Di luar dugaan, acara yang Sakura pikir akan menyenangkan ternyata terasa sangat menyebalkan. Hinata ternyata tipikal orang yang rewel, apalagi jika menyangkut masalah penampilan untuk seseorang. Bahkan, beberapa kali Sakura harus memutar netranya kala beberapa pakaian yang ia rekomendasikan langsung mendapat penolakan dari Hinata.
"Hinata, jika aku tidak salah hitung, ini sudah dress yang ke dua puluh tujuh." Sakura menyerahkan dress berwarna biru tua pada Hinata. Berlengan panjang serta ada renda di bagian lehernya sebagai pemanis. Panjangnya di atas lutut, akan memamerkan kaki jenjang si pemakai dengan sangat sempurna. Tidak terlalu terbuka, dan tidak terlalu mencolok. Menurut Sakura, dress yang ia pilihkan sangat cocok untuk acara kencan Hinata bersama Naruto.
"Apa tidak ada model lain?"
Sakura menghela napas. Kepalanya yang sudah pening kini semakin berdenyut saat mendapati ekspresi tak berdosa dari Hinata.
"Apa perlu kita pindah toko lagi?" tanya Sakura. Berusaha menambah sisa kesabarannya yang hanya tersisa sedikit.
Hinata tampak berpikir selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk mantap. Menyetujui usulan Sakura yang menurutnya luar bisa.
Sakura menatap Hinata tak percaya. Menepuk dahi lebarnya karena frustasi. "Serius?"
"Tentu saja." Anggukkan mantap Hinata berikan. Sembari menggandeng lengan Sakura menuju pintu keluar, Hinata berseru dengan semangat. "Ayo!"
Sakura? Dia hanya bisa pasrah. Diseret ke sana kemari oleh seseorang yang bahkan bisa dia katakan bukan temannya.
Astaga. Sakura hanya berharap, penderitaan yang tengah menimpanya akan segera berakhir.
.
.
.
Setelah menghabiskan waktu hampir tiga jam lamanya mereka keluar masuk beberapa toko pakaian yang terdapat di pusat perbelanjaan, Hinata akhirnya memutuskan pilihan. Dress ke dua puluh tujuh berwarna biru tua yang sempat Sakura rekomendasikanlah yang akhirnya perempuan itu pilih.
Hinata dengan wajah tanpa dosanya mengatakan, "Sepertinya hanya ini pilihan yang paling tepat untuk acara kencanku dengan Naruto."
Bah!
Sakura mendengus keras dibuatnya. Ia tidak bisa lebih kesal dari sekarang hingga berkomentar pun enggan. Yang Sakura hanya lakukan hanya mengangguk, kemudian mereka memutuskan beristirahat di salah satu kafe yang ada di pusat perbelanjaan tersebut saat perut mulai bergemuruh minta diisi.
Mereka memesan makanan cepat saji lengkap dengan minumannya, Sakura memesan jus stoberi sebagai pelepas dahaga.
Sembari menunggu pesanan datang, mereka mengobrolkan hal-hal ringan yang didominasi celotehan Hinata tentang Naruto. Sakura mendengarkan dengan seksama sambil sesekali merotasi emeraldnya. Namun tetap ikut merasa senang karena setidaknya kedua orang itu akhirnya bisa bersatu.
"Bagaimana hubunganmu dengan Sasuke?"
Sakura meletakkan kembali kentang goreng yang hendak ia masukkan ke dalam mulut saat mendengar pertanyaan dari Hinata.
"Hubungan kami baik," jawabnya seraya mengangkat bahu.
"Bukan hubungan seperti itu yang kumaksud." Hinata menyeruput minumannya, mengerling jahil ke arah Sakura yang kini sedikit salah tingkah.
"Lalu?"
"Kau tahu benar maksudku, Sakura."
"Aku tidak mengerti." Sakura menggeleng dramatis. Kali ini benar-benar memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya dengan santai.
"Oke. Haruskah ku buat mengerti?" Sakura mengangguk, lalu Hinata melanjutkan ucapannya. "Sudah ada kemajuan?"
"Kemajuan apa?"
Hinata mendengus keras. Ekspresi yang tercetak di wajah Sakura benar-benar membuatnya gemas bukan main.
"Apakah Sasuke sudah mengajakmu berpacaran? Atau malah mengajakmu menikah?"
Hinata menyeringai saat Sakura terbatuk. Sudah cukup basa basinya, sekarang saatnya pada inti pembicaraan.
"Dilihat dari reaksimu, sepertinya hubungan kalian sudah selangkah lebih maju."
