Dua

3K 322 12
                                    

Tidak ada yang bisa Sakura lakukan selain membeli makanan cepat saji sebagai ucapan terimakasih kepada lelaki tampan yang dengan suka rela membantunya membereskan rumah yang akan ia tempati. Mereka berdua kini tengah duduk berselonjor kaki di ruang tamu—di atas karpet seraya melepas lelah. Ini rumah baru, jadi Sakura belum memiliki perabotan yang lengkap, termasuk sofa. Sesekali, pria itu meregangkan tangannya, mungkin merasakan pegal luar biasa akibat apa yang baru saja mereka lakukan selama tiga jam ke belakang.

"Aku tak bisa memberikan apapun sebagai ucapan terimakasih selain ini." Sakura menatap lelaki yang kini tengah menegak minuman dingin dengan pandangan bersalah. Ia meringis ketika mengingat kembali mulut manisnya sempat mengeluarkan umpatan untuk lelaki baik hati itu. " Dan... maafkan aku karena sempat mengumpatimu tadi."

Lelaki itu justru tertawa. Sebuah tawa yang terdengar renyah di telinga Sakura. "Tak apa. Ini sudah lebih dari cukup," katanya. "Dan mengenai umpatan itu, aku sama sekali tak merasa keberatan." Jelaga hitamnya mengerling ke arah Sakura, terlihat genit namun juga menggemaskan. "Sebenarnya, aku juga sering melakukan hal yang sama ketika kaget. Aku bahkan lebih parah darimu. Kau tahu? Aku sempat hampir mencekik Aniki-ku karena berani mengagetkanku."

Entah sebuah lelucon atau bukan, tapi Sakura dibuat terbahak ketika mendengar penuturan lelaki di hadapannya. Itu sama sekali tidak lucu, tapi entah kenapa ia merasa sangat terhibur. Mungkinkah Sakura berubah jadi gila setelah menghabiskan waktu hampir tiga jam lamanya membersihkan seluruh bagian rumah?

"Omong-omong, kita belum berkenalan. Aku Sakura, Haruno Sakura." Sakura mengulurkan sebelah tangan setelah ia mengelapnya dengan tisu untuk menghilangkan minyak dari kentang goreng yang menempel.

Lelaki itu membalas uluran tangan Sakura. Sebuah sebuah senyuman tipis kembali terbit hingga menghadirkan lesung pipit di kedua pipinya. "Aku Sasuke, Uchiha Sasuke. Senang berkenalan denganmu, Sakura."

Sakura mengangguk. "Senang juga berkenalan denganmu, Sasuke."

Sasuke melihat jam di pergelangan tangannya lalu buru-buru berdiri dari posisinya ketika mengingat satu hal. Tubuhnya terlihat menjulang tinggi di mata Sakura yang masih duduk nyaman di atas lantai.

"Aku harus pergi sekarang," ujar Sasuke. Wajahnya menampilkan raut bersalah ketika menatap Sakura. "Kita akan bertemu lagi besok."

Sakura ikut berdiri, kedua alis merah mudanya terangkat tinggi. "Ya, kurasa kita akan bertemu setiap hari setelah ini. Rumah kita bersebelahan." Ada nada mengejek dalam suaranya, namun Sasuke sama sekali tak merasa keberatan akan hal itu. Meski baru bertemu sekitar tiga jam lalu, tapi menurutnya Sakura adalah sosok perempuan yang menyenangkan dan bisa dijadikan teman.

"Baiklah, kurasa aku benar-benar harus pulang dan bersiap-siap sekarang. Kau lihat..." Sasuke menunjukkan ponselnya yang berbunyi nyaring pertanda satu panggilan masuk ke arah Sakura. "Dia akan merajuk jika aku terlambat menemuinya."

Sasuke sudah membuat janji, dan mungkin saja lelaki itu melupakannya.

Sakura mengangguk mengerti, memilih untuk berjalan beriringan dengan Sasuke sampai teras depan. "Baiklah, sampai jumpa, Sasuke."

"Sampai jumpa, Sakura." Sasuke melambaikan sebelah tangannya sedangkan tangan yang lain bersiap menjawab panggilan dari ponsel yang terus berdering nyaring. Kaki panjangnya melangkah dengan terburu menuju rumah dua lantai yang persis bersebelahan dengan rumah Sakura.

Di tempatnya, Sakura membalas lambaian tangan Sasuke. Sebuah senyuman masih menghiasi bibirnya bahkan ketika tubuh jangkung Sasuke sudah menghilang ditelan pagar rumah yang menjulang tinggi. Sakura merasa sedikit penasaran dengan sosok yang menghubungi Sasuke.

Namun tak lama kemudian, Sakura tersadar bahwa itu bukan urusannya. Seumur hidupnya, ia tak pernah mau repot-repot mengurusi kehidupan orang lain. Ia mengangkat bahu bersamaan dengan kaki jenjangnya yang kini kembali berjalan memasuki rumah.

"Astaga... Kurasa aku sudah gila karena penasaran dengan kehidupan orang lain."

.

.

.

.

Tbc.

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang