"Serius, Teme? Kalian benar-benar akan menikah?"
Tawa nista yang berasal dari Naruto berhasil membuat mata Sasuke menyipit. Ia mendengus.
"Ya. Seperti yang Sakura katakan," ujarnya. Menatap Sakura yang masih setia menelungkupkan wajahnya pada meja makan. Ekpresinya terlihat tertekan. Seolah beban yang ada di seluruh dunia ditanggung sendiri oleh perempuan musim semi itu. "Kurang dari satu bulan lagi, kami akan menikah."
Tawa Naruto kembali terdengar, bahkan lebih keras dari sebelumnya. "Aku rasa orang tua kalian ingin cepat-cepat menggendong cucu." Ia berdeham untuk meredakan tawanya sendiri. "Pasti akan sangat menggemaskan melihat Uchiha-Uchiha kecil berambut merah muda di rumah kalian."
Mendengar Uchiha-Uchiha kecil berambut merah muda, membuat perut Sakura terasa tergelitik oleh sesuatu yang entah apa itu. Tapi tetap saja-"
"Orang tua kami sudah gila," sahut Sakura kesal. "Mereka tidak mau mendengar penjelasan kami sedikit pun." Sakura mengangkat kepalanya, kemudian menghela napas panjang. "Aku yakin mereka semua memang sudah gila," sambungnya diiringi umpatan pelan.
"Berhenti mengumpat, Sakura." Sasuke memperingati. "Kau itu perempuan."
"Aku akan mengumpat sebanyak yang aku mau." Sakura tak mengindahkan peringatan Sasuke. "Mengumpat bisa membuat suasana hatiku membaik."
Naruto yang kini bersandar pada dinding dekat lemari es memutuskan untuk bergabung bersama Sakura di meja makan, di kursi kosong sebelahnya. "Bagaimana jika murid-muridmu yang menggemaskan mendengarnya?"
Sakura menatap aneh Naruto. "Mana mungkin, bodoh!"
"Sakura." Sasuke memperingati, lagi.
"Ya, ya, Sasuke." Sakura mengangkat tangan. "Aku akan berhenti mengumpat sesuai kemauanmu."
Naruto memandang kedua orang yang datang tanpa diundang ke kediamannya dengan ekspresi geli. Jujur, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ia ingin tertawa jika mengingat apa yang terjadi dengan mereka- termasuk dirinya beberapa bulan ke belakang yang semuanya berawal dari Sakura.
Jika Sakura tidak pindah ke rumah yang sekarang- bertetangga dengan Sasuke, mungkin dirinya tak akan pernah bisa mengungkapkan perasaan pada Hinata sampai kapan pun. Ia hanya akan pura-pura merasa senang melihat perempuan yang ia cintai menjalin hubungan dengan sahabatnya sendiri tanpa mengetahui apa-apa. Tanpa mengetahui jika Hinata juga memiliki perasaan yang sama untuknya.
Astaga... Naruto merasa lelaki jahat yang mensyukuri kehadiran Sakura di kehidupan Sasuke.
Suara bel terdengar, membuyarkan lamunan sesaat Naruto.
"Sepertinya itu Hinata."
Sakura yang sudah berdiri untuk membuka pintu harus mengangkat tinggi alisnya saat mendapati Naruto dan juga Sasuke sedang memberi tatapan aneh padanya.
"Apa?" tanya Sakura. "Kenapa kalian menatapku seperti itu?"
"Tidak." Sasuke yang lebih dulu menjawab, mengangkat kedua bahu tak peduli kemudian mengambil satu kaleng soda dari lemari es. "Aku hanya sedikit terkejut," lanjutnya seraya menegak habis soda tersebut.
"Aku yang sangat terkejut." Naruto ikut menimpali. "Sejak kapan kau akrab dengan Hinata? Kau pasti mengerti maksudku."
"Kami tidak akrab, kami hanya mencoba berteman. Aku tidak punya banyak teman, dan Hinata seorang yang cukup menyenangkan untuk di ajak berteman," aku Sakura. Naruto mengangguk paham.
Di balik sikapnya yang cenderung seenaknya sendiri, Sakura adalah seseorang yang tak mudah bergaul dengan orang lain. Naruto bahkan masih mengingat berapa teman yang dimiliki perempuan musim semi itu semasa kuliah dulu.