Sembilan Belas

1.1K 208 15
                                    

Suasana kafetaria tempat kerja Hinata masih terlihat lenggang ketika Sasuke memasukinya. Jam makan siang masih setengah jam lagi, jadi wajar saja. Hanya ada beberapa orang yang ada di sana. Kebanyakan dari mereka datang hanya untuk memesan segelas kopi atau minuman dingin serta beberapa cemilan lalu kembali ke ruangan masing-masing setelahnya.

Sasuke mendudukkan diri disalah satu kursi yang ada tersedia. Mengamati para karyawan yang tampak berlalu lalang sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Sesekali, lelaki berparas aduhai itu mengangguk saat mendapati beberapa orang—kaum hawa yang melihat ke arahnya dengan pekikan tertahan. Astaga, Sasuke tertawa sembari mengelengkan kepala. Merasa heran karena mahluk yang memiliki julukan tulang rusuk kaum Adam itu selalu tak bisa menahan diri saat melihat manusia super tampan seperti dirinya. Ada saja tingkah absurd yang selalu mereka lakukan. Mulai dari menatap diam-diam, memekik tertahan, berteriak histeris hingga yang paling parah, mimisan di tempat.

Karena mulai merasa bosan, Sasuke akhirnya memutuskan untuk memesan sesuatu. Namun baru saja ia berdiri, telinganya samar-samar mendengar percakapan dari dua orang karyawan wanita yang baru saja memasuki area kafetaria.

"Kau tahu, hal apa yang selanjutnya terjadi antara Hinata dan pria berambut kuning itu?"

Mendengar nama kekasih dan juga pria berambut kuning yang tak lain adalah sahabatnya sendiri disebut, Sasuke menajamkan pendengarannya. Menjatuhkan kembali tubuhnya pada kursi yang ia tempati.

"Mereka berciuman." Salah satu karyawan wanita berambut pendek menatap aneh rekannya. Seolah apa yang baru saja terlontar dari mulut berpoles lipstik berwarna merah itu adalah bualan semata. "Dilihat dari caramu menatap, aku yakin kau tak percaya dengan perkataanku, kan? "

Si wanita berambut pendek mengangguk membenarkan. "Mana mungkin aku percaya omong kosong itu. Setahuku, Hinata sudah memiliki kekasih."

"Yah, sama sepertimu, aku juga tidak akan percaya jika kabar itu aku dapatkan orang lain. Tapi, demi Tuhan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Mereka terlihat sangat panas."

Sasuke yang mendengar percakapan itu hanya bisa mengepalkan kedua tangannya hingga buku jari-jarinya memutih. Dadanya bergemuruh, terasa sesak seolah sesuatu yang sangat besar menghantamnya dengan keras. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup rapat. Mata yang biasanya terlihat tajam dan mengintimidasi kini sedikit memerah karena luapan emosi. Sejujurnya, ia tak ingin mempercayai  apa yang baru saja di dengarnya. Tapi entahlah. Instingnya mengatakan jika apa yang dua karyawan itu bicarakan adalah kebenaran yang sebenar-benarnya. Mengingat jika pria berambut kuning yang mereka sebutkan juga menaruh rasa pada kekasihnya.

Sasuke menghela napas dengan berat, menaikkan tudung hoodie yang ia kenakan saat mendapati pria berambut kuning yang baru saja para karyawan itu bicarakan berjalan tergesa memasuki kafetaria. Wajahnya terlihat kacau dengan penampilan yang sedikit berantakan.

Sepertinya, apa yang dua karyawan itu bicarakan memanglah sebuah kenyataan. Kenyataan pahit yang berhasil mematahkan hatinya dalam sekejap.

Setelah pria berambut kuning yang tak lain adalah Naruto berjalan melewatinya begitu saja— tanpa menyadari keberadaannya, Sasuke buru-buru beranjak dari sana dengan langkah lebar dan terburu. Ia mendudukkan diri di belakang kemudi setelah membuka pintu mobil, memejamkan mata selama beberapa detik  saat tangannya memukul setir dengan kuat. Meluapkan segala emosi yang berkumpul di satu tempat. Di dadanya.

"Brengsek!" umpatnya. Setitik cairan bening nampak di sudut matanya. Sasuke merasa bodoh, kenapa ia malah menangis disaat seperti ini. Harusnya, ia menyeret Naruto lalu menghajarnya habis-habisan karena telah berani menyentuh kekasihnya, lalu setelah itu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan malah berdiam diri di dalam mobil seperti seorang pecundang tak berguna.

Sasuke kembali menarik napas panjang lalu membuangnya secara perlahan, mengambil ponsel yang ia taruh di saku hoodie lalu mengirimkan sebuah pesan yang mengatakan bahwa dirinya ada urusan mendadak pada Hinata dengan cepat. Menyalakan mobilnya, kemudian meninggalkan tempat sialan yang membuat hatinya hancur hingga berkeping-keping.

Sasuke hanya berharap, setelah ini mobilnya akan menabrak pagar pembatas dan ia mengalami lupa ingatan untuk waktu yang lama.

.

.

.

Diluar dugaannya, Sasuke justru datang lebih cepat beberapa jam dari waktu yang mereka janjikan. Jam yang menggantung di dinding ruang tamu menunjukkan pukul tiga sore saat Sakura membuka pintu rumahnya, melihat penampakan Sasuke yang sedikit kacau.

Sakura memiringkan tubuhnya, memberi ruang Sasuke untuk masuk dan menyamankan diri diatas sofa. Ia tak mengatakan apa pun—belum. Masih terus memperhatikan Sasuke yang seolah tengah melamunkan satu hal. Satu hal yang Sakura tak ketahui apa itu.

"Semua baik-baik saja?" Sakura memutuskan untuk bertanya setelah ia mengambil sweater untuk menutupi tubuh bagian atasnya yang hanya mengenakan tanktop tipis dan juga ketat berwarna hitam. "Kau datang lebih cepat dari waktu yang kita rencanakan."

Sasuke menatap Sakura kemudian tersenyum. Terlihat sangat kaku. "Aku baik-baik saja," balasnya. "Urusanku selesai lebih cepat dari yang seharusnya."

"Begitukah?"

Sasuke mengangguk sebagai jawaban.

"Baiklah." Sakura tak berniat bertanya lebih banyak lagi, karena merasa bahwa itu bukan urusannya. "Aku akan mengambil minum dulu. Kau ingin apa?"

"Kau mempunyai bir?"

Sakura yang kini bersandar pada dinding sedikit mengernyitkan dahi. Merasa aneh karena ada orang yang meminum alkohol di sore hari. "Bir?"

"Kau tak punya?"

"Aku punya," balas Sakura. "Kau tunggulah sebentar, aku akan mengambilnya untukmu."

Setelah menatap Sasuke sekali lagi, Sakura berjalan menuju dapur untuk mengambil beberapa kaleng bir dan juga beberapa makanan kecil sebagai pelengkap untuk mereka. Tak memerlukan waktu lama baginya untuk kembali ke ruang tamu, meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja lalu duduk di sofa tunggal yang bersisian langsung dengan sofa tempat Sasuke duduk.

Sasuke langsung menyambar bir kalengan bahkan sebelum Sakura mempersilahkan. Ia menegak habis isinya, lalu kembali meletakkan kaleng yang telah kosong ke dalam nampan. Ia hendak mengambil kaleng ke dua, namun tangan Sakura dengan cepat memegang pergelangan tangannya sembari menggeleng.

"Tidak," tegas Sakura. Tatapan matanya jelas sekali tak ingin dibantah. "Kau kemari karena kita—maksudnya aku ingin membicarakan sesuatu padamu, bukan untuk mabuk."

Sasuke menghela napas panjang kemudian menangguk. Mengusap wajahnya dengan sebelah tangan sedikit kasar. "Kalau begitu, katakan," perintahnya pada Sakura.

Kali ini giliran Sakura yang menarik napasnya dengan keras. Cara kerja jantungnya berubah menjadi sangat cepat ketika ia menelan ludah yang seolah tersangkut di tenggorokan dengan susah payah.

"Aku yakin kau tahu benar apa yang akan aku bicarakan." Sakura menjeda kata-katanya. Matanya hijau hutan miliknya tak pernah lepas dari wajah tampan yang kini sedikit memerah akibat pengaruh alkohol yang mulai bekerja. "Aku ... Ingin meminta maaf padamu."

.

.

.

Tbc.

Silahkan keluarkan hujatan kalian, Kawand!!!!! :v

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang