Sakura baru saja hendak mengunci pintu saat mendapati Sasuke berjalan dengan santai menuju .... Rumahnya? Tidak, tidak mungkin ke rumahnya, kan? Sasuke tidak mungkin menemuinya, kan?
Tapi, saat langkah pasti Sasuke semakin mendekat, Sakura Buru-buru membuka kembali pintu rumahnya yang tertutup rapat, masuk ke dalam lalu menguncinya. Benar-benar menguncinya.
Ia tidak marah atau pun merasa kesal pada Sasuke. Hanya saja, Sakura terlalu bingung harus bersikap seperti apa jika berhadapan langsung dengan pria itu.
"Sakura, aku mohon buka pintunya."
Teriakan serta gedoran pintu masih terdengar di luar sana, dan Sakura masih belum berpindah dari tempatnya. Terduduk di belakang pintu dengan wajah yang bertumpu pada lutut. Ada perasaan ingin tertawa ketika Sakura melihat keadaannya sendiri, ia seperti seorang gadis remaja yang baru saja diputuskan oleh kekasihnya karena ketahuan bermain belakang.
"Sasuke, aku mohon kau pulanglah dulu. Aku akan menemuimu jika sudah siap."
"Kenapa kau tak mau menemuiku?"
"Kau tahu sendiri alasannya, 'kan?"
"Astaga, Sakura. Berhenti bersikap kekanak-kanakan!"
Nada frustasi dalam setiap kata yang Sasuke ucapkan membuat perasaan bersalah menguar dalam diri Sakura. Tangannya terasa gatal karena ingin memutar kunci lalu membuka kembali pintu untuk menemui Sasuke. Namun, harga dirinya menentang keras hal tersebut, membuat kepala Sakura mendadak pening.
Sebenarnya, ini konyol. Amat sangat konyol.
Sudah tiga hari Sakura bersikap seperti ini. Dan, tidak ada yang bisa Sakura lakukan untuk memperbaikinya.
"Aku bersumpah, tidak ada yang salah dengan perkataan ibumu."
Benar semua ini karena ibunya. Jika bukan mulut manis ibunya yang selalu berbicara seenaknya, Sakura mungkin tak akan bersikap seperti sekarang. Ia akan menghabiskan akhir pekan bersama Sasuke, mengobrolkan banyak hal sembari menikmati beberapa kaleng bir bersama Sasuke, serta hal lain yang sudah menjadi kebiasaannya semenjak ia menempati rumah barunya juga bersama Sasuke. Hal yang tidak bisa ia lakukan selama tiga hari ke belakang.
"Keluar, Sakura."
Jika biasanya perintah Sasuke bagai mantra yang selalu berhasil menghipnotis Sakura, maka sekarang hal tersebut tak berlaku. Karena Sakura tetap teguh pada pendiriannya.
"Tidak, Sasuke." Kali ini, aksi Sakura dibarengi dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan secara dramatis. "Aku malu."
"Tidak ada yang memalukan di sini."
"Aku tidak bisa menemuimu setelah apa yang ibuku katakan padamu."
"Oke, baik. Terserah kau." Suara Sasuke di balik pintu semakin terdengar frustasi, pun dengan keraguan Sakura yang semakin menjadi. "Tapi, apa kau tidak merindukanku?"
Astaga. Kenapa Sasuke malah menanyakan hal itu sekarang, coba?
"Aku bukan kekasihmu," cicit Sakura. "Jadi kenapa aku harus—"
"Aku merindukanmu."
Entah, yang pasti otak Sakura benar-benar tak bisa berpikir dengan benar sekarang ini. Andai menghantamkan palu sekuat tenaga ke kepala dapat membuatnya hilang ingatan tanpa meninggalkan rasa sakit, Sakura pasti sudah melakukannya sejak tiga hari lalu. Setidaknya, dengan begitu, ia bisa melupakan apa yang pernah ibunya katakan pada Sasuke.
Menjadi menantu? Ya Tuhan! Itu berarti, secara otomatis Sasuke akan menjadi suaminya. Iya, kan? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat perutnya melilit. Bukan, bukan berarti Sakura tak menginginkan itu. Hanya saja...