Dua Puluh Lima

1.1K 216 44
                                    

Sasuke tampak gusar. Kenapa ia gusar? Entahlah. Ia sendiri kebingungan dengan kegusaran yang dirasakannya. Namun, guntur yang terus menerus menyambar diiringi suara petir yang memekakkan telinga setelahnya membuat ia mengkhawatirkan gadis cantik yang beberapa minggu terakhir resmi menjadi tetangganya.

Alasannya sederhana, karena gadis itu tinggal sendirian. Dan biasanya, seorang gadis akan merasa ketakutan dengan hal-hal sepele seperti suara petir.

Sasuke sudah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya entah berapa lama, yang pasti, sekarang kakinya mulai terasa pegal. Apakah sudah selama itu? Sasuke mendengus karenanya. Ia segera mengambil mantel tebal yang ada di belakang pintu kamarnya kemudian memakainya dengan cepat. Rasa khawatir yang ia rasakan sudah berada ditingkat yang tak bisa ditolelir lagi seiring dengan semakin seringnya kilatan petir yang menyambar.

"Kau mau ke mana? Diluar hujan benar-benar lebat."

Sasuke sontak menghentikan langkahnya, mendapati sang ibu dan juga Itachi yang kini tengah duduk santai di ruang tengah. Ada dua cangkir teh yang asapnya masih mengepul di atas meja lengkap dengan beberapa toples kue kering sebagai pelengkap.

"Aku akan ke rumah Sakura." Sasuke melihat Itachi mengangkat sebelah alisnya, mungkin kakak lucknut-nya merasa tak puas dengan jawaban yang ia berikan. "Aku mengkhawatirkannya, sebagai seorang tetangga."

"Begitukah?"

Kali ini ibunya yang bertanya. Sasuke bisa melihat ada binar di kedua mata perempuan paruh baya yang telah melahirkannya tersebut.

"Aku hanya ingin memastikan keadaannya," jelas Sasuke sembari menatap keduanya. "Seperti yang Itachi katakan, diluar hujan sangat lebat, dan bukan tak mungkin jika Sakura merasa ketakutan mengingat ia hanya tinggal seorang diri."

"Kau benar." Ibunya mengangguk mengerti. "Ajaklah dia kemari, setidaknya sampai hujan reda. Atau—"

"Aku akan mengajaknya kemari." Sasuke menyela cepat perkataan ibunya. "Dan aku tak berniat menemaninya di sana." Ia tahu benar  jika itu yang akan ibunya katakan. "Apa pun yang terjadi, aku akan menyeretnya kemari."

"Ah ... Baiklah," balas ibunya. Itachi berusaha sekuat tenaga agar tak tertawa. Ia tahu benar rencana dadakan yang sudah disusun Uchiha Mikoto, tercetak jelas sekali dari ekspresi di wajah tuanya. "Sebaiknya kau bergegas."

"Hn."

Setelah memberikan gumaman tak berarti sebagai jawaban, Sasuke kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Mengambil payung yang terdapat di dekat pintu utama kemudian berjalan keluar.

Hujan benar-benar lebat  saat Sasuke berjalan di pekarangan rumahnya, membuka pintu gerbang lalu keluar setelahnya. Jutaan tetes air yang  jatuh dari langit tanpa henti membuatnya tak bisa melihat dengan jelas. Ia melangkahkan kakinya, menyusuri jalan aspal menuju rumah Sakura sembari sesekali menyipitkan mata. Namun, baru setengah perjalanan, ia mendapati ada sebuah mobil yang tak pernah ia lihat sebelumnya terparkir tepat di halaman rumah gadis musim semi itu.

Ia mengalihkan pandangannya, mendapati dua lelaki berambut merah berada di sana, di depan rumah Sakura. Sasuke tahu benar siapa salah satu pria berambut merah itu, siapa lagi kalau bukan Sasori. Namun, Sasuke tak mengetahui siapa pria berambut merah yang satunya, yang kini tengah dipeluk oleh Sakura.

Tunggu, dipeluk?

Mata Sasuke kian menyipit. Sakura memeluk seseorang? Astaga, yang benar saja!

Perasaan tak senang hampiri Sasuke, lagi. Kenapa? Kenapa ia merasa tak senang? Pertanyaan itu kembali berputar di kepala Sasuke, lagi. Untuk kesekian kalinya. Ia pernah mendapatkan pertanyaan yang sama beberapa waktu lalu, tepatnya sebelum ia mengetahui apa hubungan Sakura dengan Sasori. Dan sekarang, perasaaj itu muncul kembali. Padahal Sakura bukanlah siapa-siapanya, mereka berdua tak memiliki hubungan khusus selain dari tetangga yang rumahnya bersebelahan. Lalu, kenapa ia harus merasa tak senang? Lagi-lagi pertanyaan itu.

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang