Lima Puluh Empat

736 153 8
                                    

Setelah Itachi pergi, Sakura menjadi kelimpungan sendiri. Ia galau. Tentu saja. Itachi mengatakan sebuah omong kosong yang tak bisa diterima oleh otaknya yang cukup cerdas.

Ia hanya harus mendengar apa kata hatinya? Yang benar saja! Sakura bahkan tidak tahu hatinya sekarang berkata apa. Astaga.

Ia kembali mengacak surainya yang memang sudah berantakan entah yang keberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk memanggil si ahli dalam bidang percintaan meski statusnya hingga sekarang masih lajang. Si pria lajang panas, Kira-kira seperti itu orang-orang menyebutnya.

"Sasori, cepat kemari! Aku butuh bantuanmu!"

Sakura langsung melempar ponselnya dengan asal kemudian ambruk di tempat tidur dengan posisi terlentang. Menatap langit-langit kamar berhias bulan dan bintang yang bisa menyala ketika gelap.

Mungkin di sebrang sana Sasori sudah mengomel tanpa henti karena ia yang mematikan sambungan tanpa izin. Sakura tidak peduli, ia terlalu malas untuk mendengar ocehan Sasori sekarang ini, setidaknya detik ini.

Karena setengah jam kemudian, pintu rumahnya dibuka dengan kekuatan penuh hingga membuatnya hampir terlepas dari engsel.

"Sakura, kau baik-baik saja?" tanya Sasori dengan napas terengah-engah. Ia yakin jika saudara kembarnya mengendarai mobil dengan kecepatan penuh karena mengkhawatirkannya. "Jalanan macet, jadi aku—"

"Aku tahu," potong Sakura. "Dan aku baik-baik saja. Kau tidak perlu terlalu khawatir begitu."

"Bagaimana aku tidak khawatir!" semprot Sasori setelah menghabiskan satu kaleng soda. Menutup lemari es dengan keras hingga membuat Sakura berjengit karena terkejut. "Kau berteriak seperti orang gila dan langsung mematikan telepon. Aku pikir terjadi apa-apa padamu!"

Mode garang Sasori kembali, dan Sakura yakin jika si bayi merah yang kini sedang menandaskan soda ke-dua itu akan memulai pidato kenegaraannya. Tapi meski begitu, Sakura tetap merasa senang karena Sasori selalu perhatian padanya.

"Aku minta maaf karena membuatmu khawatir. Tapi, aku benar-benar membutuhkan bantuanmu sekarang ini. "Sakura menarik kursi lalu duduk setelahnya. Mengabaikan wajah Sasori yang seolah ingin menelan orang hidup-hidup. "Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Maksudmu?" Kedua alis Sasori saling bertaut, tak mengerti dengan perkataan Sakura yang menurutnya ambigu. "Aku tak akan mengerti jika kau tak menjelaskan permasalahannya." Ia ikut mendudukkan diri di kursi kosong tepat di samping Sakura seraya menyerahkan satu kaleng soda untuk saudara kembarnya. "Jelaskan padaku, dan kita akan mencari solusinya bersama-sama."

Senyum tipis yang diberikan Sasori untuknya membuat Sakura mau tak mau ikut melakukan hal yang sama. Ia menarik udara, kemudian membuangnya. Menatap lekat pada netra cokelat Sasori lalu menghela napas lagi. Sakura yakin, Sasori akan terkejut setelah ini.

"Kau tahu siapa mantan kekasih Sasuke?"

Sasori menatap Sakura aneh, hilang sudah rasa khawatirnya saat ia mulai mengerti apa yang menjadi permasalahan adik kembarnya. "Tidak," jawabnya dengan ekspresi datar. "Dan aku tidak ingin tahu tentang kehidupan asmara orang lain. Buang-buang waktu saja."

"Kau tidak penasaran?"

"Tidak."

"Sasori! Ayolah." Sakura memekik. Menahan tangannya agar tidak menjejalkan kaleng soda yang telah kosong pada mulut menyebalkan Sasori. "Kau tidak penasaran meski itu Shion?"

"Tid— hah? Shion?" Sasori menatap Sakura aneh. "Shion yang itu? Yang benar?"

"Aku yakin kau pasti terkejut. Iya, 'kan?"

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang