Dua Puluh Enam

1.1K 204 20
                                    

Selalu ada pelangi setelah hujan reda. Mungkin kiasan itu sangat cocok untuk seorang Haruno Sakura saat ini. Semalam, saat ia merasa ketakutan karena jutaan liter air berjatuhan dari langit disertai petir dan juga guntur yang bersahutan, ia mendapati pelangi bernama Sabaku Gaara berada didepan pintu rumahnya. Memberikan senyum layaknya malaikat tak bersayap yang diutus oleh Tuhan secara khusus untuk menemuinya. Menyelamatkannya dari rasa takut yang ia rasakan. Sebenarnya bersama Sasori juga, tapi lelaki itu tidak termasuk. Karena baginya, Sasori adalah badai dahsyat menyebalkan yang selalu berhasil memporakporandakan suasana hatinya.

Mereka— ia, Gaara dan Sasori— menghabiskan waktu cukup lama, setidaknya sampai dini hari. Membicarakan hal-hal menyenangkan ketika mereka bersekolah dulu serta mengingat kembali julukan hampir penghuni sekolah yang melabeli mereka berdua sebagai pasangan serasi dan Sasori yang  akan selalu memberikan tatapan membunuhnya pada seluruh siswa. Sakura tanpa sadar memukul keras paha Gaara karena menertawakan hal tersebut. Sampai sekarang pun, Sakura bahkan masih merasa heran dengan julukan yang disematkan padanya dan juga Gaara. Pasalnya, mereka berdua adalah teman. Hanya teman yang kelewat dekat yang tak memiliki ketertarikan satu sama lain. Terlebih, waktu itu mereka masihlah bocah ingusan yang belum mengerti apa artinya cinta. Setidaknya itu yang Sakura percaya sampai detik ini.

Setelah mengobrol hal-hal ringan lainnya serta hampir menghabiskan persediaan bir kalengan yang ada di lemari esnya, Gaara memutuskan untuk pulang sekitar pukul tiga pagi. Sakura hendak menawari lelaki itu menginap, tapi pelototan super tajam yang dilayangkan Sasori berhasil mengurungkan niatnya tersebut serta menelan kembali beberapa kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya— kalimat ajakan agar mereka berdua menginap, bukan Gaara saja, tapi Sasori juga. Apa yang Sakura katakan tentang Sasori adalah badai super dahsyat yang selalu berhasil memporak-porandakan hidupnya  adalah benar, kan?

Sakura hanya berharap, di hari yang cerah ini, tak akan ada badai berbentuk apapun yang dapat merusak suasana hatinya yang luar biasa bagus.

Senyum bodoh masih terbit di bibir Sakura saat ia menutup pintu lalu menguncinya. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul enam pagi, tapi penampilannya sudah rapi dengan setelan kerja. Tas kerja serta papper bag cukup besar yang akan ia bawa Sakura letakkan  di atas kursi yang ada di teras rumahnya saat mendapati seseorang yang sangat dikenalnya lalu bergegas menghampiri

Kenapa gerangan dengan Sasuke? Sakura bertanya-tanya dalam hati sembari mengangkat alis merah mudanya.

Pria yang kini hanya mengenakan kaus oblong dipadukan dengan celana pendek serta sendal jepit di kedua kakinya itu tampak berjalan gontai dengan kepala menunduk seolah tak ada lagi semangat dalam hidupnya.

"Pagi ini cerah, tapi kenapa wajahmu mendung begitu?"

Sasuke sontak menghentikan langkah saat mendengar bisikan tepat disamping telinganya. Ia menengok lalu langsung menjauhkan wajahnya ketika menyadari wajah Sakura masih berada di sana, di dekat telinga. Memamerkan senyum indahnya lengkap sepasang alis merah muda yang kini naik turun.

Entah karena terlalu fokus atau memang melamun, yang pasti Sasuke tak mendengar langkah kaki Sakura. Tahu-tahu gadis musim semi itu sudah ada di dekatnya, bersisian denganya dengan tangannya yang berada di sekitar bahu miliknya.

"Kau ... Mau kerja?"

Jujur, Sasuke bingung. Kenapa ia malah melemparkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Namun, melihat Sakura yang mengangguk semangat, dengan senyum yang belum juga luntur membuat Sasuke sedikit tak menyukainya.

"Ini masih pagi," lanjut Sasuke, kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti.

Sakura masih mengikutinya, sebelah tangan perempuan itu masih bertengger manja di bahunya. Lalu, saat tiba-tiba lengan Sakura terlepas dari bahunya, Sasuke merasa sedikit kecewa.

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang