Sakura keluar dari kamar dengan setelan kerja. Wajahnya tampak cerah dengan sedikit polesan make-up natural. Kaki jenjang berbalut stocking serta sepatu pantofel membawa Sakura menuju dapur. Sasori sudah ada di sana dengan gaya khasnya, terlihat rapi dan bercahaya seperti biasa. Duduk tenang di atas kursi dengan koran harian yang entah ia dapat darimana berada di tangannya. Kopi hitam tanpa gula favorit Sasori sudah tersaji di atas meja. Asap yang mengepul dari cangkir menandakan jika minuman bercitarasa pahit itu masih panas.
Sakura meringis, membayangkan mulutnya yang akan terbakar jika ia nekat meminum minuman berwarna pekat tersebut. Setelah mengambil satu lembar roti yang sudah dipanggang, Sakura ikut duduk di kursi bersebrangan dengan Sasori. Mengambil selai kacang dalam toples dengan pisau lalu mengoleskannya pada roti.
Ia menghela napas, memakan roti panggang berlapis selai kacang tersebut dalam diam. Sesekali, matanya melirik Sasori yang masih duduk tenang seolah keberadaan dirinya tak terlihat. Ayolah! Sakura bukan mahluk astral!
Jam yang menggantung di dinding menujukkan pukul setengah tujuh pagi, mengharuskan Sakura untuk menghabiskan sarapannya dengan cepat. Ia membereskan piring kotor lalu menyimpannya ke bak cuci piring, mengambil tas kerja yang sebelumnya ia letakkan di meja makan, bersiap untuk pergi. Namun, kata-kata dari Sasori berhasil menahannya. Membuat Sakura harus kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, membalas tatapan dari sepasang manik hazel yang kini menatap ke arahnya, bak dewa kematian yang tak memiliki belas kasih.
"Sasuke... Kau menyukainya, kan?" todong Sasori. Melipat koran pagi yang telah selesai ia baca lalu meletakkannya di atas meja untuk selanjutnya menghela napas.
Mendengar nama Sasuke disebut, pipi Sakura tiba-tiba memanas. Bayangan tadi malam kembali melintas di kepalanya. Ia menggeleng, mencoba mengenyahkan bayang-bayang sialan yang membuatnya ingin mengubur dirinya sendiri di halaman belakang rumah.
"Kenapa kau menyimpulkan hal seperti itu?" tanya Sakura balik. Berdeham dengan canggung. "Ini tak seperti kau yang biasanya." Karena Sasori yang ia lihat sekarang, bukanlah seorang saudara yang sudah bersama sejak mereka dalam kandungan. Dia seperti seorang kakak yang memiliki usia terpaut cukup jauh darinya-yang mengkhawatirkan adik perempuan satu-satunya, meskipun kenyataannya memang seperti itu. Tapi ia tak menyukainya, tak menyukai sikap Sasori yang seperti itu. Sakura menyukai Sasori yang dingin. Sakura hanya menyukai Sasori yang menyebalkan hingga ia ingin memukul bagian belakang kepalanya jika sudah membuat ulah. Sakura menyukai Sasori yang tak peduli dengan urusan orang lain, bukan Sasori yang penuh intimidasi hingga membuat ia sulit untuk menelan ludahnya sendiri. "Aku hanya berteman dengan Sasuke, tidak lebih," lanjutnya.
"Aku peringatkan, jangan terlalu dekat dengannya." Sasori mengambil kopi hitam yang sempat ia abaikan lalu meminumnya. Sedikit mendingin hingga terasa hambar di indra pengecapnya.
"Kau tak berhak melarangku berteman dengan siapapun," bela Sakura tak terima. Berusaha sekuat tenaga agar suara yang keluar dari tenggorokkannya tidak meninggi.
"Aku tak melarangmu," balas Sasori, masih dengan nada datar. "Aku hanya menyuruhmu menjaga jarak darinya."
"Siapa kau berani memerintahku?"
"Aku kakakmu jika kau lupa."
Brengsek!
Sakura meremas roknya dengan kuat. Matanya memicing, menatap nyalang Sasori saat emosi hampir meledak.
"Oke, terserah kau." Sakura bangkit, menghela napas panjang lalu menepuk pakaian yang sedikit kusut korban dari keganasan tangannya. Bagaimana pun caranya, ia harus bisa mengontrol emosinya. "Tapi kali ini aku tak akan mendengarkanmu."