Dua Puluh

1.1K 219 64
                                    

Siang tadi, ia sedang membenarkan riasannya yang berantakan saat ponselnya tiba-tiba saja bergetar. Mendapati satu pesan dari Sasuke yang mengatakan jika pria tampan yang berstatus kekasihnya sejak tiga bulan terakhir itu tak jadi menemuinya karena harus mengantar ibunya pergi ke suatu tempat. Untuk sejenak, ia merasa bisa bernapas lega. Berpikir bahwa mungkin itu adalah salah satu dari beberapa doanya yang dikabulkan oleh Tuhan. Atau mungkin imbalan dari kebaikan yang ia lakukan di masa lalu. Mungkinkah di kehidupan sebelumnya ia pernah menyelamatkan suatu negara yang berada diambang kehancuran? Sepertinya memang seperti itu.

Jujur saja, Hinata juga terlalu bingung harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Sasuke setelah apa yang ia lakukan pada Naruto— ia mencium paksa Naruto.

Meski Hinata tak memiliki perasaan apa pun pada pria itu, tapi ia bukanlah seorang wanita jahat yang akan dengan tega mematahkan hati seseorang. Apalagi seseorang sebaik Sasuke.

Air mata terjatuh begitu saja setelah berkumpul di pelupuk. Perasaan bersalah secara perlahan memenuhi rongga dadanya. Oksigen seolah tersedot habis dari paru-parunya.

Hanya karena perdebatan tak berarti yang ia lakukan dengan Naruto, ia langsung kehilangan kendali diri. Ia mencium paksa lelaki berambut kuning itu, lalu menyatakan perasaannya.

Gila.

Mungkin sekarang, Naruto akan menganggapnya seperti itu. Perempuan gila yang dengan kurang ajarnya mencium serta menyatakan perasaannya pada lelaki lain disaat ia sedang menjalin hubungan romansa dengan seseorang.

Hinata menghela napas, mengusap air mata yang terus menerus berjatuhan tanpa tahu kapan mereka akan berhenti. Ia membalik tubuhnya menjadi tengkurap serta menyembunyikan wajahnya yang memerah pada bantal. Lalu tak lama kemudian, ia kembali merubah posisinya. Kali ini menjadi  duduk bersila di tengah tempat tidur sembari menatap layar ponselnya di mana nama Sasuke terpampang jelas di sana. Menunggu dengan harap-harap cemas bahwa lelaki itu mungkin saja akan mengiriminya kembali pesan untuk sekedar menanyakan dirinya marah atau tidak. Namun, setelah cukup lama ia menunggu, tak ada satu pun pesan yang ia terima.

Hinata melirik jam digital yang ada diatas nakas samping tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Itu artinya, sudah sekitar dua jam ia mengurung diri di dalam kamarnya setelah meminta izin pulang lebih cepat pada atasannya dengan alasan tidak enak badan. Mengabaikan ibunya yang mungkin saja tengah kebingungan di ruang tamu atau di salah satu ruangan lain yang ada di rumahnya.

Untuk sekarang, ia ingin tidur—itu juga jika ia mampu melakukannya serta melupakan hal paling sialan yang terjadi padanya hari ini.

.

.

.

"Aku ... Ingin minta maaf padamu." Sakura sedikit menundukkan kepala saat rasa panas menjalar di pipi. Helaan napas panjang keluar dari celah bibirnya. Ia yakin,  teramat sangat yakin jika wajahnya sekarang tak jauh berbeda dengan wajah Sasuke yang memerah akibat pengaruh alkohol. Bedanya, wajahnya memerah akibat mengingat kejadian tadi malam. "Soal tadi malam, ketika aku ...." Ia kembali menegakkan kepala, memegang sudut bibirnya sembari meringis. Merasa malu jika harus mengatakan secara gamblang.

"Apalagi, aku mendengar dari Sasori jika kau sudah memiliki kekasih. Aku merasa menjadi wanita binal sekarang." Sakura kembali menghela napasnya. Kesepuluh jemari yang berada diatas pahanya saling meremas. "Tapi, demi Tuhan! Aku tak akan melakukan hal laknat tersebut jika aku mengetahui fakta itu lebih cepat. Mungkin, aku terlalu terbawa suasana. Ah, bukan." Sakura menggeleng cepat. Rambut merah muda sebahunya ikut terayun seiring dengan gerakan kepala. "Sepertinya aku terlalu mengagumi wajah tanpamu."

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang