Sembilan

1.3K 247 22
                                    

Untuk menghilangkan nama 'Sakura' yang memenuhi hampir seluruh isi kepalanya, Sasuke memutuskan untuk Berguling-guling di atas tempat tidur dengan gerakan tak beraturan. Bantal dan guling tergeletak mengenaskan di atas lantai, selimut tebal sudah Sasuke lempar dengan kesal ke arah sofa yang ada di sudut kamarnya. Tempat tidur yang tadinya rapi, kini porak poranda seolah telah dilanda badai yang sangat besar.

Entah apa yang terjadi dengannya, tapi ia terus memikirkan gadis bermata indah yang baru beberapa kali ditemuinya. Mereka bahkan tak pernah benar-benar berbincang serius! Astaga.

Untuk kesekian kalinya, Sasuke menjambak rambutnya. Kembali merasa frustasi atas apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. Sasuke yakin ada yang salah—sangat salah disini. Selama ini Sasuke tak mudah tertarik dengan lawan jenis. Oke, Sakura memang gadis yang sangat cantik dengan bola mata berwarna hijau serta rambut merah mudanya yang unik. Sikap menyenangkan Sakura ketika diajak bicara juga menjadi hal lebih di pandangan Sasuke.Tapi itu semua tak lantas membuat Sasuke menyukai Sakura begitu saja.

Tapi sekarang? Sasuke ingin mengumpati dirinya sendiri saat ini juga. Tidak mungkin, 'kan kalau ia menyukai Sakura di saat ia benar-benar mencintai Hyuga Hinata, perempuan cantik yang ia dapatkan dengan susah payah?

Ah, Sialan!

Bagus sekali, Sasuke! Sekarang kau berubah menjadi lelaki brengsek yang melupakan kekasihnya sendiri.

Sasuke mulai mencari ponsel yang entah dimana ia telantarkan begitu saja. Ia harus segera menghubungi Hinata dan dan menanyakan kabar perempuan yang sudah dari kemarin sama sekali tak ia hubungi dan juga menghubunginya.

"Hinata, akhir pekan ini kita pergi berkencan, oke?" kata Sasuke menyemangati dirinya sendiri.
.

.

.

"Aku akan pindah akhir pekan ini."

Sakura merebahkan tubuh berbalut celana pendek selutut serta baju tanpa lengannya di atas tempat tidur Sasori. Manik emerald-nya tampak fokus memperhatikan punggung lebar nan tegap yang kini membelakanginya—duduk di depan meja kerja yang letaknya tak jauh dari tempat tidur seraya memeriksa beberapa berkas yang Sakura tak tahu itu apa.

"Baiklah. Jika aku tidak sibuk, aku akan ke sana."

"Kau harus," tegas Sakura.

"Ya. Aku harus," ulang Sasori. "Tak peduli betapa sibuknya aku, aku harus tetap kesana, kan?" Sakura yakin jika wajah tampan Sasori kini merengut sebal akibat perkataannya sendiri. Dan Sakura tak bisa untuk tidak tersenyum karenanya."Meskipun ada rapat penting, atau gempa atau hujan badai sekalipun, aku tetap harus kesana untuk membantu adikku yang manis memindahkan barang-barang."

Sakura merubah posisinya menjadi duduk bersila di tengah tempat tidur ketika Sasori berjalan mendekat ke arahnya. Melepaskan kacamata baca yang bertengger manis di hidung mancungnya dan duduk di tepi kasur.

"Dan sebentar lagi aku akan mati karena kesepian setelah kau pindah dari sini, " lanjutnya. Wajah Sasori terlihat bersedih, tapi Sakura tahu jika itu hanyalah pura-pura. "Tak ada lagi gadis cerewet yang selalu membuatku merasa kesal. Tak ada lagi gadis bar-bar yang akan memukulku—"

"Sasori?"

"Ya?"

"Apa kau merajuk?"

Sasori menggeleng. "Tidak. Kenapa aku harus merajuk?"

"Lalu, kenapa kau berbicara seolah aku akan mati besok? "

"Benarkah?" tanya Sasori. "Apa perkataanku terdengar seperti itu?"

Mata Sakura memicing. Seperti dugaannya, wajah Sasori yang terlihat bersedih adalah kepura-puraan belaka. Karena sekarang, Sasori justru tengah menampilkan seringai menyebalkan andalannya. Ekspresi wajahnya terlihat puas karena berhasil membuat dirinya merasa kesal.

"Kau! Aku benar-benar akan membunuhmu sekarang juga!"

.

.

Tbc.

Maaf, ini pendek banget. Akunya lagi ga mood nulis, jadi, ya gini deh. Ga jelas :(

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang