"Aku... Mungkin kau akan menganggapku perempuan tak tahu diri, tapi, bisakah aku meminta tolong padamu?"
Atmosfer di sekitar berubah mencekam, setidaknya itu yang Sakura rasakan. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Kala mendapati raut serius di wajah Hinata, ia yakin hal kurang menyenangkan akan terjadi setelah ini. Tanpa berniat kembali duduk, Sakura menghela napas, kemudian mengangguk sekali. Menyuruh Hinata untuk melanjutkan perkataannya.
"Bisakah kau berikan ini pada Sasuke?"
Sakura memperhatikan benda—yang entah sejak kapan berada di tangan Hinata dengan seksama. Kotak berwarna biru tua yang sudah bisa Sakura tebak apa isinya. Lantas, pandangannya beralih pada sang pemilik. Menatap penuh tanya.
"Kenapa harus aku yang memberikannya?" tanya Sakura. Matanya menyipit, merasa tak senang dengan sikap Hinata yang tak lebih baik dari seorang pecundang.
"Aku—"
"Temui dia, berikan benda itu secara langsung. Bila perlu, kau bersujud padanya untuk meminta maaf," ujar Sakura dingin. "Dan satu lagi, jangan libatkan aku."
Setelah mengatakan kalimat yang mungkin akan menyakiti Hinata, Sakura benar-benar pergi, berjalan dari area kafe dengan langkah lebar dan tergesa. Mengabaikan lututnya yang berdenyut nyeri karena ada memar di sana.
Katakanlah ia keterlaluan, tapi, Sakura tak akan menarik kembali kata-katanya tersebut.
.
.
.
Setelah pertemuannya dengan Sakura sekitar dua hari lalu, Hinata menjadi jauh lebih pendiam dari biasanya. Jika sedang sendiri, ia akan melamun tanpa mengenal tempat.
Pandangan matanya terarah pada kotak beludru yang Sasuke berikan padanya—dulu, sebagai hadiah hari jadi mereka yang ke satu bulan. Waktu itu, Hinata sempat menolak karena merasa tidak enak. Namun, karena Sasuke memaksa harus menerimanya, Hinata akhirnya menerima benda yang ada di dalam kotak tersebut. Ia membukanya, melihat kembali kalung perak dengan liontin berbentuk hati yang bisa ia duga lumayan menguras kantong untuk mendapatkannya.
Senyumnya terbit kala mengingat Sasuke yang memujinya cantik ketika ia mengenakan kalung tersebut. Namun, tak lama setelah itu, senyumnya perlahan hilang ketika ia mengingat perkataan Sakura.
Apa yang Sakura katakan benar, seharusnya, ia menemui Sasuke, memberikan kalung itu kemudian berbicara baik-baik agar hubungan mereka kembali membaik.
Hinata tak mengharapkan menjalin kembali hubungan romansa dengan Sasuke, karena sejak awal perasaannya memang bukan untuk lelaki itu. Tapi setidaknya, mereka bisa berteman dengan baik, kan?
Setelah menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kasar, Hinata segera memasukkan kembali kotak beludru berwarna biru yang tengah di pegangnya ke dalam tas, juga memasukkan beberapa barang-barang lain miliknya yang berserakan di atas meja kerja. Kedua tangannya dengan cekatan membereskan berkas-berkas yang hendak ia berikan kepada atasan menjadi satu kemudian memasukkannya ke dalam laci. Ia akan menyerahkan berkas tersebut nanti, seusai makan siang.
Semalam, Naruto tiba-tiba saja menghubunginya, mengajaknya untuk makan siang bersama di salah satu kedai yang tak terlalu jauh dari tempat kerjanya. Dan, tak ada alasan bagi Hinata untuk menolak ajakan tersebut.
Hinata keluar dari ruangan kerjanya dengan ekspresi wajah datar. Ada beberapa hal yang ia pikirkan selama ia melajukan mobilnya menuju kedai tempat dirinya dan Naruto makan siang bersama. Entahlah, tapi, perasannya sedikit tidak enak.
.
.
.
Langkah Hinata sontak terhenti, tubuhnya berubah kaku, untuk sepersekian detik netranya terbelalak, terlalu terkejut dengan pemandangan yang saat ini dilihatnya. Dua orang pria berbeda warna rambut tengah duduk, seperti sedang membicarakan suatu hal dengan santai.