Sementara itu, setelah beristirahat semalam, Moren dan Coral melanjutkan perjalanan mereka ke tenggara, menuju Damrockpad, tanah kediaman para Rockbum.
Hari itu cerah dan ini sudah beberapa hari bagi Moren menempuh perjalanan dengan terbang. Dia mulai terbiasa dan bisa menikmati perjalanannya. Selain wajahnya yang terasa kering karena angin terasa begitu kencang diatas, pemandangan dari atas terlihat mengesankan baginya. Mereka beberapa kali berhenti untuk mengistirahatkan Rain dan meluruskan punggung mereka. Saat hari sudah malam, mereka memilih beristirahat dan terbang hanya saat matahari ada di langit.
Hari kedua, mereka melayang diatas tempat tandus, banyak gunung-gunung putih dan kelabu di tempat itu, sama sekali tidak terdapat pohon-pohon hijau di tempat itu. Mereka telah sampai di Damrockpad. Moren mencari-cari dibawah sana, kira-kira jika ada pemukiman atau tempat yang terlihat seperti tempat tinggal. Tapi dibawah sana sama sekali hanya bebatuan. Dia sendiri penasaran, apakah ada yang bisa hidup di tempat itu?
Coral mendaratkan Rain disebuah bukit batu yang tandus, yang permukaannya lumayan datar. Dari sana mereka bisa melihat sebuah gunung batu yang menjulang bagaikan tembok besar di sisi kanan. Tempat itu panas dan berdebu.
"Nah, kita sudah sampai, Moren." Coral terlihat puas karena mereka sampai disana dengan selamat.
Moren masih mencari-cari di sekeliling, mungkin saja gunung batu disekitar mereka memiliki lubang-lubang dan para Rockbum tinggal didalamnya. Tapi pemandangan tidak jauh berbeda dengan saat ia melihat dari atas, sepertinya tidak ada yang tinggal disitu.
"Kau mencari apa?" Coral melihat Moren celingukan.
"Dimana rumah para Rockbum?"
Coral tidak menjawab tapi hanya tertawa. Dia berbicara pada Rain. Setelah selesai, Rain terbang menjauh meninggalkan mereka.
"Dia tidak suka berada disini. Gersang dan panas, aku menyuruhnya pergi untuk sementara," katanya menjawab tatapan Moren yang seolah menanyakan kepergian Rain.
Aku juga tidak suka berada disini, pikir Moren. Pantas saja Roh tidak pernah menyentuh tempat itu, tidak ada tumbuh-tumbuhan apalagi bunga-bunga harum kegemaran mereka.
"Aku tidak melihat ada yang hidup di tempat ini, Coral."
Akhirnya Moren mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.Coral tertawa.
"Tunggu dulu, aku akan bicara dengan mereka."Coral terbang meninggalkan Moren menuju gunung batu di depan mereka. Dia seakan memeriksa setiap sisi dari batuan yang ada di gunung itu. Coral mengatakan sesuatu pada 'sesuatu' yang ada disana, setelah itu dia terbang kembali ke sebelah Moren. Coral melambaikan tangannya, menyuruh Moren tetap melihat ke arah gunung batu itu.
Angin panas dan kering menerpa wajah mereka di sana. Moren memincingkan matanya ke arah batu-batu. Sebuah retakan terbentuk secara tiba-tiba di puncak gunung batu. Retakan itu memanjang dengan cepat dan segera saja gunung itu seakan terpotong di atas sana. Potongan itu menggelinding dengan bunyi yang ribut dan kasar. Debu-debu berterbangan, kerikil-kerikil terlempar dari jalur yang dilaluinya, tanah tempat mereka berpijak bergetar kencang.
Bongkahan batu itu berdebum keras di kaki gunungnya. Bunyi berkeretak masih terdengar, kerikil masih berjatuhan dari lereng gunung, debu tebal mengambang.
"Coral?!" Moren berteriak diantara debu-debu. Mungkin mereka harus menyingkir dari sana karena bisa saja longsor susulan terjadi. Jika batu-batu yang longsor lebih banyak lagi, bisa saja tempat mereka berpijak akan terkubur batu-batu.
"Tenanglah, Moren dan tunggu!"
Sekarang bongkahan batu besar itu bergetar dan terdengar bunyi berkeretak dari dalamnya. Lalu batu itu tampak bangkit.
Seperti seakan sebelumnya dia adalah seseorang yang duduk meringkuk, kini batu besar itu terbuka dan bangun. Moren bisa melihat batu besar itu perlahan berdiri, bagian atas membentuk kepala, badan, lalu tangan dan kaki. Tingginya kira-kira 8 meter dan lebarnya kira-kira 6 meter. Meskipun Coral dan Moren berada di tempat tinggi, tapi mereka hanya setinggi bahu raksasa besar itu. Raksasa batu itu merenggangkan badannya dan terdengar bunyi berkeretak seperti patah yang keras.
