"Sasuke, bukankah kita harus melanjutkan pembicaraan kita yang sempat tertunda? "
Sasuke melepas cekalan tangan Naruto pada lengannya dengan kasar, menjatuhkan kembali tubuhnya di kursi seraya menyugar rambutnya ke belakang. Kedua matanya terpejam selama beberapa saat hanya untuk menghilangkan rasa kesal yang bersarang di ulu hati. Perasaan kesal pada pria berambut pirang yang kini tengah menampilkan wajah serius dengan tatapan tajam dari sepasang mata biru yang dilayangkan padanya.
Ah, sialan!
"Kita sudah membahas ini sebelum si rambut merah itu kemari, Dobe, " gerutu Sasuke, kembali membuka kelopak matanya untuk membalas tatapan Naruto. "Dan aku juga sudah menjelaskan alasanku tentang kenapa aku membatalkan kencan itu."
Mata Naruto memicing. "Kau tidak akan membatalkannya hanya karena tetangga barumu pindah rumah."
Astaga! Kepalanya mulai terasa pening sekarang.
"Lalu aku harus menjelaskan apa lagi padamu?"
"Tentu saja kau harus memberitahuku alasan yang masuk akal. Bukan omong kosong yang baru saja kau sebutkan."
Demi Tuhan! Omong kosong katanya? Naruto mengatakan bahwa membantu tetangga yang baru saja pindah rumah adalah omong kosong? Bukankah itu perbuatan mulia karena ia telah membantu sesama manusia? Tuhan juga menganjurkannya, kan?
"Dobe—"
"Aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu." Naruto kembali mengeluarkan suaranya, memotong perkataan Sasuke. "Jangan pernah menyakiti Hinata apapun alasannya. Atau—"
"Tidak akan." Kali ini gantian Sasuke yang memotong perkataan Naruto. "Kau tahu, kan, seperti apa perjuanganku untuk mendapatkannya? " kemudian mata Sasuke memicing, menatap Naruto dengan pandangan penuh selidik. "Jangan bilang kalau kau—"
"Buang jauh-jauh pikiran itu dari kepalamu!" Naruto segera memukul bagian belakang kepala Sasuke. Cukup keras hingga lelaki itu mengaduh seraya memegang kepalanya.
Namun setelahnya, Sasuke tertawa keras." Kau tenang saja, aku akan menemui Hinata besok dan menjelaskan semuanya." Sasuke mulai melangkahkan kakinya dengan santai menuju Itachi yang terlihat kerepotan karena membawa beberapa botol wine serta gelas yang ia yakini di ambil dari rumah mereka.
Sedangkan Naruto, pria itu masih mematung di tempatnya dengan ekspresi kaku. Sepasang mata sebiru langitnya menatap punggung tegap Sasuke yang kian menjauh dengan pandangan berbeda. Ada perasaan bersalah di sana, di matanya. Helaan napas lelah keluar dari celah bibirnya.
"Tebakanmu benar, Teme."
.
.
.
Hinata masih berguling-guling di tempat tidurnya dengan senyum bodoh yang terlukis di bibir tipisnya. Sesekali, ia mengangkat tangannya, mengusap bagian lengan yang siang tadi sempat ditarik oleh Naruto. Setelah itu, ia menutupi wajahnya dengan bantal saat merasa senyumannya bertambah semakin lebar dan bisa saja mulutnya akan robek.
Naruto, salah satu sahabatnya ketika SMP menarik lengannya. Ada debaran menyenangkan di dadanya saat mereka berjalan tergesa keluar dari tempat perbelanjaan menuju tempat parkir dengan tangan yang saling bergandengan. Debaran yang telah lama Hinata rasakan untuk pria berambut pirang itu.
"Naruto, kapan kau akan melihatku?" Hinata memindahkan bantal yang menutupi wajahnya ke sisi tubuh. Netra mutiaranya menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. "Aku merasa menjadi wanita paling jahat karena memanfaatkan Sasuke untuk menarik perhatianmu."