessi dengan memakai kacamata yang untuk menutupi satu matanya dan badan yang bersandar pada tiang tersentak. Pandangannya berputar dan berhenti pada mereka.
"Keluarga lo udah dateng." ucap Jessi dengan ceria lalu tangannya menusuk-nusuk pelan pipi Tera yang kecoklatan karena terkena tanah dengan pisau lipat.
Sontak hal itu membuat pasang mata membelalak terkejut.
Beberapa goresan mulai timbul dan cairan kental berwarna merah keluar dari sana, darah itu mengalir mengenai kain yang tengah menutup mulutnya dan membuat rembesan.
"Apa yang lo lakuin barusan sialan?!" gigi Devan bergemeletuk, tangannya terkepal sempurna.
"Gini?" Jessi mengulang kejadian beberapa detik yang lalu. Gadis itu menusuk kembali pipi Tera dengan wajah tanpa dosa membuat amarah mereka semakin memuncak.
"Jangan mendekat gue bilang." kata Tesa melihat mereka mulai ke arahnya. Tidak mendengarkan perkataannya, Tesa lantas tersenyum miring.
"Dibilangin ngeyel ya udah."
Dengan sekali tancap, pisau yang berada di tangannya mengenai bahu gadis itu yang tengah tak sadarkan diri, menancapkan terlalu dalam hingga terasa berbenturan dengan tulang bahunya.
Kemeja putih tanpa jas biru itu sontak terlumuri oleh darah, Tesa tersenyum puas. Gadis itu menatap mereka, membiarkan pisaunya terus berada di bahu Tera tanpa berniat untuk mencabutnya.
Anggota keluarga Goldesst lantas terdiam melihat itu, langkahnya terhenti dan napas yang tercekat.
"LO GILA?!!" Ersa berteriak lantang dengan dadanya yang ikut naik turun.
"KALIAN MAU MATI HAH?!" Devan ikut berteriak.
"CABUT PISAU ITU!!" kali ini giliran Lorenz berteriak, urat lehernya nampak jelas. Pasti rasanya sakit, Teranya tidak akan sanggup. Batinnya berucap.
Namun teriakan tiga orang itu tak dihiraukan oleh Jessi dan Tesa, mereka berdua menganggap teriakan itu sebagai angin lalu.
"Makanya kalau dibilang jangan ya jangan. Jadi ini kan akibatnya." ucap Jessi seraya memutar bola matanya malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA
Teen FictionLentera Andini sosok gadis baik hati nan pekerja keras yang harus merasakan pahitnya hidup. Ayahnya menelantarkan dia begitu saja dan sering memperlakukannya dengan tidak baik. Hanya karena dia miskin orang - orang tak mau berteman dengannya. Kehid...