"Bukan seperti itu!" Sakura memekik keras, mengibaskan sebelah tangan dengan cepat kemudian meminum jus stroberinya dengan rakus. "Aku dan Sasuke—"
"Wah, coba lihat siapa yang ada di sini?"
Belum sempat Sakura menyelesaikan perkataannya, ada suara lain yang menyela. Sakura tak kuasa untuk merotasi netranya, menatap jengah manusia berambut pirang yang kini sudah duduk nyaman di kursi kosong samping Hinata—tanpa permisi.
Sangat sopan sekali, pikir Sakura. Kembali merotasi emeraldnya.
"Oh, Shion. Aku hampir tak mengenalimu," timpal Sakura. Nada bicaranya terdengar tak berminat. "Kau benar-benar berbeda dari terakhir kali kita bertemu."
Shion, si wanita paling sopan di dunia tertawa kecil. "Waktu di pantai itu, ya?" tanyanya, menyeringai saat mendapati raut wajah Sakura berubah drastis. "Malam itu, aku mengobrolkan banyak hal bersama Sasuke. Aku heran, kenapa kau tak bergabung bersama kami?"
Sakura mengangkat bahu. "Yah, aku hanya tak ingin mengganggu reuni menyenangkan kalian," balasnya enteng.
"Oh, apa Sasuke mengatakan siapa aku padamu?"
Sakura mengangkat alisnya, kemudian mendengus pelan. "Yah, dia mengatakannya." Ia kembali menyeruput jus stroberinya dengan tenang. "Sasuke bilang, bahwa kau adalah—" Seringai keji terbit di bibirnya saat Sakura melanjutkan ucapannya diiringi kekehan ringan. "Wanita menyebalkan yang selalu mengikutinya ke mana-mana semasa kuliah dulu."
Seringai yang tercetak di wajah Sakura semakin melebar kala mendapati wajah Shion merah padam.Sakura sangat yakin, jika sekarang Shion merasa sangat kesal karena mulut manisnya. Mungkin beberapa penghuni kebun binatang sudah Shion absen khusus untuknya meski hanya dalam hati. Rahang yang mengetat juga tatapan yang menyipit, ditambah dengan asap yang seolah keluar dari sela surai pirangnya sudah menjadi bukti yang cukup kuat. Tapi, Sakura tak peduli.
Masih ingat jika Sakura akan selalu membalas orang-orang yang membuatnya kesal? Dan sekarang, Sakura sedang melakukan hal tersebut. Membalas kekesalan yang dirasakannya beberapa waktu lalu saat dirinya dan Sasuke berkencan di pesisir pantai.
"Karena aku masih ada urusan, aku harus pergi sekarang." Tatapan Sakura yang semula berfokus pada Shion kini beralih pada Hinata. Sembari berdiri, ia kembali berbicara, "Ada beberapa hal yang harus aku lakukan hari ini, bersama Sasuke. Benar, kan, Hinata?"
Kebohongan yang Sakura katakan diangguki Hinata dengan santai. Sepertinya gadis bersurai panjang itu telah mengerti situasi yang sedang terjadi antara Sakura dan juga gadis berambut pirang yang duduk tanpa permisi di sampingnya. "Oh, benar. Hari ini kalian ada kencan, 'kan?" ujarnya sembari mengerling jahil ke arah Sakura yang diam-diam meringis. Sepertinya, Sakura terlalu bingung harus mengatakan apa untuk membalas perkataan Hinata.
"Yah, kurasa hari ini kami akan pergi berkencan setelah kencan terakhir yang kami lakukan batal karena mengalami gangguan."
Jelas, perkataan semanis madu yang keluar dari mulut manis Sakura adalah sindiran telak bagi Shion. Lagi-lagi, Sakura menyeringai saat mendapati ekspresi kesal di wajah berpoles make-up tebal di hadapannya bertambah berkali lipat. Namun, Shion masih bungkam. Sepasang netranya masih menatap nyalang ke arahnya. Dan lagi-lagi, Sakura tak peduli. Toh, si ulat bulu itu yang lebih dulu datang mengganggunya. Harusnya di sini, dia Dan Hinata lah yang merasa kesal karena acara menyenangkan mereka dirusak oleh orang asing yang seenak jidat bergabung di meja yang dirinya dan juga Hinata tempati, bukan malah sebaliknya. Benar, kan?
Setelah meletakkan beberapa lembar uang kertas di atas meja, keduanya hendak pergi. Namun, suara dari Shion membuat mereka —terutama Sakura— mengurungkan kembali niatnya.
"Bukankah kalian hanya bertetangga? Kenapa berkencan?"
Luar biasa! Pertanyaan macam apa itu? Haruskah Sakura tertawa?
.
.
.
-To Be Continued-