Sakura masih mondar-mandir disekitar dapur meski pun mereka sudah berada di sana sejak hampir tiga puluh menit yang lalu. Ekspresi wajahnya terlihat gelisah, saat ia tanpa sadar menggigiti kuku-kuku berlapis kutex merahnya.
Ia penasaran sekaligus mengkhawatirkan Sasuke. Seperti apa pembicaraan yang ketiga orang itu lakukan. Apakah berjalan lancar? Dilakukan dengan kepala dingin? Atau mungkin berjalan pelik dan tak menemukan titik terang sama sekali untuk menyelesaikan masalah itu. Atau yang paling buruk, Sasuke dan Naruto yang kini saling melayangkan tinju. Sakura bergidik ngeri, membuang jauh-jauh kemungkinan yang satu itu. Mereka sudah dewasa, dan tahu apa yang harus dilakukan tanpa harus beradu otot.
"Astaga, Sial! Aku benar-benar penasaran!"
Gaara yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Sakura hanya mampu menggelengkan kepalanya. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sejak kapan Sakura mempedulikan kehidupan seseorang? Darisana ia bisa menyimpulkan satu hal yang tak ingin ia akui.
"Duduklah." Sasori yang beberapa saat lalu masih menyantap pancake yang telah dibuatnya dengan tenang mulai merasa risih dengan apa yang dilakukan saudara kembarnya. Berjalan mondar-mandir bagaikan setrika yang sering Sasori lihat di tempat laundry langganannya.
"Aku tidak bisa duduk," jawab Sakura tanpa menatap Sasori. "Aku tidak bisa duduk dengan tenang sebelum mengetahui hasil akhir dari pembicaraan mereka berdua."
Sasori menghela napasnya. Sikap keras kepala Sakura selalu berhasil membuat kepalanya berdenyut nyeri.
"Kalau begitu, kau datang saja ke rumahnya dan lihat apa yang terjadi."
"Kau gila!" Sakura berdecak kesal. Ide yang Sasori berikan tidak membantu sama sekali. Jika ia datang ke sana, apa yang akan ia lakukan? Menonton perdebatan yang terjadi sambil memakan popcorn? Sakura tertawa saat menyadari kekonyolannya.
"Tapi ...." Sakura menggeser kursi lalu duduk setelahnya, menatap lekat pada Sasori yang kini mengangkat alisnya tinggi. "Kenapa kau bisa ada di sana?" tanyanya. "Maksudku, kau bisa datang di waktu yang tepat. Seperti pahlawan kesiangan saja."
Mendengar pertanyaan Sakura, Sasori berdecak keras. Rasa kesalnya kembali muncul kala mengingat kejadian tiga puluh menit lalu.
"Aku hanya kebetulan berada di sana," jawab Sasori. "Perutku keroncongan. Karena di kulkasmu tak ada apa pun yang bisa kumakan aku— astaga! Brengsek! Kunci mobilku!"
Sasori langsung berlari menuju keluar rumah setelah sebelumnya kakinya tersandung kaki meja. Ia sampai tak sadar melemparkan kunci mobilnya — entah ke mana— saat melihat wanita gila yang hendak menampar saudara kembarnya. Awalnya Sasori mengira jika Sakura kembali membuat ulah. Namun, saat melihat Sasuke yang diam saja, mematung bagaikan patung selamat datang di pusat perbelanjaan padahal wanita itu sudah mengangkat sebelah tangannya untuk menampar Sakura, Sasori sudah paham situasinya seperti apa bahkan sebelum mereka berdua memahaminya.
"Brengsek! Aku benar-benar akan membunuh perempuan gila itu jika sampai kunci mobilku hilang!"
Manik hazel milik Sasori berpendar ke sekitar pekarangan rumah Sakura. Jika tidak salah, ia yang menuruni beberapa undakkan tangga, berjalan menuju mobil lalu melempar kuncinya—
"Di sekitar sini." Sasori berjongkok untuk melihat bagian bawah mobilnya, berharap menemukan apa yang dicarinya. "Aku yakin melempar benda sialan itu disekitar sini." Namun hasilnya nihil, tidak ada apapun di sana selain batu kerikil.
Sakura dan Gaara yang mengekor dibelakang Sasori kini hanya terkekeh sembari duduk santai di depan teras rumah, berselonjor kaki. Menikmati tontonan gratis dari seorang Haruno Sasori, si pengusaha muda pujaan kaum hawa yang kini panik luar biasa akibat kehilangan kunci mobilnya. Ada sebuah kunci yang menggantung di jari telunjuk Sakura— ia menemukannya di bawah kursi yang ada di teras rumahnya.