"Ups! Sudah lama aku tidak bangkit," katanya, kemudian ia menunduk melihat Coral dan Moren. Suaranya terdengar seperti seseorang bicara dari lubang sumur yang dalam.
"Hum... Coral dan..."
Hanya perasaan Moren sajakah atau memang raksasa itu tersenyum, nampaknya begitu karena Moren melihat sudut bibirnya agak ditarik.
"Manusia." Dia mengawasi Moren.Sulit sekali membalas senyumnya dalam kondisi masih terkejut dengan apa yang terjadi. Moren tidak menduga Rockbum adalah benar-benar batu yang bisa bicara, bukannya seseorang. Dia melihat ke arah Coral, 'kau tidak bilang mengenai hal ini.'
Coral membalas tatapannya, 'bukannya aku sudah bilang kalau mereka besar dan kuat?'
"Katakan sesuatu, Moren!" Coral menepuk bahu Moren.
Moren membiarkan dirinya bernafas beberapa kali sebelum mengeluarkan suara.
"Ah, se... selamat siang," katanya gugup.
Coral terkekeh.
"Seperti yang aku bilang tadi Vellar, aku disini bersama seseorang. Kau pasti sangat menantikan hari ini."Raksasa besar itu tertawa. Tanah bergetar saat ia tertawa.
"Kau yang menantikan hari ini, Coral, aku tahu bagaimana kalian itu para peri. Nah, siapa ini?"Coral mengenalkan Moren pada Vellar, yang tertua dan yang dihormati oleh para Rockbum. Coral mengatakan semua tentang Moren pada Vellar.
"Wah wah... seorang putra mahkota? Kalian para peri beruntung sekali," kata Vellar.
"Yah, orang-orang keras kepala seperti kalian akan sulit diyakinkan, kurasa seorang putra mahkota akan lebih mudah menarik perhatian kalian."
Vellar tertawa.
"Nah, nah... kalian ingin seorang berkepala batu ini mendengarkan, kalau begitu seharusnya kalian tidak keberatan mendengarkan terlebih dahulu."
Vellar mengendik pada Moren. Moren melirik canggung pada Coral.Coral tertawa. "Tentu saja, jarang-jarang seorang batu bicara, kan? Sekali bicara kau harus membiarkannya bicara sepuasnya. Bukan begitu yang kau mau, Vellar?"
"Hmm," Vellar menggerum.
"Tidak begitu seandainya saja para peri setiap ditanya tidak selalu menjawab 'paling baik kau mendengar langsung dari sumbernya'. Ha! Kau pasti pernah mendengar mereka bilang begitu, Moren?"Moren mengangguk.
Vellar melanjutkan, "Kalau begitu kau pasti belum tahu banyak mengenai kami para Rockbum. Namun tidak denganku, aku sudah mendengar banyak mengenai kalian, angin-angin yang bercerita pada kami. Tapi kurasa sebaiknya setuju dengan para peri; 'sebaiknya mendengar langsung dari sumbernya.
"Aku tahu maksud kedatangan kalian. Nah, nah, mengenai hal itu aku akan bilang; tidak baik meminta bantuan dari orang asing, aku juga lebih senang membantu seseorang yang tidak menganggapku orang asing. Kalau kita bercakap-cakap sebentar, kita akan sepakat untuk berteman. Tapi sebelum itu, sebaiknya aku membawa kalian ke tempat yang lebih nyaman atau kalian akan menjadi dendeng disitu. Naiklah!"
Vellar mengulurkan telapak tangannya yang lebar pada Moren dan Coral.Moren tidak yakin ada tempat yang nyaman disana, diantara batu-batu besar. Moren melompat ke atas telapak tangan Vellar karena Coral telah lebih dulu berdiri disana tanpa keraguan. Vellar membawa mereka semua dengan hati-hati sambil bicara dan berjalan. Sungguh mengagumkan, rasanya jika Vellar adalah manusia sepertinya dia tipe orang yang doyan bicara_ mungkin seperti Almoth, tapi anehnya Vellar bisa menahan diri untuk bersuara selama membatu sebagai gunung, padahal itu lama sekali.
Ada sebuah tempat dimana batu-batu besar saling tumpang tindih sehingga terbentuk celah diantara mereka. Vellar memasukkan Coral dan Moren ke sana. Tempat itu teduh dan lumayan sejuk serta tingginya setara dengan wajah Vellar saat raksasa itu duduk di depan mereka.
"Dari situ kau bisa melihat seluruh Damrockpad," kata Vellar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Galgalore's Trap
FantasyMoren dan Hyereen menyelinap meninggalkan tempat tinggalnya untuk melihat teror yang menghantui lembah mereka dari hutan-hutan perbatasan. Mereka tidak menduga bahwa jalan yang mereka lalui ketika berangkat tidak akan membimbing mereka untuk kembali...